Nilai–nilai Budaya dalam
Prosesiritual Mallangi Arajang pada Masyarakat Bugis Soppeng Sulawesi Selatan
Penulis : Arisal Mahasiswa Program Pascasarjana,
Universitas Negeri Makassar
Abstrak – Tulisan yang disajikan ini
merupakan hasil penelitian lapangan yang bertujuan untuk mengungkap dan
mendeskripsikan nilai-nilai budaya dalam prosesi ritual mallangī Arajang pada
masyarakat Bugis Soppeng Sulawesi Selatan.
Penelitian ini menggunakan metode pengamatan langsung,
wawancara,pencatatan, dan dokumentasi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa ritual
mallangī Arajang atau pencucian benda pusaka sebagai salah satu produk budaya
lokal yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhuryang masih eksis dan
bertahan hingga era globalisasi sekarang, di samping itu tidak terlepas pula
nilai-nilai budaya yang melekat secara beriringan pada setiap tahapan ritual
itu berlangsung.
Tutur kata dan perbuatanpimpinan dan masyarakat ritual
menjadi fokus utama untuk mengungkap nilai-nilai budaya tersebut. Ritual
mallangī Arajang pada masyarakat Bugis Soppengmengandung nilai-nilai budaya
yang setidaknya dapat dijadikan sebagai acuan dalam menjalani kehidupan
sehari-hari yang lebih baik, seperti sikapketakwaan kepada Tuhan yang Maha
Esa(mappésona ri Déwataé), sikap saling menghormati(sipakatau), bawaan hati
yang baik (wawang ati mapaccing),persatuan (asséddingeng), danmusyawarah
(assipétanngareng).
Kata kunci:
Nilai-nilai budaya, mallangī Arajang, masyarakat Bugis Soppeng
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan bangsa yang multikultural karena
memiliki berbagai jenis suku, bahasa, ras, etnis, serta agama (kepercayaan)
serta bentuk-bentuk kehidupan yang beraneka ragam yang memiliki corak
tersendiri. Sejalan dengan hal itu, Tilaar (2004: 117-118) Mengemukakan bahwa
Indonesia dikaruniai berbagai jenis budaya yang unik dan merupakan kebanggaan
tersendiri bagi setiap komunitas pemiliknya.Kebudayaan yang beraneka ragam
merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya dari suatu komunitas yang
memilikinya.
Sejak dahulu, masyarakat Bugis Sulawesi Selatan dikenal
memiliki keragaman budaya yang bernilai tinggi dan memiliki ciri khas yang
berbeda-beda.keragaman budaya seperti upacara kesakralan, permainan rakyat,
kesenian rakyat, dan berbagai macam sistem kepercayaan nenek moyang yang masih
eksis dan tetap bertahan di tengah pesatnya arus globalisasi yang semakin
kompleks.
Kebudayaanyang masih bertahan itu sebagai generasi terakhir
dari peninggalan kebudayaan Bugis yaitu La Galigo. Pada masyarakat Bugis
Soppeng Sulawesi Selatan terdapat sebuah upacara adat yang dinamakan mallangī
Arajang.Upacara adat itu masih tetap eksis dan bertahan di tengah derasnya arus
globalisasi.mallangī Arajang merupakan salah satu tradisi ritual turun temurun
yang terdapat pada masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dan masyarakat
Bugis pada khususnya yang dilakukan dengan cara membersihkan benda pusaka serta
merupakan suatu bentuk kesyukuran kepada (Déwata Séuwaé).
Kegiatan seperti ini dilaksanakan satu kali dalam tiga tahun
atau sesuai dengan kesepakatan bersama antara masyarakat pemiliknya dan
pimpinan ritual. Berdasarkan pengamatan awal penulis pada salah satu ritual
mallangī Arajang (ritual kerajaan)masyarakat Bugis Soppeng, bahwa dalam
ritualtersebut semua benda-benda kerajaan (Arajang) seperti gendang, tombak,
dan terdapat pula alat-alat musik dengan berbagai bentuk dikeluarkan dan
digunakan pada saat ritual itu berlangsung, mereka mempercayainya bahwa roh-roh
nenek moyang diharapkan bersarang dalam benda-benda pusaka tersebut dan
menjelma kepada pemiliknya saat mereka memerlukannya.
Masyarakat Bugis Soppeng pada khususnya, tradisi turun
temurun yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu disimbolkan dalam bentuk
upacara keadatan yang tentunya masih kental dengannilai - nilai kesakralannya,
di samping itu tidak terlepas pula adanya kandungan nilai - nilai budaya yang
tergambar dari tahapan – tahapan ritual keadatan itu.
Nilai budaya itu setidaknya dapat memberikan sumbangsih yang
sangat berharga bagi perkembangan kepribadian dan karakter anak
didik.Pembentukan karakter anak didik harus dimulai sejak dini dengan mengacu
pada kearifan lokal sebagai identitas jati dirinya. Upaya untuk membentuk
karakter dan tidak melupakan identitas dirinya dapat dilakukan dengan cara
membangun budaya bangsa yang majemuk itu.
Diperlukan peran aktif pemerintah dalam memikirkan
keselamatan bangsa yang terus diambang oleh derasnya arus globalisasi dan
tentunya diikuti pula oleh teknologi yang semakin menunjukkan eksistensinya di
seluruh penjuru dunia.Dipertegas pula oleh (Joesoef, 16: 2017)yang mengatakan
bahwa, pemerintah kita tidak memakai prinsip yang seharusnya yaitu to Govern is
to forsee atau mempediksi hari ini.
pemerintah seharusnya dapat mengantisipasi masa depan dan
sudah tahu yang akan terjadi hari ini karena sudah dipikirkan. Olehnya itu,
pemerintah sebagai pengambil kebijakan diharapkan tidak hanya memikirkan
masalah perkembangan perekonomian semata akan tetapi harus pula diiringi oleh
perekembangan kebudayaan.
II. LANDASAN TEORI
(JIKA DIPERLUKAN)
1. Pengertian Nilai Budaya Menurut Koentjaraningrat (1984:
8-25), bahwa nilai budaya adalah lapisan abstrak dan luas ruang
lingkupnya.tingkat ini adalah ide ide yang mengonsepsikan hal-hal yang paling
bernilai dalam kehidupan masyarakat.
Suatu
sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran
sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang amat berharga dalam
hidupsebagai konsepsi-konsepsi, nilai-nilai budaya bukan hanya sekedar
informasi kognitif. Nilai-nilai budaya mengandung gagasangagasan emosional yang
mendalam.
Karena
itu nilai budaya menjadi dasar dari kehidupan manusia atau menjadi pedoman
tentang apa yang harus orang lakukan. Selanjutnya nilai budaya dapat pula
diartikan sebagai pedoman untuk menentukan baik-buruk, harus-tidak harus,
perlu-tidak perlu dan sebagainya berkenaan dengan hal-hal yang penting dalam
kehidupan manusia.
Nilai
budaya itu selalu ada di balik perilaku manusia, karena diwujudkannya
perilaku-perilaku tertentu menunjukkan bahwa perilakuperilaku itulah yang
dianggap baik dan perlu untuk ditampakkan dan bukan perilaku yang lain (Faisal,
2005:3).
Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional memberi pandangan, bahwa nilai budaya mengandung
pengertian tentang apa yang diharapkan atau dapat diharapkan, apa yang baik
atau dianggap baik. Nilai budaya itu mencakup perhatian, minat, kesenangan,
keinginan, kebutuhan, dan rangsangan yang menjadi kerangka acuan dalam
menentukan sikap dan tindakan.
Nilai-nilai
budaya tersebut antara lain tercermin dalam sikap mental, moral, etika, tingkah
laku, serta nilai-nilai hidup dalam rangka hubungan antara sesama manusia,
manusia dengan lingkungan alam dan dengan Maha Pencipta. (dalam Ansar, 2016 :
2). Nilai adalah sesuatu yang dipandang berharga oleh seseorang atau masyaraka,
dipakai setiap hari tapi mewujud pada perilaku seseorang.
Nilai
sebagai keyakinan mempunyai sisi kognitif (pengetahuan dan rasional) dan sisi
afektif (dihayati secara emosional) dan memengaruhi perilaku seseorang.Sutrisno
(dalam Sunario & Bagiono, 2017: 52). Dalam menjalankan sistem pemerintahan
berbangsa dan bernegara diperlukan dua tindakan pokok pada dua bidang yang
meliputi pembangunan nasional dan pendidikan nasional.
Keduanya
merupakan tindakan strategis yang saling terkait, saling menunjang, dapat
dibedakan namun tidak bisa dipisahkan, bagai lepat dengan daun.Maka itu
diperlukan nilai-nilai tertentu sebagai pegangan, paling tidak sedikitnya
nilai-nilai yang kita utamakan (Daoed Joesoef, 2017: 18).
Dari
ulasan nilai yang telah dipaparkan sebelumnya, maka selanjunya nilai budaya
dalam ritual mallangī Arajang tergambar dari setiap tutur kata maupun tingkah
laku masyarakat ritual sendiri.di samping itu, nilai budaya juga terkandung
dalam berbagai simbol-simbol yang ada dalam ritual itu. nilai-nilai budaya yang
ada setidaknya mampu memberikan keseimbangan perilaku suatu kelompok masyarakat
untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran maupun cerminan dari suatu
suku yang kaya akan nilai kearifan lokalnya.
III.
METODE PENELITIAN/EKSPERIMEN
Jenis
penelitian ini termasuk deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang dilakukan
semata-mata berdasarkan fakta yang ada di lapangan.Kegiatan Penelitian diawali
dengan melakukan pengamatan terlibat di dalam prosesi ritual mallangi Arajang.
Langkah selanjutnya adalah pengumpulan data lapangan melalui teknik catat,
wawancara (interview) dan dokumentasi.Data yang telah dikumpulkan kemudian
diklasifikasi dan dianalisisis berdasarkan masalah yang telah dirumuskan. Hasil
dari analisis inilah yang kemudian dipaparkan pada pembahasan.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum
menyajikan kandungan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam ritual mallangī
Arajang pada masyarakat Bugis Soppeng Sulawesi Selatan, terlebih dahulu
dijelaskan mengenai tahapan-tahapan prosesi ritual mallangī Arajang itu
sendiri.Tahapan-tahapan itu dibagi atas tiga bentuk yakni, pra ritual
(mappassadia), ritual (maggauq), penutup (mappaleppeq). Gambaran tahapan ritual
itu dipaparkan sebagai berikut:
a.
Pra ritual (mappassadia)
Pra
ritual atau biasa juga disebut sebagai salah satu tahapan awal sebelum
melaksanakan sebuah prosesi ritual.Tahapan ini merupakan suatu proses untuk
menyediakan berbagai perlengkapan-pelengkapan yang akan digunakan dalam setiap
tahapan prosesi itu. Dalam tahap persiapan bahan serta alat-alat yang akan
digunakan pada acara ritual mallangī Arajang dibahas dalam tudang sipulung
(musyawarah) oleh pelaksana upacara.
Tudang
Sipulung ini dihadiri oleh para sanak keluarga yang berasal dari desa
tetangga.Tudang sipulung dilaksanakan satu bulan sebelum acara ritual itu
berlangsung.Tudang sipulung dimaksudkan untuk mendapatkan keputusan-keputusan
dan kepastian mengenai perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan dalam acara tersebut
dan membuat konsep yang matang demi kelancaran suatu acara.
b.
Ritual (maggauq)
Maggauq
merupakan inti dari pada bentuk keseluruhan tahapan prosesi ritual.maggauqyang
di dalamnya terdapat berbagai bentuk ritual seperti mappaleppeq yang bertujuan
untuk mempersembahkan sesajian kepada dewa-dewa yang bersemayang dalam kalbu
masyarakat. Fase maggauq dipimpin langsung oleh beberapa orang Sanro
Déwata.Sanro Déwata sebagai pimpinan ritual dipercaya memiliki banyak kelebihan
diantaranya kemampuan berkomunikasi dengan para dewa-dewa leluhur.kemampuan
berbahasa yang dimiliki oleh para Sanro Déwata menjadi penentu diterimanya
persembahan sesajian atau tidak. dalam tahap maggauq ini tidak hanya pimpinan
ritual dan pelaksana upacara saja yang turut mengambil bagian akan tetapi
masyarakat setempat maupun tamu-tamu yang datang juga mengambil peran demi
terlaksananya suatu kegiatan upacara sakral yang diharapkan sesuai dengan
rencana.
c.
Ritual penutup (mappaleppeq)
Upacara
mappaleppeq sebagai ritual penutup merupakan suatu bentuk prosesi dengan cara
menebang pohon Wélenréngyang bisa juga dikenal dengan istilah mattubbang
Wélenréngatau mattubbang aleq. Tahapan ritual mattubbang Wélenréngjuga dipimpin
langsung oleh Sanro Déwata.Alat yang digunakan untuk menebang pohon Wélenréng
tersebut pada umumnya benda tajam yang berbentuk parang.Keberadaan
Wélenréngdalam ritual tersebut dimaksudkan sebagai tempat berkumpulnya para
dewa yang yang datang dari berbagai pejuru.Ritual mattubbang Wélenréng
bertujuan untuk mempersilahkan para dewadewa untuk kembali ke tempat
asalnya.Nyanyian-nyanyian yang dilantunkan oleh para Sanro Déwata sebagai
ungkapan
kasih
sayang (pakkuruq sumangeq) kepada dewa agar meninggalkan tempat ritual dengan
perasaan gembira.
Nilai – nilai budaya dalam
prosesi ritual mallangī Arajang
1.
Tawakkal (mappésona ri Déwataé)
Mappēsona
ri DēwataÉ merupakan suatu bentuk pemikiran religius yang menyangkut keyakinan
tertinggi tentang kebesaran dan kekuasan Dēwata (Tuhan) terhadap segala bentuk
ciptaannya.
Ungkapan
seperti yang dilisankan oleh Sanro Déwata pada saat ritual berlangsung “Céddimi
Puang Allah Taala déq nagenneq dua.”Ungkapan tersebut berarti Tuhan itu hanya
satu tidak lebih dari satu.
Ungkapan
tersebut memberikan rasa keyakinan utuh kepada masyarakat ritual bahwa
janganlah menyembah selain daripada Tuhanmu (Allah SWT) yang telah menciptakan
segalanya dan menikmati semua apa yang telah diciptakannnya.
Segala
bentuk upacara kesakralan yang dilakukan hanyalah sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Allah Subhana Wataala dan sikap saling menghormati dan saling
memanusiakan antara sesama makhluk yang nampak maupun yang tidak nampak.
Selanjutnya,
mappésona ri Déwataé dipertegas pula oleh pappasenna To riolota bahwa,
duampuangenngitu gauq sisappā nasilolongeng. gauq madécénngé nenniya gauq
sitinajaé. iyyapa ritu namadécéng narékko silolongenngi yaro duaé. naiyya
lolongenna décénngé iyyapa narilolongeng narékkoq ripabiasai alétaq mangkauq
madécéng mumaperī pabbiasai alému mangkauq madécéng maduanna pakkutanai alému
ri silasanaé. matellunna saroko masé ri sitinajaé maeppāna akkréso patujué.
malimanna molaé roppo-roppo naréweq. maenenna, molaé laleng namatikeq,
nasanresenngi ri Déwataé. iyyanaritu gauq ennenngé ennenngé wuwangenna
riallolongenngi décéng.
Dari
kutipan tersebut menunjukan bahwa, apa yang disampaikan dalam pappaseng
tersebut sangat menentukan warna kehidupan seseorang sebab hati nurani itulah
yang dapat menerima kebenaran yang bersumber dari cahaya keilahian, cahaya
kebenaran, dari sang Pencipta (Syamsudduha, 2014: 308).
2.
Bawaan hati yang baik (wawang ati mapaccing)
Ungkapan
yang dilisankan oleh Sanro Déwataadalah nasehat tentang pentingnya sikap dan
tingkah laku dalam berinteraksi sesama anggota masyarakat.“Pakessingi angolona
atimmu” yang makna sebenarnya adalah “Perbaikilah arah dan tujuan hatimu”,
sedangkan makna kiasnya adalah “Jagalah sifat-sifatmu, jangan saling
menjatuhkan, jangan iri serta dengki terhadap sesamamu manusia”.
Ungkapan
tersebut mengandung nilai-nilai etis serta ajaran-ajaran moral yang dapat dijadikan
sebagai pegangan serta pedoman hidup agar dapat menjadi pribadi yang lebih baik
dalam menjalani proses kehidupan, serta penting dalam upaya membangun jadi diri
masyarakat Bugis. Selanjutnya dalam kaitannya dengan Arajang, ungkapan tersebut
dimaksudkan agar seluruh masyarakat ritual yang datang dalam ritual mallangī
Arajang memiliki prinsip keyakinan (teppeq) terhadap benda-benda ciptaan Allah
Subhana Wataala (Déwata Séuwaé) atau Tuhan yang satu.salah satupappasennna
To-riolota yang dikutip dalam Syamsudduha, 2013:214 dapat dilihat pada kutipan
berikut ini.
Makkedatopi
Tomatoaé: “Atutuiwi atimmu, anngolona ajaq muamminasaianngi ri majaq é padammu
rupa tau. Apaq mattantu ikoq mattiq majaq, muni madécéng muna gauqmu. Apaq
riturungengritu gauq madécénngé ri ati majaé. Déqsa narituttungeng ati
madécénngé ri gauq majāé. Aga nakko majaq iatimmu, lettuq I ri tomunrimmu
jaqna.”
‘Berkata
juga orang tua-tua: “peliharalah hatimu, jangan menginginkan kejelekan pada
sesamamu sebab tetulah engkau akan meperoleh kejelekan itu, meskipun
perbuatanmu sendiri tetap baik, karena sesungguhnya perbuatan baik itu
dipengaruhi oleh perbuatan yang jelek, sedangkang hati yang jelek tidak
dipengaruhi oleh perbuatan yang jelek. Jika hatimu jelek, maka kejelekannya
akan menurun sampai kepada anak cucumu.’
3.
Persatuan (asséddi-séddingeng)
Nilai
persatuan tergambar pada setiap tahapan-tahapan ritualnya, mulai dari fase
mappassadia, maggauq, dan mappaleppeq.perhatikan gambar berikut di atas. Dari
foto tersebut, tergambar bentukasséddi-séddingeng atau persatuan kelompok
masyarakat dalam mempersiapkan tempat pertunjukan padendang sebagai bagian dari
ritual mallangī Arajang.
Bentuk
persatuan masyarakat menjadi salah satu faktor suksesnya suatu upacara ritual
keadatan.Pentingnya persatuan itu disampaikan pula oleh Sanro Daddi sebagai
pimpinan ritual bahwa “pakessingi asséddi-séddimmu lao ri pabbanuamu” yang
artinya kuatkanlah persatuanmu antara sesamamu manusia (kelompok masyarakat).
Ungkapan
tersebut tertuju bagi para umat manusia secara umum, bahwa dalam menjalankan
kehidupan di tengah-tengah masyarakat, dibutuhkan tekad persatuan
(asséddi-séddingeng) yang kuat karena tanpa persatuan antara sesama masyarakat,
maka sebuah tujuan hidup itu tidak akan tercapai. Ungkapan itu juga tertuju
kepada pelaksana upacara, agar dalam mengadakan kegiatan-kegiatan ritual
keadatan maupun di luar daripada itu, sangatlah dibutuhkan persatuan
(asséddi-séddingeng) untuk mengankat hal-hal yang terasa berat menjadi ringan.
Ungkapan
lainnya yang dilisankan oleh Sanro Kaya “yaku déq muasséddi masolang wanuwaé”
artinya; apabila engkau tidak bersatu maka daerahmu akan hancur, ungkapan
tersebut tertuju kepada seluruh pabbanuaé agar tetap bersatu dalam mengerjakan
sesuatu hal. Ungkapan tersebut juga menekankan bahwa betapa persatuan itu
sangatlah penting untuk dijadikan sebagai dasar dalam mengerjakan segala
sesuatunya.
Bentuk
persatuanitu tergambarpula dari ibu-ibu dalam mempersiapkan berbagai
macammakanandan minuman baik yang akan dijadikan sebagai sesajian maupun yang akan
disantap oleh tamu. Kalangan Ibu – Ibu yang turut serta berasal keluarga,
masyarakat setempat, serta tamu-tamu undangan yang datang luar daerah Gambaran
tersebut menjadi cerminan identitaslokalsuatu kelompok masyarakat setempat.
4.
Sikap saling menghormati (sipakatau)
Salah
satu warisan luhur Bugis yang termuat dalam naskah.Pappaseng yang termuat dalam
naskan menekankan tentang pengtingnya sifat saling menghormati. Séuwatopi
adeqna makkasuwianngé ri arung mangkauq. Nakko kui ri olona arung mangkauqé, ajjaq
nalainngé taita. Arunngémusa tamata-mata, muitai paturung élona enrenngé
adanna. Ajjaq muassailé uleng nakko naéwako ada arunngé, ajjaqto muammiccu ri
olomu, ajjaqto muattulekkeng, ajjaq muakkita uleng, apaq nakko siduppa matao
liseq bolaé musicabéruseng, ripettu tigeroqko, muko siseng rigangkamuna.
Padatoi nakko siéwao ada liseq bolaé, itai baténa mappau, baténa moloiwi
paturung élona arunngé naitao mupappadai.
Artinya:
Satu lagi adatnya mengabdi pada raja yang memerintah, jika kita berada di
hadapan raja jangan melihat yang lain. Raja sajalah yang dipandang agar Anda
melihat keinginannya.jangan menoleh kiri kanan jika raja bercakap denganmu.
Jangan meludah dihadapannya.Jangan juga bertelekan. Jangan melihat ke sana-
kemari sebab jika Anda bertemu pandang denga bii-perwara lalu Anda saling
tersenyum, Anda akan dibunuh meskipun anda saling mengenal.
Seperti
juga halnya jika Anda bercakap Biti perwara lihatlah caranya bercakap melayani
kehendak raja, dan itulah yang anda tiru. Sikap saling menghormati (sipakatau)
dalam suatu interaksi sosial masyarakat menjadi ciri khas manusia Bugis.Salah
satu ciri khas itu terlihat pada prosesi ritual mallangī Arajangkhususnya pada
masyarakat Bugis Soppeng Sulawesi Selatan.
seperti
yang diungkapkan oleh para pimpinan upacara sebelum meninggalkan tempatpusat
ritualbahwa,Meloqna méllau simaq lao ri pabbanua éUngkapan tersebut berarti
“saya mohon pamit kepada seluruh pelosok negeri” ungkapan tersebut mengajarkan
kita untuk saling menghormati, sifat sopan santun, tata krama dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat yang lebih baik. Hal itu pula dapat menjadi pelajaran
khususnya bagi masyarakat ritual bahwa saling menghormati dan menghargai antara
sesama makhluk ciptaan Allah SWT adalah hal yang paling utama.
Hal
yang diungkapkan oleh para Sanro tersebut juga diikuti oleh gerakan tangan
kanan lurus di samping lutut dengantubuh yang sedikit menunduksambil
mengucapkan tabéq dan tersenyum atau yang biasa juga dikenal dengan istilah
mappatabéq.Hal lain pula tergambar dari masyarakat ritual yang hendak kembali
dan lewat di tengah-tengah para masyarakat ritual lainnya. Budaya mappatabéq
itu masih tetap menjadi adat kebiasaan masyarakat yang masih tetap
dilestarikan.
5.
Musyawarah (assipetanngareng)
Musyawarah
sebagai salah satu hal wajib yang harus dilakukan oleh pelaksana upacara,
pimpinan ritual dan tokoh adat setempat untuk mendapatkan suatu keputusan yang
tepat dalam melaksanakan suatua bentuk prosesi kesakralan.
Musyawarah
atau biasa dikenal dengan istilah tudang sipulung seperti yang diungkapakan
oleh Abdul Kadir (dalam Syamsudduha: 2014: 448) bahwa, naiyya riasenngé tudang
sipulung engka manenniro mai sininna liseqna kamponngé tudang makkatuq
mappasiduppa rapang maéloq mappatabbukkaq bunga puté.
artinya:
yang dikatakan tudang sipulung adalah berkumpulnya seluruh kalangan masyarakat
yang duduk berjejeran sambil mengungkapkan ide atau gagasan pemikiran untuk
mendapatkan satu keputusan yang tepat. Kaitannya dengan upacara mallangī
Arajang bahwa tudang sipulung dilaksanakan satu bulan sebelum acara ritual itu
berlangsung.
Tudang
sipulung dimaksudkan untuk mendapatkan keputusan-keputusan dan kepastian
mengenai perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan dalam acara tersebut dan
membuat konsep yang matang demi kelancaran acara tersebut.
Adapun
pokok-pokok permasalahan yang dibahas sepertipenentuan tanggal dan waktu
pelaksanaan,pengadaan Tédongatau kerbau sebagai syarat utama dalam melaksanakan
ritual tersebut, pengadaan berbagai macam kesenian dan permainan rakyat dan
berbagai macam perlngkapan-perlengkapan lainnya yang akan digunakan dalam
ritual tersebut. Selain itu disela-sela pelaksanaaan ritual para Sanro,
keluarga atau pelaksana ritual, dan maupun masyarakat ritual sendiri selalu
menyempatkan untuk berdiskusi ataupun bermusyawarah yang dalam bahasa Bugis
disebut dengan istilah mappasilolongeng.Kegiatan mappasilolongeng tersebut
bertujuan untuk membicarakan beberapa tahapan ritual yang sudah berlangsung
maupun tahapan baru akan dilakukan.
V.
KESIMPULAN
Upacara
ritual mallangī Arajang sebagai salah satu produk budaya lokal yang masih tetap
bertahan dan kaya akan nilai-nilai budaya di dalamnya serta merupakan cerminan
bagi masyarakat sosial pada umumnya.
Lokalitas
tidak hanya berfungsi sebagai suatu adat kebiasaan semata akan tetapi
terkandung berbagai macam ajaran moral yang dapat dijadikan sebagai modal dasar
dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang lebih baik dari sebelumnya.
Kandungan
nilai-nilai itu seperti tawakal, bawaan hati yang baik, persatuan, musyawarah,
serta sikap saling menghormatiyang diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam
upaya pembentukan karakter masyarakat dan pada khususnya generasi penerus
bangsa.
PUSTAKA
[1]
Ansar. 2016. Nilai-nilai budaya dalam Sinrilik Kappalak Tallumbatua.
Makalah.BPNB Makassar.
[2]
Arisal.2016. Makna Ungkapan dan Simbol dalam Prosesi Ritual Maccéraq Arajang
Masyarakat Bugis Soppeng Sulawesi-Selatan.Skripsi.Tidak diterbitkan.
[3]
Faisal. 2005. Aktualisasi Nilai-Nilai Budaya Etnik Mandar Dalam Arena Sosial.
[4]
Joesoef Daoed & Pontjo Sutowo. 2017. Nilaiinilai keindonesiaan. Jakarta:
Kompas.
[5]
Koenjtaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
[6]
Iriani.2015. Maccéraq Tasi’: sebagai ritual nelayang di Luwu. Makassar.
[7]
Arus Timur.
[8]
Maleong, J.Lexy, 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Cetakan ke-15. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
[9]
Mattulada. 1995. LATOA: Satu Analitis Terhadap Antropologi Politik orang Bugis.
Ujung Pandang: Hasanuddin Universiy Press.
[10]
Pelras, Cristian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Forum Jakarta –Paris Ecole
Francais d’ Extreme-Orient.
[11]
Puji, Leksono. 2017.Pengantar Antropologi: memahami realitas sosial budaya.
Malang: Intrans Publishing.
[12]
Rafiuddin Nur, Muhammad. 2008. Aku Bangga Berbahasa Bugis. Makassar: Rumah Idi.
[13]
Syamsudduha, 2013.Dimensi Kewacanaan Pappaseng: Kajian Wacana Kritis. Makassar:
Disertasi.
[14]
Tilar, H. A. R. 2004.Multikulturalisme: Tantangan – Tantangan Global Masa Depan
dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
[15]
Wikipedia Bahasa Indonesia, 2010.“Suku Bugis” Online.
(http://id.wikipedia.org/w/indeks.php?title=suku_Bugis &oldid=5322600”.
Diakses 9 juli 2017.