Oleh Jose Manuel Tesoro
Majalah Asiaweek
====================
Artikel ini diterjemahkan
dari laporan investigasi yang ditulis Majalah Asiaweek Vo. 26/No. 8, 3 Maret
2000. Membaca artikel ini kita akan diantarkan oleh Tesoro kepada konstruksi
fakta-fakta yang berbeda dengan stigma yang melekat pada berbagai peristiwa
pada 1998.
Baca Artikel Sebelumnya : Prabowo Kambing Hitam Pergantian Rezim ‘Rangkaian Kejadian (2)
Kejadian tersebut bermula hari Selasa, 12 Mei, ketika Prabowo menerima
panggilan telepon. Beberapa mahasiswa tertembak selama demonstrasi di
Universitas Trisakti. Naluri pertama Prabowo adalah untuk menyalahkan pasukan
keamanan yang tidak disiplin. “Kadang-kadang polisi dan tentara kita begitu
tidak profesional. Anda dapat melihat beberapa kesatuan seperti itu. Ya, Tuhan,
ini bodoh. Itu adalah reaksi pertama saya.”tutur Prabowo
Sebelumnya : Prabowo Kambing Hitam Pergantian Rezim (I)
Merasa situasi darurat
segera terjadi, dia pergi ke markas besarnya di Medan Merdeka, yang hanya
terletak di samping markas garnisun. Sebagai Panglima Kostrad, tugas Prabowo
adalah menyediakan anak buah dan peralatan. “Saya memanggil pasukan,
menyiagakan mereka,” katanya. “Pasukan ini selalu di bawah kendali operasional
dari komandan garnisun. Itulah sistem kami. Saya pada dasarnya hanya
berkapasitas sebagai pemberi saran. Saya tidak mempunyai wewenang.”
Dia kembali ke rumah
setelah tengah malam, tetapi kembali ke markas Kostrad pagi-pagi esok harinya, 13 Mei. Ketika perusuh mulai merampok
dan membakar gedung-gedung, Prabowo menghabiskan waktu seharian untuk
memikirkan cara bagaimana menggerakkan dan menampung batalion-batalionnya.
Kecemasan lain: esok harinya Wiranto telah dijadwalkan memimpin sebuah upacara
angkatan darat pada pagi berikutnya di Malang, Jawa Timur, sekitar 650 km lebih
dari ibukota yang sedang kacau.
Baca Juga : Prabowo diserang Bukti Lawan Politiknya Panik
Sepanjang tanggal 13 Mei, Prabowo berkata bahwa dia
mencoba membujuk Wiranto untuk membatalkan kehadirannya di Malang. “Saya
menganjurkan bahwa kita membatalkan upacara tersebut di Malang,” katanya.
“Jawabnya: tidak, upacara tersebut tetap berlangsung. Saya menelepon kembali.
Itu terjadi bolak-balik. Delapan kali saya menelepon kantornya, delapan kali
saya diberitahu bahwa upacara itu harus tetap dilaksanakan.”
Jadi pada jam enam
pagi, hari Kamis tanggal 14 Mei,
Prabowo tiba di pangkalan udara Halim di Jakarta Timur. Dia mengatakan
terkejut, pada situasi yang tegang seperti ini, menjumpai sebagian besar
pimpinan militer ada di sana. Selama penerbangan dan upacara, dia mengatakan
bahwa Wiranto dan dia tak banyak bicara satu sama lain.
Mereka tiba kembali di
ibukota lewat tengah hari. Prabowo kembali ke markas besar Kostrad, lalu
langsung menemui Syafrie. Pangdam Jaya saat itu akan mensurvei bagian barat
kota dengan helikopter. Prabowo menerima ajakan Syafrie untuk bergabung. Sambil
menyaksikan hari kedua kerusuhan dari langit yang berasap, Prabowo tak habis
pikir, “Mengapa terdapat begitu sedikit tentara di sekitarnya?”
Sekitar jam 03.30 sore hari, Prabowo
meninggalkan Kostrad untuk menemui Habibie. Presiden sedang berada di Kairo sejak 9 Mei untuk menghadiri sebuah
konferensi tingkat tinggi. Wakil Presiden dan Prabowo berbincang tentang
kemungkinan sebuah suksesi. Berdasarkan konstitusi, Prabowo menjelaskan bahwa
Habibie adalah pengganti Soeharto. Kemudian berganti topik tentang siapa Pangab
berikutnya. “Saya harus tahu tentang pergantian itu,” kata Prabowo. “Dia
(Habibie) berkata, ‘jika namamu muncul, saya akan setujui’. Ada sebuah
perbedaan besar di sana.”
Tengah malam, Prabowo ditelepon sekretarisnya. Buyung Nasution dan
sekelompok tokoh dari berbagai latar belakang ingin menemuinya.
Dalam perjalanan
kembali menuju markas Kostrad, Prabowo memperhatikan bahwa urat nadi bisnis
utama Jakarta kelihatan tak terkawal. Dia bertemu komandan garnisun. “Saya
berkata: Syafrie, di Jalan Thamrin tidak ada tentara. Dia meyakinkan saya bahwa
ada cukup tentara. Dia meminta saya ikut, dan kami memeriksanya.” Prabowo
menyarankan untuk mengambil separuh dari 16 kendaraan lapis baja yang sedang
menjaga kementerian pertahanan dan mengirim mereka ke Jalan Thamrin. Hal itu
dilaksanakan.
Tengah malam, Prabowo
ditelepon sekretarisnya. Buyung Nasution dan sekelompok tokoh dari berbagai
latar belakang ingin menemuinya. Pertemuan 14
Mei ini akan menjadi perhatian utama pada investigasi selanjutnya mengenai
kerusuhan Mei.
“Ketika saya tiba di
markas, mereka ada di sana,” kata Prabowo. “Saya tidak memanggil mereka, mereka
menanyakan, apa yang sedang terjadi?” Buyung Nasution mengkonfirmasi kebenaran
rumor yang beredar bahwa Prabowo-lah yang mendalangi kerusuhan, penembakan di
Trisakti, begitu juga penculikan-penculikan.
Buyung juga bertanya
apakah terdapat persaingan antara dia dan Wiranto. Prabowo menyangkal semuanya.
“Bagaimana bisa terjadi persaingan?” dia menjelaskan sekarang. “Dia bintang
empat, saya bintang tiga. Saya sedang mencoba untuk mengejarnya. Tapi bukankah
saya calon yang tepat untuk menggantikannya?”
Setelah menghadiri
rapat komando yang dipimpin langsung oleh Wiranto, Prabowo tiba di tempat
pertemuan berikutnya hampir jam satu malam. Dua teman dekat Abdurrahman Wahid
menyarankan agar Prabowo menjumpai ulama itu, yang hampir saja terlelap saat
sang jenderal tiba. Wahid, alias Gus Dur, masih berkenan menerima Prabowo dan
bertanya tentang situasi yang kacau balau. “Saya katakan, kami bisa
mengendalikan situasi esok hari,” kata Prabowo.
Setelah berganti baju,
Prabowo langsung menuju bandara Halim Perdana Kusuma, di mana Soeharto
mendarat, Jumat, 15 Mei dinihari.
Prabowo menunggu di dalam mobil ketika Wiranto bertemu Soeharto. Mereka
bertiga, disertai sebagian besar petinggi militer, melaju menuju kediaman
Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta Pusat.
Pada akhir pemerintahannya,
Soeharto menjadi begitu tergantung pada menteri-menterinya,
jenderal-jenderalnya, dan anak-anaknya yang mengelilinginya setiap waktu.
Soeharto adalah pemimpin mereka, tetapi rasanya, orang tua itu juga menjadi
tawanan mereka.
Prabowo berkata,
Soeharto bermuka masam di depannya. Sekarang Prabowo sadar bahwa saat itu
Soeharto berpikir menantunya itu memiliki rencana menggulingkannya. Kata
Prabowo, “Muncul di koran-koran bahwa Jenderal Nasution, yang semua orang tahu
dekat dengan saya, mengatakan bahwa Amien Rais harus bicara dengan Jenderal
Prabowo untuk mengendalikan situasi. Informasi ini pasti sampai kepada Pak
Harto.”
Pada akhir
pemerintahannya, Soeharto menjadi begitu tergantung pada menteri-menterinya,
jenderal-jenderalnya, dan anak-anaknya yang mengelilinginya setiap waktu.
Soeharto adalah pemimpin mereka, tetapi rasanya, orang tua itu juga menjadi
tawanan mereka.
“Ada seni intrik
istana yang sudah berakar ribuan tahun,” kata Prabowo. “Anda berbisik dengan
sangat hati-hati, dan meracuni pikiran seseorang. Saya mencoba memberikan
informasi, tetapi saya justru dianggap ikut campur. Ada orang yang meracuni
pikirannya (Soeharto): bahwa menantunya ada di sana hanya untuk merebut
kekuasaan.” Pemikiran itu, Prabowo yakin, ikut membantu menjatuhkannya.
Prabowo Kambing Hitam Pergantian Rezim 'Pengunduran Diri' (4)
Sumber Soedoet
Pandang