Bugiswarta.com, Jakarta — Ketua Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI), Razikin, angkat bicara terkait serangan bernuansa penghinaan yang dialamatkan kepada Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia. Menurutnya, kritik yang beredar beberapa waktu terakhir sudah melewati batas etika politik, bahkan mengarah pada rasisme yang membahayakan persatuan bangsa.
Razikin menegaskan bahwa serangan terhadap Bahlil tidak bisa hanya dipahami sebagai ekspresi kekecewaan politik. Ia menilai, ada indikasi kuat prasangka rasial yang menyusup dalam komentar dan ujaran yang menyerang pribadi Bahlil.
“Penghinaan terhadap Bahlil Lahadalia beberapa waktu terakhir bukan sekadar ekspresi kekecewaan politik atau kritik terhadap pejabat negara. Lebih dari itu, saya menyimak di beberapa platform media sosial, bahwa serangan tersebut lahir dari prasangka rasial yang masih hidup dalam sebagian pikiran bangsa kita, sebuah ‘back mind’ kolonial yang terus diwariskan dari generasi ke generasi tanpa disadari,” ujar Razikin.
Razikin menyebut bahwa Bahlil diserang bukan karena kebijakannya, melainkan karena latar belakang etnis dan penampilannya.
“Serangan terhadap Bahlil bukan karena kebijakannya, bukan karena kapasitasnya sebagai Menteri Investasi, tetapi karena ia datang dari suku minoritas, karena ia orang Papua, karena ia berambut keriting dan berkulit hitam. Itulah akar masalahnya sebuah bias rasial yang seolah memberi legitimasi kepada sebagian orang untuk menertawakan dan merendahkan seseorang hanya karena penampilannya berbeda,” jelasnya.
Ia menegaskan, bentuk rasisme yang dialami Bahlil adalah wajah rasisme struktural yang paling halus, namun berbahaya. Rasisme tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi bisa muncul dalam sikap meremehkan, ucapan diskriminatif, hingga pembiaran publik terhadap ujaran kebencian berbasis ras. Menurut Razikin, kasus yang menimpa Bahlil harus menjadi refleksi bersama.
“Apa yang menimpa Bahlil Lahadalia harus menjadi cermin luka kebangsaan kita. Ia menunjukkan bahwa di balik slogan Bhinneka Tunggal Ika, masih ada sebagian masyarakat yang belum sungguh-sungguh menerima keberagaman sebagai kekuatan,” katanya.
Ia menilai, Bahlil justru merupakan simbol perubahan. Dari latar belakang sederhana di Papua, Bahlil berhasil membuktikan diri mampu memimpin lembaga strategis, berbicara di forum internasional, dan mengelola investasi nasional.
“Bahlil Lahadalia adalah simbol perubahan. Ia membuktikan bahwa anak Papua bisa memimpin, bisa berbicara di forum internasional, bisa mengelola investasi nasional, dan bisa berdiri sejajar dengan siapa pun di republik ini. Ketika ia dihina karena warna kulitnya, sejatinya yang dihina adalah semangat persatuan bangsa dan keadilan sosial yang kita agungkan dalam Pancasila,” tegas Razikin.
Razikin juga mengingatkan bahwa rasisme adalah kejahatan moral sekaligus kejahatan hukum. Ia menyinggung UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta UU ITE Pasal 28 ayat (2), yang menegaskan larangan penyebaran ujaran kebencian berbasis SARA.
“Karena itu, saya mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak cepat, objektif, dan tegas terhadap siapa pun yang menyebarkan ujaran bernuansa rasis kepada Bahlil Lahadalia,” ujarnya.
Menurutnya, perbedaan pandangan politik dan kritik terhadap pejabat publik adalah bagian dari demokrasi, namun penghinaan berbasis ras tidak bisa ditoleransi.
“Kita boleh berbeda pandangan politik, kita boleh mengkritik pejabat publik itu hak demokrasi. Tetapi tidak ada hak untuk menghina manusia karena warna kulitnya. Kritik adalah bagian dari kebebasan berpikir, tetapi rasisme adalah kebodohan yang mematikan nalar kemanusiaan,” tegas Razikin.
Menolak Rasisme, Merawat Kebangsaan
Razikin mengajak seluruh anak bangsa untuk menolak segala bentuk rasisme, terutama di media sosial yang rawan menjadi ladang ujaran kebencian.
“Saya mengajak seluruh anak bangsa untuk menolak rasisme dalam bentuk apa pun. Jangan biarkan media sosial menjadi ladang subur bagi ujaran kebencian berbasis ras. Jangan biarkan kebebasan berpendapat disalahgunakan menjadi kebebasan untuk menghina,” katanya.
Ia menekankan bahwa Papua bukan pinggiran, melainkan bagian penting dari jantung Indonesia.
“Bangsa ini tidak akan maju selama sebagian anak bangsanya masih diperlakukan sebagai ‘yang lain’. Papua bukan pinggiran, Papua adalah bagian dari jantung Indonesia. Dan Bahlil Lahadalia adalah bukti hidup bahwa dari tanah yang kerap diremehkan, lahir pemimpin yang membanggakan republik ini,” pungkasnya.
Razikin menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa pembelaannya kepada Bahlil bukan sekadar dukungan personal, melainkan demi menjaga martabat bangsa dari kerusakan moral akibat rasisme.
“Karena itu, sebagai Pengurus DPP KNPI, saya berdiri bersama bukan hanya untuk membela Bahlil sebagai individu, tetapi untuk membela martabat bangsa dari kerusakan moral akibat rasisme,” tutup Razikin.

