Di sudut kamar yang sunyi, aku menatap layar ponsel yang telah berkedip-kedip beberapa kali. Pesan yang selalu kuragu untuk kukirim telah tertulis di sana, tapi jempolku masih enggan untuk menekan tombol "kirim". Aku membaca lagi pesan yang sudah kubuat dengan hati-hati, penuh dengan rasa marah, kecewa, dan perih yang belum sempat kuungkapkan selama ini.
"Haii kamu!!! Aku masih di sini dan mempertanyakan semuanya sejak tahun 2022..."
Kalimat pertama yang kutulis itu mengingatkanku kembali pada janji yang kamu ucapkan dulu. Sebuah janji manis yang saat itu seolah menjadi pengikat antara kita berdua. Kamu berjanji untuk tidak meninggalkanku, untuk tidak menghianatiku lagi, setelah sebelumnya kau hampir menghancurkan hatiku di tahun-tahun sebelumnya.
Tapi, di 2024, janji itu kamu langgar lagi. Aku tahu, mungkin aku memang tidak secantik wanita-wanita di luar sana, mungkin aku tidak semenarik mereka, dan ya, aku tidak kaya seperti dirimu. Tapi satu hal yang tak pernah berubah dariku, aku selalu menjaga hatiku untukmu.
Saat kamu sibuk dengan duniamu di sini, aku berada di negeri orang, Singapura, mencoba mengatur ulang hidupku sambil tetap berpegang pada hubungan kita. Betapa berat rasanya berada jauh darimu, tapi aku tetap setia. Aku tidak pernah membiarkan diriku terjebak dalam godaan lelaki lain.
Aku menjaga diri, menjaga janji yang kita buat bersama. Tapi apa balasanmu? Di saat aku berjuang di negeri orang, nomorku kau blokir, panggilanku tak kau angkat, pesanku tak pernah sampai ke ponselmu. Seolah-olah aku tidak lagi ada dalam hidupmu.
"Serendah itu aku di matamu, Tuan?" pikirku, berkali-kali, setiap kali kekecewaan itu muncul.
Mengapa, Tuan? Mengapa banyak lelaki yang tidak mampu bertahan dalam hubungan jarak jauh? Padahal aku tidak pernah menuntut lebih, hanya kesetiaan dan kehadiranmu dalam hidupku, walaupun hanya dari jarak jauh.
Aku tidak pernah membencimu, bahkan tidak ingin menyalahkanmu atas apa yang terjadi, tetapi apakah aku selalu ditakdirkan bertemu dengan lelaki yang tidak bersyukur memiliki aku?
"Kamu mengatakan aku egois?" tulisku lagi di pesan itu, mengingat bagaimana kamu menyalahkanku saat semuanya mulai retak.
Ya, mungkin sekarang aku memang menjadi wanita yang egois. Aku yang dulu memohon-mohon, yang pernah berpikir untuk mengakhiri hidupku karena tekanan kerja di negeri orang, karena tekanan pikiran di tanah air. Masih ingatkah kamu, Tuan? Saat itu, aku sedang berada di titik terendah hidupku, kelelahan fisik dan mental karena pekerjaan di negeri asing.
Di tengah rasa putus asaku, kamu meneleponku, tapi bukan dengan kata-kata yang menenangkanku. Tidak, kamu menelepon dengan wanita baru di sisimu, dengan suara yang penuh kebahagiaan, seolah-olah aku bukan lagi bagian dari hidupmu.
"Anty, akhiri semuanya. Aku sudah menemukan penggantimu. Aku tidak sanggup lagi menjalani hubungan jarak jauh." Itu kata-kata yang kamu ucapkan padaku. Saat itu, aku tidak bisa percaya. Di mana hatimu, Tuan? Apakah empat tahun yang kita jalani tidak berarti apa-apa bagimu?
Empat tahun bukanlah waktu yang singkat, Tuan. Aku telah menolak perjodohan dari keluargaku demi kamu. Aku berjuang keras, bahkan sampai ke Tiongkok, untuk membantu mempercepat proses agar kita bisa bersama.
Tapi inilah balasannya. Aku tahu, aku mungkin menjadi egois sekarang, tapi siapa yang tidak? Sepanjang hidupku, aku tidak hanya mencari seseorang untuk mendampingiku saat senang, tapi juga saat susah, saat sakit, saat lelah. Bukan seseorang yang meninggalkanku di saat sulit dan mencari kenyamanan di luar sana.
Teringat kembali semua kenangan, aku merasakan sakit yang menyesak di dadaku. Kamu datang ke hidupku lagi dan lagi, dengan janji-janji manis, namun selalu pergi di saat yang paling tidak terduga. Aku telah berusaha untuk menerima segala kekuranganmu, untuk memaklumi kekurangan yang mungkin kamu rasakan dariku. Tapi kali ini, kamu benar-benar menghancurkanku.
Aku menutup mata, mencoba menenangkan diri sejenak. Setiap kata yang kutulis seolah membawa kembali setiap luka yang selama ini coba kuobati. Tapi, apakah layak aku terus menyimpan semua rasa ini? Apakah layak aku terus bertahan untuk seseorang yang berkali-kali meninggalkanku?
Pesan itu masih belum kukirim. Jari-jariku kini gemetar, bukan karena ragu, tapi karena aku tahu bahwa mengirim pesan ini tidak akan mengubah apa-apa. Kamu sudah pergi. Kamu sudah menemukan seseorang yang baru. Dan aku? Aku hanya tinggal sendiri, mengumpulkan serpihan-serpihan hatiku yang hancur.
Empat tahun, Tuan. Empat tahun aku mencintaimu, percaya padamu, dan berjuang untuk kita. Tapi sekarang aku tahu, mungkin ini saatnya aku melepaskanmu. Mungkin ini saatnya aku berhenti berharap pada janji-janji yang kosong. Aku sudah memberikan seluruh hatiku untukmu, dan kamu memilih untuk mengkhianatinya.
Aku membuka mataku kembali, menatap layar ponsel. Pesan itu masih ada di sana, belum terkirim. Aku mengambil napas dalam-dalam, menyadari bahwa tidak ada gunanya lagi mengirimkannya. Kamu tidak akan peduli. Pesan ini tidak akan mengubah apapun. Yang tersisa sekarang hanyalah diriku, dan luka yang harus kusembuhkan sendiri.
Aku menghapus pesan itu, menghapus semua kenangan tentangmu yang masih tertinggal di ponselku. Sudah cukup. Aku sudah cukup terluka. Kini, saatnya aku berjalan maju, tanpa bayang-bayangmu lagi.
Dengan hati yang perlahan-lahan mulai menerima kenyataan, aku meletakkan ponselku di meja dan menatap keluar jendela. Di luar, kehidupan terus berjalan. Dan aku pun akan begitu. Mungkin butuh waktu, tapi aku akan sembuh, meskipun tanpa dirimu.