BUGISWARTA.com, JAKARTA -- Sebagai bagian dari suku Bugis, mempelajari sejarah wanita Bugis yang dihargai sebagai pemikir atau intelektual merupakan sebuah kewajiban. Salah satu figur yang memperlihatkan kecemerlangan dalam hal ini adalah Colliq Pujie, yang dalam catatan sejarah dikenal sebagai Retna Kencana Datoqna La Pageqlipue’.
Dilahirkan pada abad ke-19 di Sulawesi Selatan, keberadaannya mencuat sebagai contoh nyata dari kecerdasan dan keberanian seorang perempuan.
Colliq Pujie terkait erat dengan karya sastra epik Bugis, La Galigo, yang menjadi sorotan para ahli bahasa dan budaya di berbagai belahan dunia.
Tugasnya menyalin dan mengedit kembali naskah La Galigo, atas permintaan seorang misionaris Belanda, membuktikan kecerdasannya yang luar biasa dalam memahami dan melestarikan warisan budaya.
Selain menjadi pengarang dan intelektual, Colliq Pujie juga menunjukkan kepemimpinan yang tangguh dalam menentang penjajahan Belanda di Tanah Bugis.
Kecerdasannya dalam menyusun huruf Bilang-bilang sebagai alat komunikasi rahasia menjadi salah satu contoh nyata bagaimana ia memanfaatkan keahliannya untuk melawan kekuasaan yang ingin menguasai tanah dan adat Bugis.
Peran Colliq Pujie tidak hanya terbatas pada ranah sastra dan budaya, tetapi juga dalam sejarah dan politik. Ia menjadi salah satu penentang utama kekuasaan Belanda, dan keberaniannya dalam mengorganisir perlawanan rakyat menghasilkan pengucilan dan penindasan selama 10 tahun.
Meskipun begitu, dia tetap teguh dalam prinsipnya, menjadikannya tokoh perlawanan yang dihormati.
Dalam pandangan Nurhayati Rahman, Colliq Pujie adalah contoh nyata seorang intelektual dan pahlawan wanita yang menggabungkan kekuatan intelektualitas dengan semangat perlawanan.
Karya-karyanya tidak hanya memengaruhi dunia Bugis, tetapi juga memperluas pengaruhnya hingga ke tingkat internasional.
Dengan demikian, Colliq Pujie menawarkan satu contoh yang menarik dalam melihat peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah dan budaya Indonesia.
Melalui kecerdasannya dan keberaniannya, ia menggambarkan bahwa perempuan Bugis mampu menjadi pemikir dan pemimpin yang diakui dunia, menjadikan warisan budaya mereka sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah manusia.