La Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh: Menggugah Keadilan Melalui Penghapusan Perbudakan -->
Cari Berita

La Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh: Menggugah Keadilan Melalui Penghapusan Perbudakan


Oleh Asmar Oemar Saleh


"Katakan semuanya"?


"Aku takut mengatakannya. Setiap kata yang kau ucapkan adalah rahasia besar".


"Tuan, anda percaya pada keadilan yang anda katakan"?


"Ya…. aku percaya".


"Perbudakan adalah kejahatan besar yang harus dihapuskan. Surat pembebasanku adalah suatu kebahagiaan yang tiada taranya, untuk melihat istriku dan keluargaku lagi. Aku sudah menyusuri keindahan negeri ini selama 20 tahun, kebebasanku adalah segalanya".


Itu cuplikan dialog dalam Film 12 Years a Slave, pemenang Oscar 2014.


Sebuah dialog berkesan menggambarkan perasaan takut dan keberanian. Seorang pria menyatakan rasa takutnya mengungkapkan rahasia besar, namun dia tetap berani berbicara tentang keadilan. Percakapan tentang perbudakan menggambarkan kebahagiaan pembebasan dan kerinduan akan kebebasan setelah 20 tahun menyusuri negeri. 


*

Dalam suksesi sejarah dunia, kisah pemberontakan melawan perbudakan telah menemukan tempatnya sebagai tonggak penting dalam perjuangan manusia menuju keadilan dan martabat. Salah satu kisah yang mungkin belum banyak dikenal adalah cerita tentang La Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh, seorang pejuang keadilan yang gigih memimpin pergerakan penghapusan perbudakan di sebuah sudut terpencil dari dunia, yang melampaui batas-batas geografis dan waktu.


Pada tahun 1948, Universal Declaration of Human Rights menegaskan bahwa perbudakan adalah kejahatan besar yang harus dihapuskan. Namun, jauh sebelum deklarasi ini, 305 tahun sebelumnya, seorang pemimpin dari daerah yang jauh dari pusat perhatian dunia telah memutuskan untuk mengambil langkah berani melawan perbudakan. La Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh, yang memimpin Kerajaan Bone XIII, berdiri sebagai lambang perlawanan melawan praktik perbudakan.


Ketika Abraham Lincoln mengeluarkan Proklamasi Emansipasi pada tahun 1862, Amerika Serikat merayakan langkah penting menuju penghapusan perbudakan. Namun, pada saat itu, di tempat yang jauh dari benua Amerika, La Maddaremmeng, 220 tahun sebelumnya telah meneriakkan kebebasan bagi manusia. Tindakan dan keputusannya menghapuskan perbudakan dalam wilayah kerajaannya jauh sebelum gerakan global diakui sebagai langkah yang luar biasa dalam sejarah peradaban.


Tidak seperti perangkat hukum modern, tindakan La Maddaremmeng bukanlah reaksi terhadap tekanan internasional atau dorongan politik, tetapi merupakan manifestasi nyata dari keyakinan agama akan martabat dan hak asasi manusia. Tindakan penghapusan perbudakan yang diambil olehnya adalah bukti bahwa keadilan dan kebenaran tidak mengenal batas geografis atau waktu.


Sejarah telah membuktikan bahwa tindakan perlawanan seperti yang dilakukan oleh La Maddaremmeng memiliki daya ungkit yang kuat dalam membentuk pandangan manusia terhadap keadilan. Kebaikan dan ketulusan dalam tindakan tersebut telah mengilhami generasi-generasi selanjutnya untuk berdiri bersama dalam melawan ketidakadilan, bahkan di tengah tantangan yang sulit.


Dalam sebuah kutipan dari sastrawan Arab Naguib Mahfouz, perilaku La Maddaremmeng diakui sebagai langkah yang lebih besar daripada sekadar pembangunan kerajaan atau akumulasi kekayaan. Tindakannya menggarisbawahi betapa pentingnya keadilan dan kebenaran sebagai pijakan mendasar peradaban manusia. Perbudakan mungkin telah menguasai berbagai aspek kehidupan di masa lalu, tetapi kebenaran dan keadilan akan selalu muncul sebagai pilar yang tidak dapat digoyahkan.


La Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh telah memberikan kontribusi berharga terhadap perjalanan panjang menuju kebebasan dan keadilan. Kisahnya mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan perbudakan tidak terbatas pada satu tempat atau waktu tertentu, melainkan menjadi perjuangan universal bagi martabat dan hak asasi manusia. Ia adalah pahlawan yang mungkin terlupakan dalam banyak catatan sejarah, tetapi warisannya yang tak ternilai tetap hidup dalam semangat perjuangan melawan segala bentuk ketidakadilan.


*


Pada bulan Oktober 1643, cahaya purnama menerangi langit di atas Bone, sebuah kota penting di Sulawesi Selatan. Tetapi dibalik kilauan indah tersebut, tersembunyi kisah epik perjuangan yang akan membentuk sejarah perubahan sosial dan politik di wilayah Asia Timur dan Tenggara. Pada saat itu, Karaeng Pattingalloang memimpin pasukan Makassar yang berjumlah tak kurang dari 40.000 prajurit, melancarkan kampanye yang akan mengubah nasib kerajaan tersebut selamanya.


Lebih dari dua abad sebelum Abraham Lincoln mengangkat isu abolisi perbudakan dalam konteks Perang Saudara Amerika Serikat, Raja Bone XIII La Maddaremmeng Sultan Muhammad Saleh telah memimpin sebuah gerakan revolusioner untuk membebaskan budak. Tindakan ini mungkin merupakan kasus pertama dari jenisnya di Asia Timur dan Tenggara, dan mencerminkan tekad dan keberanian La Maddaremmeng dalam menghadapi tantangan zaman.


Sebagai awal dari perubahan besar, Karaeng Matoaya Sultan Abdullah Awalul Islam Tumenanga ri Agamanna, ayah Karaeng Pattingalloang, pernah mengunjungi Bone dan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan lainnya. Ia mempromosikan Islam sebagai jalan menuju perubahan yang diperlukan untuk mengatasi tantangan zaman. Dengan keyakinan bahwa ajaran agama baru akan menjadi fondasi yang lebih kokoh bagi kerajaan-kerajaan tersebut, terutama dalam menghadapi arus perubahan yang deras dari luar, La Maddaremmeng mengambil langkah progresif ini.


Setelah La Maddaremmeng naik takhta, semangatnya untuk melaksanakan ajaran Nabi sejalan dengan semangat penghapusan perbudakan. Walaupun perbudakan telah menjadi bagian integral dari struktur sosial dan ekonomi kerajaan, La Maddaremmeng memandangnya sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Namun, perjuangan melawan perbudakan ini tidak berjalan mulus. Kerajaan Gowa, di wilayah selatan Sulawesi, awalnya ragu menghadapi perubahan ini. Meskipun sejumlah bangsawan Bugis telah mendesak Gowa untuk bertindak, keraguan masih melingkupi tindakan tersebut.


Salah satu tindakan yang mencolok dalam perjuangan ini adalah pengasingan We Tenrisoloreng Datu Pattiro, ibunda La Maddaremmeng, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan tanpa kompromi yang diterapkan. Tindakan ini memberikan tekanan tambahan pada Bone dan meningkatkan ketegangan antara Bone dan Gowa.


Karaeng Pattingalloang melakukan tindakan penting dengan mengirim utusan untuk mengklarifikasi apakah ajaran penghapusan budak ini merupakan panduan agama atau hanya keputusan pribadi La Maddaremmeng. Namun, ketika Bone gagal memberikan jawaban yang memuaskan, Karaeng Pattingalloang dan pasukannya dari Gowa, Wajo, Soppeng, dan Sidenreng memutuskan untuk bertindak. Setelah sekian banyak pertempuran dan malam yang penuh cahaya, Bone akhirnya jatuh ke tangan pasukan tersebut. La Maddaremmeng ditawan, dan inilah awal dari periode perubahan signifikan dalam sejarah Bone.


Keberhasilan perjuangan ini memicu perubahan yang lebih besar di wilayah Sulawesi Selatan. Kelak, kesultanan Bugis yang dipimpin oleh Arung Palakka Sang Raja Berambut Panjang akan memanfaatkan situasi yang semakin tegang antara Gowa dan Belanda untuk membebaskan diri dari pengaruh Somba Opu.


Perang pembebasan budak di Kerajaan Bone adalah tonggak sejarah yang mengilhami perubahan sosial dan politik. Di bawah kepemimpinan Karaeng Pattingalloang, perjuangan ini mencerminkan semangat keberanian, tekad untuk melawan ketidakadilan, dan keinginan untuk mengikuti ajaran agama. Kisah ini tetap menjadi pelajaran tentang bagaimana perubahan bisa dicapai melalui keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan.


25/8/2023