GELAGAT PENUNDAAN PEMILU KEMBALI MENGEMUKA, PERTANDA APA? -->
Cari Berita

GELAGAT PENUNDAAN PEMILU KEMBALI MENGEMUKA, PERTANDA APA?


BUGISWARTA.com, BANTEN
--  Baru baru ini, Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet) memaparkan hasil survei lembaga Poltracking soal kepuasan kinerja pemerintah Joko Widodo (Jokowi) – Maruf Amin yang sekarang berkuasa.


Dalam survei tersebut, tingkat kepuasan kinerja Jokowi-Ma'ruf mencapai angka 73,2% dimana Bamsoet kemudian mengaitkan hasil survei ini  dengan dengan keinginan rakyat untuk supaya Presiden Jokowi kembali memimpin Indonesia setelah 2024 nanti berakhir masa jabatannya.


Seiring dengan pernyataannya itu, Bamsoet juga mengatakan bahwa pemilu, dan pilpres 2024 perlu dipikirkan ulang pelaksanaannya misalnya dengan menunda  atau yang sejenisnya.


Usulan Bamsoet ini tentu saja memicu pembicaraan hangat karena yang mengusulkan adalah seorang pimpinan Lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengamandemen Undang Undang Dasar 1945.


Sebelumnya Ketua DPD RI  AA La Nyalla dalam sambutannya di Munas XVII HIPMI tanggal 21 November 2022 juga  menyatakan hal yang sama.  Ia mengusulkan penundaan pemilu dengan alasan karena dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo hanya dihabiskan untuk menangani pandemi virus corona.


"Melihat Pak Jokowi sudah dua tahun karena situasi Covid beliau belum menampakkan hasilnya, yang sekarang aja dua tahun dilewati, ya kenapa nggak ditambah aja dua tahun lagi untuk menebus yang Covid-19 kemarin," ujarnya seperti dikutip media.


Ia juga mengaku telah mengeluarkan satu statement meminta Presiden Jokowi mengeluarkan dekrit kembalinya Undang-Undang Dasar 45 sesuai dengan naskah aslinya.

"Nanti dari adendum itu sambil memperbaiki kita persilakan presiden memperpanjang, mau dua tahun mau tiga tahun silahkan yang penting adendumnya selesai, jadi pemilihan presiden cukup melalui MPR, nggak usah lagi coblos-coblosan kasian rakyat," jelasnya.


Selain pernyataan dua tokoh bangsa tersebut, kabarnya Komisi II DPR RI juga telah membahas dan “mempersiapkan segala sesuatunya” terkait dengan wacana penundaan pemilu untuk dicarikan landasan hukumnya.


Munculnya pernyataan dari dua tokoh bangsa dan pembahasan penundaan pemilu di Komisi II DPR RI, tak pelak menggairahkan kembali wacana untuk adanya penundaan pemilu  yang awalnya dianggap sudah dianggap padam alias tamat karena kerasnya perlawanan rakyat terhadap gagasan yang dinilai melawan ketentuan yang ada di konstitusi negara.


Jika pemilu yang direncanakan tanggal 14 Februari 2024 itu benar-benar akan ditunda pelaksanaannya, apa kira kira dampak buruknya terhadap kondisi bangsa dan negara ?. Apakah penundaan Pemilu itu memang sudah pernah dilakukan di Indonesia ?, Seperti apa kira kira skenario penundaan pemilu itu akan dilakukan nantinya ?


Dampak Penundaan


Upaya penundaan pemilu yang awalnya di orkestrasi oleh tiga ketua umum partai politik dan dua Menteri kabinet yang sekarang berkuasa memang sudah layu dan dianggap kehilangan legitimasinya setelah Presiden Jokowi sendiri menyebut mereka sebagai barisan orang yang menampar mukanya, orang yang mencari muka atau yang akan menjerumuskannya.


Namun terbukti kemudian gagasan untuk menunda pemilu itu tidaklah padam seperti dugaan semula. Nyatanya dua Lembaga negara yaitu DPD dan MPR lewat pimpinannya masih menggaungkan wacana yang sama. Pada hal kalau benar benar penundaan pemilu itu dilakukan akan menghadirkan dampak yang buruk bagi kondisi bangsa dan negara.


Berkaitan dengan hal tersebut,  ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan penundaan Pemilu 2024 justru akan menimbulkan kondisi buruk bagi bangsa dan negara. Dari paparan Yusril yang dikutip oleh Kompas.com menyebut adanya lima dampak buruk yang ditimbulkannya.


Pertama, Pemerintah-DPR tidak legitimate. Dalam hal ini Yusril mengungkapkan, hal pertama yang perlu diketahui sebagai dampak dari penundaan Pemilu adalah lahirnya penyelenggara negara yang tidak sah berdasarkan hukum. 


Kondisi ini berangkat dari pertanyaan Yusril soal apa dasar yang digunakan para penyelenggara negara jika bekerja melebihi batas waktu lima tahun. Yusril kemudian mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki dasar hukum yaitu Konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sementara itu, penundaan Pemilu dinilai akan menabrak konstitusi di mana mengamanatkan Pemilu digelar setiap lima tahun sekali. Ini 


Penjelasannya "Jadi, jika Pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya? Tidak ada dasar hukum sama sekali," kata Yusril. "Kalau tidak ada dasar hukum, maka semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD semuanya `ilegal` alias `tidak sah` atau `tidak legitimate`," sambungnya.


Kedua, Pemda tak dikontrol DPRD.Hingga kini, Indonesia mengenal sistem tata negara bahwa pemerintah daerah diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hanya saja, jika Pemilu ditunda, maka jelas akan muncul DPRD yang ilegal. DPRD dinilai tidak bisa lagi mengawasi atau mengontrol pemerintah daerah. "Bagaimana mau mengontrol, DPRDnya saja sudah ilegal," sindir Yusril. Hal ini juga akan berimbas pada tanggung jawab kepala daerah kepada presiden sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Mereka para kepala daerah akan kebingungan bertanggungjawab kepada siapa. Lantaran presidennya pun juga sudah ilegal. "Keadaan bangsa dan negara akan benar-benar carut marut akibat penundaan Pemilu," ujar Yusril.


Ketiga, TNI-Polri membangkang kepada Presiden. Yusril mengatakan, penundaan pemilu juga akan menimbulkan adanya pembangkangan yang dilakukan oleh Panglima TNI dan Kapolri beserta jajarannya kepada presiden. 


Hal itu dapat terjadi jika berkaca lagi kepada presiden yang sudah tidak memiliki dasar hukum atas jabatan yang diembannya. Diketahui, TNI dan Polri masing-masing bertanggung jawab secara terpisah kepada presiden. Namun, karena presiden sudah ilegal atas adanya penundaan pemilu, maka bisa saja Panglima TNI dan Kapolri membangkang kepadanya. 


"Beruntung bangsa ini kalau Panglima TNI dan Kapolri kompak sama-sama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa pada saat yang sulit dan kritis. Tetapi kalau tidak kompak, bagaimana dan apa yang akan terjadi? Bisa saja terjadi dengan dalih untuk menyelamatkan bangsa dan negara, TNI mengambil alih kekuasaan walau untuk sementara," jelasnya.


Keempat, Rakyat bisa anarkistis, bertindak semaunya. Pada umumnya, jika negara sedang diterpa carut marut masalah, maka akan menimbulkan kondisi anarkisme di dalamnya. Ia mencontohkan bagaimana kondisi anarki akan terjadi di Tanah Air jika pemilu ditunda yang berujung pada timbulnya penyelenggara negara ilegal. "Dalam anarki setiap orang, setiap kelompok merasa merdeka berbuat apa saja," ujarnya. 


Rakyat, kata Yusril, tidak ada kewajiban apa pun untuk mematuhi penyelenggara negara. Sebab, penyelenggara negaranya sendiri sudah ilegal. Dicontohkan Yusril, rakyat bahkan akan menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara semaunya sendiri. "Rakyat berhak untuk membangkang kepada Presiden, Wakil Presiden, para menteri, membangkang kepada DPR, DPD dan juga kepada MPR. Rakyat berhak menolak keputusan apapun yang mereka buat karena keputusan itu tidak sah dan bahkan ilegal," tutur dia.


Kelima,Muncul Pemerintahan Diktator.Situasi yang semakin memburuk itu digambarkan Yusril akan menimbulkan munculnya seorang diktator di negara. Adapun diktator tersebut digadang-gadang seolah muncul bak pahlawan dan berdalih menyelamatkan negara dengan tangan besinya. Bisa Terjadi Anarki dan Muncul Pemimpin Diktator Maka, dapat dipastikan diktator tersebut justru semakin memperburuk situasi. Yusril mengatakan, diktator itu akan mendorong konflik semakin meluas. "Daerah-daerah potensial bergejolak. 


Campur-tangan kepentingan-kepentingan asing untuk adu domba dan pecah belah tak terhindarkan lagi. NKRI `harga mati` berada dalam pertaruhan besar," begitu katanya.

Yang jelas penundaan Pemilu akan identik dengan terjadinya pelanggaran terhadap konstitusi negara dan meruntuhkan nilai-nilai demokrasi yang selama ini telah diperjuangkan berlakunya di Indonesia. Selain itu bisa memunculkan adanya krisis kepercayaan terhadap pemimpin yang saat ini berkuasa sehingga bisa mengganggu stabilitas negara yang berpotensi terjadinya chaos seperti yang terjadi tahun 1998 saat reformasi digulirkan oleh mahasiswa untuk menumbangkan penguasa orde baru (ORBA).


Semuanya akan membawa dampak buruk bagi berlakunya hukum, demokrasi dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ancaman disintegrasi bangsa pun tidak akan dapat dihindari lagi karena adanya kegoncangan politik secara nasional sebagai akibat terjadinya pembelahan masyarakat yang mendukung dan yang kontra sehingga dapat mengancam persatuan bangsa.


Skenario Penundaan Pemilu


Proses penundaan pemilu dalam format ketatanegaraan tentunya tetap ada celah untuk merealisasikannya. Andaikan semua pengambil kebijakan siap dengan dampak negatif yang ada jika penundaan pemilu dijalankan, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menundanya. Pertama, Amandemen Undang Undang Dasar 1945 dan perubahan Undang Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Kedua, Dekrit atau maklumat atau Perppu. Ketiga  


Referendum, Keempat, Konvensi Ketatanegaraan.


1. Amandemen UUD 1945 dan UU Pemilu


Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, serta anggota DPRD diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.


Dengan demikian jelaslah bahwa agenda pemilu  harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk proses pemilihan pemimpin bangsa. Oleh karena itu jika ada pihak yang ingin menundanya maka jelas jelas ia telah melakukan kudeta terhadap konstitusi negara.


Sungguhpun demikian, UUD 1945 memang tidak imun dengan perubahan karena memang pembentuknya mendesain perubahan UUD 1945 sedemikian rupa agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan yang ada.


Sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) UUD 1945, usul perubahan dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh 1/3 dari jumlah anggota MPR. Jumlah anggota MPR sendiri terdiri atas 575 anggota DPR)dan 136 anggota DPD. Sehingga total jumlah anggota MPR secara keseluruhan adalah sebanyak 711. Jika ketentuannya adalah 1/3 dari 711 anggota MPR, maka harus terdapat 237 anggota MPR yang mengusulkan.


Sesuai dengan Pasal 37 ayat (2) UUD 1945, usul perubahan diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Jadi untuk mengubah UUD 1945 selain ada persyaratan yang bersifat kuantitatif, terdapat juga persyaratan yang sifatnya kualitatif.


Prosedur selanjutnya setelah melalui tahapan pengusulan, maka pengubahannya harus melalui sidang MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR atau sebanyak 474 anggota MPR. Pengambilan putusan untuk mengubahnya sendiri dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR atau sebanyak 357 anggota MPR.


Mengenai terpenuhinya syarat kuantitatif tadi, dengan asumsi DPD solid dan fraksi masing-masing partai solid (termasuk partai koalisi Jokowi), maka ada beberapa simulasi dan skenario besar yang mungkin terjadi dan akan membuat proses amandemen berjalan "mulus", sebagai berikut; pertama, anggota MPR dari DPR dapat melakukan amandemen UUD 1945 tanpa kehadiran DPD. Jumlah anggota MPR dari DPR memenuhi syarat kuorum untuk pengusulan, pengesahan dan persetujuan.


Kedua, anggota MPR dari fraksi pendukung pemerintahan Jokowi yang jumlahnya 427 anggota memenuhi syarat pengusulan dan memberi persetujuan. Namun jumlahnya belum memenuhi syarat untuk kuorum sebanyak 474 anggota MPR. Artinya, kekurangan tersebut harus ditutupi anggota MPR dari DPD atau dari fraksi di luar pendukung pemerintahan, seperti dari fraksi Demokrat, PAN atau PKS.


Ketiga, fraksi partai koalisi pendukung Jokowi sebanyak 427 anggota MPR ditambah dukungan solid anggota MPR dari DPD sebanyak 136 anggota. Gabungan dua kelompok besar koalisi Jokowi ditambah DPD akan memiliki kekuatan 563 anggota MPR yang secara kuantitatif mencukupi dan memenuhi syarat untuk mengusulkan, memutus dilakukannya perubahan dan memberikan persetujuan atas perubahan. 


Jika skenario besar tersebut tidak mampu dijahit, proses amandemen mustahil untuk dilaksanakan.


Apalagi jika suara mayoritas MPR akan sulit dapat dipegang kendalinya. Soalnya resistensi perlawanan publik sangat kuat untuk adanya penundaan pemilu yang tentunya akan menjadi batu sandungan terhadap skenario yang ada.


Selanjutnya secara substantif, jika amandemen terhadap UUD 1945 terkait dengan penundaan pemilu ini  benar benar dilakukan maka bukan hanya mengubah pasal-pasal UUD 1945 yang ada sekarang secara harfiah saja. 


Namun,harus menambahkan pasal baru dalam UUD 1945 terkait dengan pemilihan umum khususnya Pasal 22E UUD 1945. Setidaknya, terdapat 2 ketentuan yang ditambahkan dalam Pasal 22E UUD 1945.


Pertama, Pasal 22E ayat (7) UUD 1945 yang berisi norma, ‘Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu.’


Kedua, Pasal 22E ayat (8) UUD 1945 yang menyebutkan, ‘Semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum’.

Dengan penambahan 2 ayat dalam Pasal 22E UUD 1945 itu, maka tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. 


Para anggota dari Lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu. Status mereka sama dengan anggota KNIP di masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal dan anggota MPRS di masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Kedudukan Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin juga menjadi Pejabat Presiden dan Pejabat Wakil Presiden, sebagaimana Pejabat Presiden Soeharto di awal Orba.


Dalam kaitan dengan amandemen untuk penundaan pemilu meskipun amandemen  UUD 1945  menjadi kewenangan MPR dan tidak terkait dengan kekuasaan Jokowi selaku Presiden. Namun Jokowi tetaplah menjadi pemain kunci selain pimpinan partai yang memiliki kursi di MPR. Jokowi menjadi kunci karena inheren di dalam dirinya kekuatan untuk memadukan dan mensolidkan dukungan partai pendukungnya di MPR untuk dilakukan amandemen. Namun tentu kembali pada pertanyaan apa yang menjadi kepentingan politiknya. Sehingga di situlah mungkin titik persinggungan amandemen untuk melegitimasi urgensi pemilu ditunda.


Selain amandemen UUD 1945, penundaan Pemilu dimungkinkan oleh UU Nomor. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Disebutkan, penundaan pemilu dapat dilakukan atas empat variabel, yaitu bencana alam, gangguan keamanan nasional, kondisi ketertiban sosial, dan hal lain yang mengganggu tahapan Pemilu. Variabel terakhir ini terasa begitu longgar sehingga bisa menjadi pintu masuk kesulitan anggaran sebagai alasan untuk pemilu ditunda.


Anggaran Pemilu sebesar 76,6 triliun bukan duit sedikit bagi negeri yang sedang kesulitan uang pasca dua tahun dilanda pandemi virus corona. Terlebih, untuk pencairan kebutuhan tahapan Komisi Pemilihan Umum tahun 2022 saja, Pemerintah ngos-ngosan untuk menggelontorkan dananya.Berdasarkan informasi dari KPU, dari pagu anggaran KPU tahun 2022 sebesar Rp8,06 triliun, baru dicairkan Rp3,68 triliun saja. Mungkinkah soal seretnya pendanaan pemilu ini menjadi sarana untuk membuat KPU tidak berdaya sehingga pada akhirnya menyerah tidak mampu melaksanakan jadwal tahapan penyelenggaraan pemilu yang sudah disepakati bersama ?


2. Dekrit Presiden


Dalam sistem presidensial, tentunya Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan (Pasal 4 UUD 1945) memiliki peranan penting untuk mengatur urusan bernegara. Khususnya jika ada dalam keadaan  darurat atau bahaya. Hal ini bisa dilakukan dengan "Dekrit atau Maklumat" yang dikeluarkan oleh seorang Presiden selaku kepala Pemerintahan dan Kepala Negara.


Dalam sejarah ketatanegaraan pernah ada dekrit dilakukan (zaman Presiden Soekarno) berkuasa.  Seperti diketahui, dalam perjalanan bangsa telah dilaksanakan pemilu sebanyak 12 kali sejak tahun 1955 sampai 2019. Sejarah telah mencatat bahwa terdapat penundaan pemilu pasca pemilu pertama tahun 1955.


Pasca pemilu 1955, seharusnya  dilaksanakan pemilu selanjutnya pada tahun 1959. Namun karena timbulnya kegoncangan politik dan keamanan nasional ditambah ancaman terhadap ideologi negara karena PKI saat itu menempati 4 besar dari hasil pemilu tahun 1955 serta adanya ancaman dari penjajah yang masih ingin menguasai Indonesia, maka kemudian  dikeluarkan Dekrit Presiden oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Dampak salah satu dari Dekrit Presiden adalah dengan pembubaran DPR (badan konstituante).


Menurut Yusril, Dekrit 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum yang berhasil berkat politik cipta kondisi yang kala itu diorganisir oleh Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal AH Nasution yang lebih dulu menyatakan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau “negara dalam keadaan bahaya”, serta dukungan partai-partai politik terutama PNI dan PKI. Saat itu, kata dia, revolusi hukum tidak mungkin akan berhasil tanpa dukungan tentara.


Pasca reformasi, Presiden Gus Dur juga pernah mencoba melakukan revolusi hukum dengan mengeluarkan dekrit pembubaran DPR dan MPR hasil Pemilu 1999.  Dekrit diteken oleh Presiden Gus Dur tanggal 23 Juli 2001 yang mendapat dukungan begitu banyak dari kalangan aktivis, akademisi dan tokoh-tokoh LSM yang berbondong-bondong datang ke Istana. Namun karena sebagai sebuah tindakan revolusi hukum yang tidak matang, MPR segera bersidang dan menjawab dekrit Presiden tersebut sebagai pelanggaran terhadap konstitusi dan haluan negara yang berujung pada nasib Presiden Gus Dur diberhentikan dari jabatannya.


Belajar dari kasus Gus Dur, apakah kira kira instrument Dekrit Presiden ini berani diambil oleh Presiden Jokowi untuk menunda pemilu agar bisa panjang nafas kekuasaannya ?. Bagaimana pula skenarionya ?. Bisa saja di tahun 2023 nanti di tengah isu krisis yang melanda dunia akan dinyatakan benar benar berimbas juga ke Indonesia.


Negara dinyatakan krisis ditandai dengan mahalnya harga sembako dan kebutuhan pangan lainnya, keuangan pemerintah seret sehingga segala fasilitas yang bersinggungan dengan kepentingan rakyat dicabutnya seperti subsidi misalnya. Tak menutup kemungkinan skenario ancaman kelapangan melanda  rakyat dimana mana (dengan cipta kondisi tentunya).


Dengan mempertaruhkan kondisi perut rakyat yang sedang lapar dan tuntutan kebutuhan pokok lainnya, maka dana Pemilu yang sudah dialokasikan dengan jumlah lumayan besar itu bisa dibenturkan dengan kebutuhan perut rakyat yang tidak bisa ditunda.


Sehingga akan lebih bijak sekiranya dana yang besar itu dialokasikan untuk rakyat melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT) misalnya.Sehingga basis argumentasi ini menjadi seolah olah  masuk akal karena “terkesan” berpihak kepada kepentingan rakyat jelata.Mereka yang menolak BLT untuk kepentingan rakyat yang sedang terjepit membutuhkan dana sama artinya dengan berhadapan dengan rakyat jelata.

Karena dana pemilu dialihkan untuk BLT maka dengan sendirinya KPU, Bawaslu, dan MK atas dukungan media akan mengeluarkan statemen bersama untuk tak sanggup melaksanakan Pemilu karena dananya tidak bisa disediakan oleh Pemerintah sesuai kebutuhan yang ada.


Kalau kemudian dalam pelaksanaan skenario penundaan pemilu ini ada yang protes atau ada yang melawan maka perangkat peraturan untuk menjerat mereka sudah dipersiapkan sebelumnya. Bisa saja pengesahan RKUHP  yang baru saja dilakukan merupakan salah satu sarana/ sebagai pentungan pemukul bagi oposisi atau siapa saja yang coba melawan skenario yang ada meski UU KUHP tersebut baru akan berlaku tahun 2025.


Seperti diketahui dalam Undang Undang KUHP yang baru disahkan,  negara punya hak menahan seseorang atas penghinaan kepada negara selama 6 bulan tanpa proses peradilan dan di isolasi di suatu tempat terpencil tak bisa di hubungi . Negara yang di maksud : Presiden, Kapolri, Panglima TNI, dan pejabat negara lainnya.


Mereka yang berani melawan yaitu tokoh tokoh oposisi diupayakan untuk bisa “dinetralisir” dengan ancaman, uang, jabatan dan iming iming lainnya agar manut dan ikut kemauan pemerintah yang berkuasa kalau tidak akan dikirimkan ke penjara dengan tuduhan tuduhan yang mengada ada.


Tak menutup kemungkinan pula untuk adanya cipta kondisi kerusuhan terukur, kepanikan, yang mendukung suasana. Siapa saja yang menentang akan di cap sebagai melawan pemerintah yang sah atau melawan penguasa. Dianggap radikal, intoleran, haus kekuasaan, anti Pancasila, teroris, kadrun, pejuang khilafah dan tuduhan tuduhan lainnya.


Karena kondisi negara yang sedang krisis sehingga diasumsikan ada kegentingan yang memaksa, pada akhirnya pihak istana mengajukan Perpu (peraturan pemerintah pengganti Undang Undang) ke DPR untuk mendapatkan legitimasinya. Atas permintaan permintaan Presiden, DPR bisa saja merespons dengan meminta Presiden untuk mengeluarkan Dekrit terkoordinasi, kembali ke UUD 1945 melalui mekanisme DPR/MPR


Selanjutnya Presiden bisa mengeluarkan Perpu yang isinya perpanjangan masa jabatan lembaga tinggi negara seperti : DPR RI, MA, MK, DPD RI, Kejagung, Kapolri, Panglima TNI, dan sebagainya selama tiga tahun lamanya hingga  tahun 2027 sampai berlaku kembali UUD 1945 yang asli. Dengan berlakunya UUD 1945 yang asli otomatis Pilpres pemilihannya melalui sidang MPR RI lagi seperti zaman Orba.Situasi seperti ini bisa saja dikapitalisasi untuk melegitimasi penundaan pemilu sehingga terlihat wajar dan bisa diterima akal serta logika.


Apakah memang skenario sebagaimana sebagaimana dikemukakan diatas akan ditempuh oleh Presiden yang sekarang berkuasa agar ada alasan supaya pemilu bisa ditunda ?. Risiko politiknya bisa jadi terlalu besar dan akan menjadi bumerang bagi Presiden Jokowi karena tindakan revolusioner itu jauh daripada matang serta TNI dan Polri juga belum tentu akan mendukungnya ?


3. Referendum


Pasca reformasi pernah ada saat penentuan status provinsi Timor Timur dengan pilihan ingin tetap integrasi dengan NKRI atau pisah sebagai negara sendiri. Konsep referendum ini tentunya juga harus ada pijakannya.


Indonesia pernah memiliki UU No. 5 tahun 1985 tentang Referendum. Dalam Pasal 1 huruf a UU tersebut disebutkan Referendum adalah kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak MPR untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945.


Sayangnya, UU ini dihapuskan melalui UU No. 6 tahun 1999. Semangat Reformasi yang diperjuangkan mahasiswa, telah dibajak di pekan pertama oleh mereka yang duduk di Parlemen dengan menghapus UU Referendum dan memperkosa konstitusi seenaknya. Saat ini, sebagian mereka berteriak amandemen UUD 1945 kebablasan dan terlalu liberal sehingga ingin kembali ke naskah asli UUD 1945


Kini di tengah polemik masa jabatan presiden dan penundaan pemilu kiranya merupakan saat tepat untuk menghidupkan kembali referendum.


Karena pada hakikatnya hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan dan konstitusi hanya bisa diputuskan oleh rakyat selaku pemilik sah republik ini secara bersama sama. Karena pada hakikatnya Pemerintah dan parlemen hanyalah penyelenggara negara semata.


4. Konvensi Ketatanegaraan


Upaya lain untuk menunda pemilu dan  memperpanjang masa jabatan para penyelenggara negara,adalah dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan.  

Dalam kaitan ini Bagir Manan menyatakan dalam bukunya Konvensi Ketatanegaraan bahwa konvensi atau (hukum) kebiasaan ketatanegaraan adalah (hukum) yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara, melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan (mendinamisasi), kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan.


Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, konvensi merupakan hal yang lumrah terjadi, terutama sejak era kemerdekaan Indonesia hingga era Orba. Hal itu karena di masa itu masih belum ada tradisi untuk mencantumkan segala sesuatu ke dalam peraturan perundang- undangan.


Berkaitan dengan kemungkinan konvensi ketatanegaraan untuk penundaan pemilu  maka pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatakan Pemilu dan masa jabatan DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD tidak diubah sama sekali, tetapi dalam praktiknya pemilu dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali sehingga sehingga masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dan dengan sendirinya MPR, dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun.


Praktik penyelenggaraan negara yang berbeda dengan yang diatur dalam konstitusi itu dalam sejarah ketatanegaraan kita pernah dilakukan dengan munculnya pengumuman Pemerintah, yakni Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 45.


Keluarnya maklumat tersebut menurut pertimbangan Sutan Sjahrir, Soekarno-Hatta adalah karena ‘kolaborator Jepang’ yang sulit untuk diterima kehadirannya oleh Sekutu, dan juga Belanda.


Kita harus berunding dan berdiplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan, karena perlawanan bersenjata, menurut perhitungan Sjahrir, tidak cukup kuat untuk mengalahkan Belanda.


Dengan Maklumat Nomor X tersebut banyak hal yang berubah, diantaranya sistem presidensial berubah menjadi parlementer; Soekarno Hatta hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Wakilnya, sementara kekuasaan pemerintahan ada ditangan Perdana Menteri yang dijabat Sjahrir; serta KNIP yang semula hanya lembaga yang membantu Presiden, berubah menjadi parlemen tempat Perdana Menteri bertanggung jawab.


Mengutip pendapat Prof Dr Ismail Suny, perubahan dalam praktik tersebut terjadi karena konvensi ketatanegaraan yang dalam praktik diterima, tanpa ada yang menentangnya.

Saat itu tidak ada satu pihak pun yang membawa masalah ini ke pengadilan untuk menilai apakah tindakan yang diambil menyimpang dari UUD 1945 itu sah atau tidak.


Sepertinya kalau konvensi ketatanegaraan itu akan diterapkan pada masa sekarang kondisinya sudah banyak berubah karena tidak ada hal yang benar benar “genting  dan darurat” yang bisa membenarkan adanya pengambilan kebijakan di luar ketentuan yang ada.


Apalagi sekarang kondisi zaman sudah banyak berubah dan rakyat sudah lebih paham bagaimana penyelenggaraan negara dibanding zaman revolusi pasca Indonesia baru merdeka.


Selain itu, ahli-ahli hukum banyak, media sosial membuka peluang bagi siapa saja untuk mengkritik segala penyimpangan yang terjadi sementara sudah ada Lembaga semacam Mahkamah Konstitusi yang bisa menguji undang-undang dan mengadili sengketa kewenangan antar Lembaga negara.


Dengan kondisi tersebut maka  konvensi ketatanegaraan tentang penundaan Pemilu kiranya akan sulit diciptakan, apalagi orang awam dengan mudah akan menganggap ada ‘penyelewengan’ terhadap UUD 1945.


Sejauh ini masyarakat baru bisa menduga duga jalan mana yang kira kira mau ditempuh manakala memang ada upaya untuk menunda pelaksanaan pemilu sama halnya dengan dugaan apakah memang benar pemilunya mau ditunda.


Kalau melihat pada sinyal sinyal yang telah di letupkan oleh para elite bangsa sepertinya jalan pertama melalui amandemen Undang Undang Dasar 1945 dan perubahan Undang Undang Nomor. 7 tahun 2017 tentang Pemilu menjadi salah satu alternatifnya. Apalagi sinyal ke arah sana sudah di digaungkan oleh Ketua MPR Bamsoet dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti melalui serangkaian pernyataannya.


Tetapi pilihan lain bisa juga Presiden mengeluarkan Dekrit seperti pernah dilakukan oleh Soekarno atau Gus Dur ketika mereka berkuasa.


Tetapi Dekrit ini tentu besar sekali resikonya karena kalau salah salah bisa membuat Presiden kehilangan kursi kekuasaannya. Sementara itu jalan lain melalui Referendum maupun konvensi ketatanegaraan tampaknya lebih terjal dan lebih besar resikonya.

Apapun jalan yang mungkin akan ditempuh untuk kemungkinan penundaan pemilu, yang jelas aroma penolakan rakyat terhadap ‘kudeta konstitusi’ itu begitu terasa.


Sehingga alasan apapun antara lain alasan pandemi, ekonomi dan lainnya, termasuk alasan kepuasan terhadap presiden: mayoritas rakyat Indonesia sepertinya akan tetap menolaknya. Tetapi yang namanya dorongan syahwat kekuasaan yang sudah begitu menggelegak untuk terus berkuasa maka bisa saja ditempuh berbagai cara.


Kalau mayoritas rakyat tidak mau menerima alasan penundaan pemilu lalu terjadi chaos dimana mana pada akhirnya pemilu akan terselenggara juga. Namun kalau kemudian protes penundaan pemilu hanya berlangsung begitu begitu saja alias bisa diredam oleh penguasa maka bisa jadi meskipun ada penolakan pada akhirnya skenario pemilu ditunda akan bisa berjalan mulus sesuai rencana.


Apalagi masyarakat Indonesia yang cenderung mudah lupa dan masa bodoh terhadap politik akibat tingkat kejenuhan yang sudah begitu menumpuk sekian lama. Kita lihat saja apa yang terjadi nantinya seperti apa.


SUMBER : https://www.gerindrabanten.or.id/berita/detail/gelagat-penundaan-pemilu-kembali-mengemuka-pertanda-apa