Kisah Raja Bone ke V , (1510-1535), LA TENRISUKKI MAPPAJUNGNGE -->
Cari Berita

Kisah Raja Bone ke V , (1510-1535), LA TENRISUKKI MAPPAJUNGNGE


Bugiswarta.com, Sejarah --
Setelah raja Bone keempat We Banrigau Daeng Marowa Mallajange Ri Cina Raja Bone Ke IV (1470-1510) memimpin wilayah Bone selama 20 tahun lalu ia menyerahkan kekuasaan kepada putranya yakni, La Tenrisukki.


Kepemimpinan La Tenrisukki dikenal baik dikarenakan memiliki hubungan dengan beberapa kerajaan besar di wilayah Sulawesi Selatan.Periode kepemimpinan raja Bone yang kelima ini yakni dari sekitar abad ke – XV sampai abad ke – XVI.


Pada masa kepemimpinannya, raja ini berhasil membuat strategi yang dapat memukul mundur serangan militer pasukan Luwu.


Perang ini dinamakan dengan perang Cellu. Selain membuat strategi yang jitu dalam perang Cellu, raja Bone juga melakukan perjanjian bersama Datu to Serangeng dewaraja yang dikenal oleh kebanyakan masyarakat sebagai gencatan senjata di Unnyi.


Kemudian beliau memerintah selama kurang lebih 27 tahun dan ia wafat. Sebelum wafat ia sempat menunjuk putranya, La Uliyo Bote’e, sebagai raja Bone yang ke – VI.


Putranya memiliki gelar Bote’e unik karena postur tubuhnya yang gempal. inilah Mangkau’ di Bone yang diserang oleh Datu Luwu yang bernama Dewa Raja yang digelar Batara Lattu. Mula-mula orang Luwu mendarat di Cellu dan disitulah membuat pertahanan. Sementara orang Bone berkedudukan di Biru-biru.


Adapun taktik yang dilakukan oleh orang Bone adalah memancing orang Luwu dengan beberapa perempuan. Pancingan ini berhasil mengelabui orang Luwu sehingga pada saat perang berlangsung orang Luwu yang pada mulanya menyangka tidak ada laki-laki, bersemangat menghadapi perempuan-perempuan tersebut. 


Namun dari belakang muncul laki-laki dengan jumlah yang amat banyak, sehingga orang Luwu berlarian ke pantai untuk naik ke perahunya. Dalam perang itu orang Bone berhasil merampas bendera orang Luwu.


Setelah perang selesai, Arumpone dan Datu Luwu mengadakan pertemuan. Arumpone mengembalikan payung warna merah itu kepada Datu Luwu, tetapi Datu Luwu mengatakan ; ”Ambillah itu payung sebab memang engkaulah yang dikehendaki oleh DewataE (Tuhan) untuk bernaung di bawahnya. Walaupun bukan karena perang engkau ambil, saya akan tetap berikan. Apalagi saya memang memiliki dua payung”. Mulai dari peristiwa itu , La Tenri Sukki digelar MappajungE (memakai payung).


Selanjutnya La Tenri Sukki mengadakan lagi pertemuan dengan Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja dan lahirlah suatu perjanjian yang bernama ;


Polo MalelaE ri Unynyi (gencatan senjata di Unynyi).


Dalam perjanjian ini Arumpone La Tenri Sukki berkata kepada Datu Luwu ”Alangkah baiknya kalau kita saling menghubungkan Tanah Bone dengan Tanah Luwu”.

Dijawab oleh Datu Luwu ; ”Baik sekali pendapatmu itu, Arumpone”.


Merasa ajakannya disambut baik,Arumpone berkata ; ”Kalau ada yang keliru, mari kita saling mengingatkan


– Kalau ada yang rebah mari kita saling menopang

– Dua hamba satu Arung

– Tindakan Luwu adalah tindakan Bone

– Tindakan Bone adalah tindakan Luwu

– Baik dan buruk kita bersama

– Tidak saling membunuh

– Saling mencari kebaikan

– Tidak saling mencurigai

– Tidak saling mencari kesalahan

– Walaupun baru satu malam orang Luwu berada di Bone, maka menjadilah orang Bone

– Walaupun baru satu malam orang Bone berada di Luwu, maka menjadilah orang Luwu

– Bicaranya Luwu, bicaranya Bone

– Bicaranya Bone, bicaranya Luwu

– Adatnya Luwu, adatnya juga Bone, begitu pula sebaliknya

– Kita tidak saling menginginkan emas murni dan harta benda

– Barang siapa yang tidak mengingat perjanjiannya, maka dialah yang dikutuk oleh Dewata SeuwaE (Tuhan Yang maha Esa) sampai kepada anak cucunya

– Dialah yang hancur bagaikan telur yang jatuh ke batu

– Kalimat ini diiyakan oleh Datu Luwu To Serangeng Dewa Raja. Perjanjian ini bernama ”Polo MalelaE ri Unynyi” karena terjadi di Kampung Unynyi.


Kemudian keduanya kembali ke negerinya.


Dimasa pemerintahan La Tenri Sukki, pernah pula terjadi permusuhan antara orang Bone dengan orang Mampu. Pertempuran terjadi di sebelah selatan Itterung, diburu sampai di kampungnya. Arung Mampu yang bernama La Pariwusi kalah dan menyerahkan persembahan kepada Arumpone. Arung Mampu berkata ;


”Saya serahkan sepenuhnya kepada Arumpone, asalkan tidak menurunkan saya dari pemerintahanku”.


Arumpone menjawab ;

”Saya akan mengembalikan persembahanmu dan saya akan mendudukkanmu sebagai Palili (wilayah bawahan) di Bone.


Akan tetapi engkau harus berjanji untuk tidak berfikir jelek dan jujur sebagai pewaris harta benda”. Sesudah itu, dilantik lah Arung Mampu memimpin kampungnya dan kembalilah Arumpone ke Bone.


La Tenri Sukki menjadi Mangkau’ atau Raja Bone selama 20 tahun, akhirnya menderita sakit. Dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan ; 


”Saya sekarang dalam keadaan sakit, apabila saya wafat maka yang menggantikan saya adalah anakku yang bernama ; La Uliyo”. Setelah pesan itu disampaikan, ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.


Anak La Tenri Sukki dari isterinya We Tenri Songke, adalah ; La Uliyo Bote’E kawin dengan sepupunya yang bernama We Tenri Wewang DenraE, anak saudara kandung La Tenri Sukki yang bernama We Tenri Sumange’ dengan suaminya yang bernama La Tenri Giling Arung Pattiro MaggadingE. Dari perkawinan ini lahirlah La Tenri Rawe BongkangE, La Inca, We Lempe, We Tenri Pakkuwa. Selain La Uliyo, ialah ;


We Denra Datu, We Sida (tidak disebutkan dalam lontara’ yang digulung).

We Sida Manasa kawin dengan La Burungeng Daeng Patompo, anak dari La Panaongi To Pawawoi Arung Palenna dari isterinya yang bernama We Mappasunggu. Dari perkawinan ini lahirlah anak laki-laki yang bernama La Paunru Daeng Kelli.


(anreguru blogspot)