Potensi PPN Perdagangan Digital Memang Besar, Tetapi Pemerintah Harus Berhati-hati -->
Cari Berita

Potensi PPN Perdagangan Digital Memang Besar, Tetapi Pemerintah Harus Berhati-hati

Heri Gunawan
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra

Bugiswarta.com, Jakarta -- Implementasi pengenaan PPN untuk produk perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) saat ini merupakan waktu yang sangat tepat. Traffict digital di Indonesia pasti meningkat karena adanya kebijakan work from home (WFH).

Potensi penerimaan dari pajak digital ini, dihitung dari proyeksi pendapatan mereka (perusahaan terkait) dalam setahun dan dikalikan PPN 10% dengan asumsi tingkat kepatuhan pajak sebesar 50%, potensi penerimaan pajak tersebut bisa mencapai Rp 530 miliar. 

Tentunya jumlah tersebut cukup besar bagi penerimaan negara, terlebih di tengah pandemi Corona seperti saat ini. 

Namun, ada beberapa poin yang menjadi persoalan di dalam PMK 48/2020 yang akan diberlakukan 1 Juli nanti. 

Pertama, pelaku usaha yang dari luar negeri seperti Zoom, Netflix dan sebagainya bisa menekan pemerintah dari masing-masing negaranya untuk melakukan intervensi. Terutama pelaku usaha digital dari China yang memang pemerintahnya memiliki peran besar. 

Kedua, dengan adanya bukti bahwa kegiatan pelaku usaha PMSE mempunyai significant economic presence, maka implementasinya harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Data yang pasti hanyalah dimiliki oleh perusahaan, negara mungkin hanya bisa memperkirakan, harus benar-benar harus tepat sasaran. 

Ketiga, data digital merupakan barang tak kasat mata, bukan seperti aset atau barang yang berwujud. pemerintah harus lebih detail mengetahui transparansi transaksi digital dari setiap konsumen. 

Keempat, pemerintah perlu menghitung dampak perpindahan konsumen ke berbagai situs yang masih bebas menjual tanpa ada kewajiban PPN. 

Sebaiknya pemerintah dapat memilih transaksi digital mana dulu yang harus dikenakan PPN, serta mana yang harus dibiarkan layanannya berjalan tanpa PPN guna memberikan produk yang murah kepada  masyarakat. 

Artinya, dalam penerapan awal nanti pemerintah bisa melakukannya secara bertahap, sesuai dengan produk prioritas yang bisa dikenakan PPN agar masyarakat bisa menyesuaikan diri secara perlahan. 
Karena dimungkinkan masih ada celah di dalam PMK bagi transaksi PMSE, maka pemerintah harus memperhatikan setiap detail yang bisa berpotensi menjadi masalah di kemudian hari, terutama terkait perusahaan-perusahaaan besar dari luar negeri. 

Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Niat menambah pajak, jangan sampai malah merugikan dengan memicu negara lain menerapkan hal yang lebih besar dan memberikan dampak negatif bagi Indonesia.

Penerbitan PMK 48/2020 bertujuan menambah penerimaan pajak, dimaksudkan untuk melengkapi UU PPN dan aturan pelaksanaan yang sudah ada khususnya memberikan dasar hukum untuk menunjuk pelaku usaha luar negeri sebagai pemungut PPN atas penjualan produk digitalnya, sebagaimana negara lain yang terlebih dahulu sudah diterapkannya.

Pastinya pemerintah, dalam hal ini otoritas pajak sudah melakukan pendekatan dan komunikasi dengan Perwakilan yurisdiksi yang merupakan pelaku usaha antara lain berasal dari Amerika Serikat, Australia, China, Hong Kong, India, Inggris, Jepang, Singapura, Swedia, dan Thailand, termasuk anggota-anggota perusahaan dari US Chamber, US Asean Business Council (USABC) dan European Chamber. 

Pemerintah juga harus menyosialisasikan mekanisme, ketentuan dan kriteria Significant Economic Presence (SEP), Bentuk Usaha Tetap (BUT), tarif pajak PTE, dan ketentuan administrasi lainnya seperti pendaftaran, pelaporan, penyetoran, dan sanksi.

Tentunya, kesederhanaan dan kepastian hukum dalam pemenuhan kewajiban administrasi PPN atas PMSE akan mendorong kepatuhan sukarela yang tinggi dari Wajib Pajak.