Benarkah NU Keluar dari Masyumi Hanya Karena Kursi Menteri Agama? -->
Cari Berita

Benarkah NU Keluar dari Masyumi Hanya Karena Kursi Menteri Agama?

Bugiswarta.com, Opini -- Kita masih berada di bulan Mei, dan barangkali inilah bulan yang akan dikenang oleh sebagian umat Islam Indonesia khususnya warga Nahdlatul Ulama (NU) dengan perasaan getir, tapi  juga lega. Di bulan ini pada tahun 1952, organisasi massa Islam terbesar di Indonesia tersebut memutuskan untuk berpisah dari Masyumi, partai politik Islam terbesar yang ketika awal-awal republik berdiri digadang-gadang sebagai rumah politik tunggal bagi umat Islam Indonesia. 

Secara resmi NU memang baru keluar dari Masyumi pada tanggal 31 Juli 1952, namun titik didih hubungan NU-Masyumi sebenarnya sudah mencapai puncaknya pada bulan Mei 1952 atau beberapa saat setelah Muktamar NU ke-19 di Palembang, 26-30 April 1952, memberikan restu bagi ‘pemisahan diri melalui perundingan dengan Masyumi’. 

Peristiwa tersebut mungkin akan diingat dengan getir oleh sebagian umat Islam karena seakan menjadi simbol perpecahan Islam politik di Indonesia. Namun, oleh sebagian warga NU peristiwa tersebut  boleh jadi juga akan dikenang dengan perasaan lega karena telah mengakhiri keterpinggiran kelompok ulama tradisional NU dalam organisasi Masyumi. 

Dalam suasana apapun peristiwa tersebut akan dikenang, Greg Fealy, ahli politik dari Australian National University menyebut peristiwa berpisahnya NU dari Masyumi sebagai goncangan terbesar dalam perjalanan politik Islam Indonesia. 

Jika ingin dirunut ke belakang, akar pertikaian NU yang dianggap mewakili arus tradisionalisme Islam di Indonesia dan Masyumi yang ditahbiskan sebagai simbol modernisme Islam Indonesia, telah terjadi sejak lama. 

Perdebatan, saling sindir bahkan saling olok antara kelompok modernis dan tradisionalis sudah sering terjadi setidaknya sejak tahun 1920-an. Bahkan dalam beberapa catatan, berdirinya NU pun disebut-sebut sebagai reaksi atas sikap kelompok modernis yang dianggap kerap tidak menghormati  pemikiran ulama-ulama tradisional.  

Lantas apa sebenarnya yang membuat akhirnya NU memutuskan keluar dari Masyumi? Ada banyak catatan mengenai hal ini, namun yang menarik adalah pendapat sebagian orang yang menyebut keluarnya NU tersebut disebabkan persoalan ‘sepele’, yaitu tidak diberikannya kursi Menteri Agama kepada NU. 

Pada masa kabinet Wilopo (1952-1953) kursi Menteri Agama memang diberikan kepada Masyumi, namun kursi yang biasanya menjadi jatah NU tersebut oleh Masyumi kali ini diberikan kepada K.H. Fakih Usman, seorang tokoh modernis yang di kemudian hari menjadi Ketua Umum Muhammadiyah.

Bagi penulis, mengatakan bahwa NU keluar dari Masyumi hanya semata karena urusan kursi Menteri Agama jelas terlalu menyederhanakan masalah. Faktanya, keluarnya NU dari Masyumi adalah kombinasi dari berbagai faktor dari masalah ideologis, kelembagaan sampai karakter personal pemimpin-pemimpinnya saat itu.

Setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan NU keluar dari Masyumi. Pertama adalah faktor ideologis. Ketika Masyumi didirikan pada tahun 1945 banyak yang berharap organisasi ini akan menjadi rumah politik tunggal bagi umat Islam Indonesia. Sedikit yang menyadari jika rumah politik Masyumi tersebut sebenarnya disusun dari batu bata yang tidak sama bahkan berlawanan satu sama lain. 

NU misalnya, secara ideologis sangat menghormati pemikir-pemikir sunni klasik seperti Al Ghazali dan Al Mawardi. Sebaliknya, kelompok modernis seperti Muhammadiyah, secara ideologis lebih dekat dengan para pemikir kontemporer seperti Mohammad Abduh atau Rasyid Ridha.

Al Ghazali dan Al Mawardi adalah dua orang ulama klasik sunni yang tumbuh ketika kekhalifahan Abassiyah di Baghdad runtuh dan digantikan oleh penguasa Buwahaiyah (beraliran Syiah) kemudian dinasti Seljuk (Fealy 2019:60). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak dari pemikiran Al Mawardi atau Al Ghazali yang berfokus pada bagaimana menyelamatkan kepentingan umat dari kemungkinan sikap lalim pemerintahan yang baru. 

Konsep atau doktrin dari Al Ghazali tersebut yang nantinya sering digunakan NU dalam menjalankan siasat dakwah atau politiknya. Dari sini pulalah kemudian kita mengenal banyak kaidah ushul fiqih yang populer dalam tradisi NU seperti dar’ul mafasid muqaddamun ala jalb al mashalih (menghindari bahaya lebih diutamakan daripada berbuat kebaikan) atau ma laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu (apa yang tidak dapat diperoleh seluruhnya, jangan dibuang seluruhnya).

Faktor kedua yang menyebabkan NU berpisah dari Masyumi adalah faktor kelembagaan di mana pada tahun 1949 peran Majelis Syuro Masyumi yang umumnya diisi oleh kyai-kyai sepuh dari NU mulai dikurangi perannya. Pada Kongres Masyumi ke-4 tahun 1949 misalnya, disepakati perubahan AD/ART partai yang salah satunya menyebut bahwa fungsi Majelis Syuro adalah memberikan pertimbangan kepada pimpinan partai apabila diminta. 

Padahal dalam AD/ART sebelumnya disebutkan bahwa peran Majelis Syuro adalah memberikan pertimbangan kepada pimpinan baik diminta maupun tidak diminta (Fealy, 2009:97).

Peminggiran peran ulama (tradisional) dalam organisasi Masyumi tersebut yang akhirnya membangkitkan kembali perseteruan lama yang terjadi pada tahun 1920-an serta memantik kekecewaan luas di antara kyai-kyai tradisional NU. Salah satu yang sangat kritis melihat hal tersebut adalah KH Wahab Chasbullah, yang kemudian menjadi motor penggerak keluarnya NU dari Masyumi. 

Faktor ketiga yang sering dilupakan orang namun penting disebut disini adalah faktor karakter individu yang melekat kepada pemimpin NU dan Masyumi saat itu. Ketika ketegangan antara NU dan Masyumi memuncak pada tahun 1952, Rais Am NU dijabat oleh ulama karismatik, KH Wahab Chasbullah. 

Sementara Masyumi dipimpin oleh tokoh muda Mohammad Natsir. Dua tokoh ini sama-sama dikenal dengan keteguhannya dalam mempertahankan prinsip, dan tidak jarang terlibat polemik satu sama lain. Memang akan terkesan terlalu menyederhanakan masalah untuk menyebut bahwa berpisahnya NU dari Masyumi semata-mata disebabkan oleh perseteruan kedua tokoh tersebut. Namun menafikan faktor karakter keduanya juga adalah suatu kesalahan.

KH Wahab Chasbullah adalah tokoh yang disegani di kalangan NU. Bersama Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari dan KH Bisri Syansuri, tokoh ini dikenal sebagai trimurti pendiri NU. Selain sebagai seorang ulama, Wahab yang lahir pada tahun 1888 (jauh lebih senior dari Mohammad Natsir) juga dikenal sebagai politisi dan ideologi yang handal. Pada tahun 1928, ia memimpin Komite Hijaz dan berhasil meyakinkan Raja Abdul Aziz bin Saud, penguasa baru tanah arab saat itu, untuk memberikan jaminan kebebasan bermazhab.

Sementara Mohammad Natsir adalah tokoh muda Islam kelahiran 1908 yang terkenal karena perdebatannya dengan Soekarno, salah satunya tentang hubungan negara dan agama. Tokoh modernis ini meski memiliki pengetahuan agama yang mendalam, namun di sebagian kalangan NU, beliau dikenal kurang memiliki kecakapan dalam ilmu fiqih klasik. 

Wahab dan Natsir sering terlibat perdebatan dalam berbagai isu dari masalah keagamaan sampai kenegaraan. Pada tahun 1952, ketika perseteruan keduanya semakin memuncak, KH Wahid Hasyim mencoba menengahi, namun usahanya tersebut tidak membuahkan hasil. Puncaknya, atas dorongan Wahab, NU memutuskan keluar dari Masyumi. Keputusan tersebut dikukuhkan dalam Muktamar ke-19 NU di Palembang tahun 1952.

***
Dikotomi tradisionalis dan modernis hari-hari ini mungkin tidak lagi relevan dibincangkan, mengingat antara NU dan Muhammadiyah sendiri, keduanya dianggap representasi kelompok tradisionalis dan modernis, sudah saling mengambil peran yang beririsan satu sama lain. NU saat ini banyak menghasilkan teknokrat mumpuni, demikian juga dengan Muhammadiyah yang telah banyak menghasilkan ulama handal. 

Namun demikian, perdebatan antara kelompok tradisionalis dan modernis di masa lalu sungguh telah meninggalkan warisan kekayaan yang tak ternilai bagi generasi sekarang. Berbagai polemik di masa lalu tersebut seolah mengingatkan kita bahwa perbedaan pendapat dan pilihan politik bukan hanya sesuatu yang wajar, tetapi juga perlu. Perbedaan dan perdebatan antara KH Wahab Chasbullah dan Mohammad Natsir misalnya, menghasilkan banyak sekali ijtihad baru di bidang politik dan keagamaan. 

Lebih penting lagi, betapapun panas perbedaan pendapat di antara para pemimpin Islam itu, mereka tidak pernah terpikir untuk mengakhirinya dengan laporan pencemaran nama baik atau saling mengkafirkan satu sama lain. 

Sumber : Kumparan