Dilema Bertahan Hidup Tukang Bentor Muhiddin Di Tengah Wabah Corona -->
Cari Berita

Dilema Bertahan Hidup Tukang Bentor Muhiddin Di Tengah Wabah Corona

Laporan : Natasyah Dewanty, Mahasiswa Komunikasi Unismuh Makassar 

Bugiswarta.com, PANGKEP— Dibawah terik sinar matahari, debu dan polusi berterbangan,  pada hari kedua bulan suci Ramadhan, Muhiddin (54),  duduk termenung menunggu penumpang di atas bentornya. 

Terlihat jelas guratan lelah dari wajahnya, sambil melihat ke dalam area Pasar Segeri, Pangkep Sabtu (25/4/2020).

Ayah dari tiga orang anak ini tidak memiliki pekerjaan sampingan, istrinya hanya ibu rumah tangga, penghasilan lain dibantu oleh anak pertamanya yang sudah menikah.

Tukang bentor asal Segeri ini tetap mencari nafkah di tengah larangan keluar rumah, dalam suasana pandemi Covid-19.

Nasib Muhiddin mewakili sekian banyak penduduk lainnya yang terdampak langsung dengan pandemi Corona ini.

Pada masa pandemi Corona ini, dia  diperhadapkan pada dilema kehidupan yang serba salah. Tinggal di rumah,  itu berarti tidak ada penghasilan untuk mengepulkan asap dapur keluarga.

Sebaliknya kalau keluar mencari penumpang juga serba salah dengan regulasi pemerintah yang mengharuskan pembatasan sosial serta berdiam di rumah.

Pilihan terpaksa dan serba salah itu dijalani dengan setiap hari membawa  bentor,  pukul 08.00 WITA, lalu pulang ke rumah pukul 14.00 WITA untuk makan siang dan beristirahat.

Kemudian setelah shalat Ashar, ia kembali mencari penumpang. Tidak dapat diprediksi kapan ada penumpang, ia tetap berusaha dan berdoa.

Pendapatan selama pandemi pun berkurang, karena minimnya orang yang keluar rumah. “Sekarang sedikit sekali orang yang naik bentor, tidak seperti hari-hari biasanya sebelum ada Corona,” jelasnya.

Ia tak kenal lelah mengantar penumpang ke tujuannya, walau ada beberapa penumpang yang hanya membayar Rp 2.000 saja. 

Selama wabah Corona, pendapatan paling banyak adalah Rp. 50.000, sedangkan, sebelum Corona pendapatannya bisa mencapai Rp.100.000,- 

Ia mengatakan pendapatan selama pandemi Corona terbilang cukup untuk memberi makan istri dan anak-anaknya. 

Selain itu, ia juga membiayai sekolah dan kuliah kedua anaknya. Ia berpikir anaknya harus sekolah, harus berpendidikan.

Ia tidak pernah mengeluh, sejak pertama kali menarik bentor pada tahun 2013 silam. Ia membayarnya dengan cara mencicil, karena bila dibayar sekaligus, uangnya tidaklah cukup. 

Hanya bentor yang dimilikinya, kendaraan yang bisa membantu untuk mencari nafkah setiap hari. Di pagi hari sebelum menarik bentor, ia terlebih dahulu membersihkan bentor agar terlihat menarik. 

Bekerja keras sampai otot kaki dan punggung pegal, namun semangat nya tak pernah surut untuk istri dan anak-anaknya agar bisa makan dan sekolah.