Bugiswarta.com, Bone -- Situs kebudayaan prasejarah, kini tak hanya dijumpai di Pulau Jawa atau luar negeri. Sekarang, bukti keberadaan manusia yang hidup pada ribuan tahun silam kini juga bisa ditemui di Pulau Sulawesi.
Seperti manusia yang hidup pada zaman megalitikum atau yang lebih dikenal dengan zaman batu ini sudah bisa juga dijumpai di Bone, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan (Sulsel).
Ya, di daerah berjuluk Bumi Arung Palakka ini ditemukan bukti bahwa di daerah ini pernah hidup manusia sejak 4000 tahun silam dan jejaknya bisa dijumpai kini sudah bisa dilihat. Yuk, kita intip!
Kerangka manusia ini ditemukan di dalam gua Balang Metti, di Desa Pattuku, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone. Tertimbun dalam tanah sedalam 80-90 sentimeter.
Saat ditemukan pada 2014 lalu oleh tim dari Balai Arkeologi Sulsel, tulang belulangnya sudah tak utuh lagi dan kondisi tubuhnya menghadap ke atas, tangan terlipat, dan kaki saling menyilang.
Bagian-bagian rangka manusia itu juga sudah sangat rapuh dan yang berhasil diidentifikasi hanya berupa tengkorak kepala (cranial fragments-parietal dan frontal), tulang lengan atas (humerus), tulang pengumpil dan tulang hasta (radius-ulna) dan tulang paha (femur).
Menurut tim Balai Arkeologi Sulsel, kerangka manusia tersebut sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan bila dikategorikan masuk sebagai manusia mongoloid atau penutur bahasa Austronesia.
Lumpang Batu ini memiliki diameter lubang sekitar 22 sentimeter (cm) dan kedalaman rata-rata 15 cm yang sudah dipakai sejak abad 15-18 Masehi.
Lampang Batu ini tersebar di 7 kecamatan yang ada di Bone. Seperti di Labuaja Kecamatan Kahu, di Bulu Lanca Kecamatan Mare, dan di Pongka Kecamatan Tellu Siattinge.
Menurut tim peneliti dari Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, lumpung batu ini banyak ditemukan di sekitar lereng dan puncak bukit atau terletak antara 28 hingga 218 meter di atas permukaan laut dan dipakai untuk mengolah hasil pertanian atau perkebunan dengan cara ditumbuk.
Penelitian terkait megalitik ini juga telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa arkeologi Universitas Hasanuddin (Unhas). Salah satunya, Andi Amiruddin pada 1997 silam.
Amiruddin mengatakan, di Labuaja, Kecamatan Kahu ini ada berbagai peninggalan megalitik seperti lumpang batu, dakon, sebaran tembikar dan sumur tua di lokasi tersebut.
Menurutnya, dakon ini juga sudah dipakai sejak pada ke-15 hingga 18 Masehi bersamaan dengan proses peralihan tradisi megalitik ke Islam di Sulsel. Hal ini dapat dilihat dari temuan berupa fragmen keramik asing, bangunan-bangunan megalitik, serta sebuah kompleks makam Islam. Artinya dakon dan Lumpang Batu ini memang satu paket, ya!
4. Ditemukan 7 lukisan hewan
Selain lumpang batu, Balai Arkeologi Sulsel juga menemukan sebuah Dakon. Situs ini ditemukan di Desa Mampu dan Desa Pongka. Sejumlah mahasiswa arkeolog dari Unhas juga sudah menelitinya.
Dakon yang banyak ditemui memiliki komposisi lubang 7 x 7 sentimeter dengan jumlah 49 buah. Berdasarkan hasil studi etnografi yang dilakukan Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, jumlah lubang ini dipakai untuk menghitung hari-hari baik untuk memulai menanam padi.
Seorang mahasiswa arkeologi Universitas Hasanuddin (Unhas), Yohanis Kasmin pada 2017 telah melakukan penelitian di Pongka. Dia menemukan dakon, sebaran tembikar, porselen dan makam-makam Islam kuno.
Menurutnya, dakon ini juga sudah dipakai sejak pada ke-15 hingga 18 Masehi bersamaan dengan proses peralihan tradisi megalitik ke Islam di Sulsel. Hal ini dapat dilihat dari temuan berupa fragmen keramik asing, bangunan-bangunan megalitik, serta sebuah kompleks makam Islam. Artinya dakon dan Lumpang Batu ini memang satu paket, ya!
Sebuah gua prasejarah ditemukan di wilayah Dusun Kalukue, Desa Langi, Kecamatan Bontocani Bone. Gua ini dinamai gua Uhallie. Dalam gua ini ditemukan 7 lukisan hewan berupa Babi dan Anoa.
Bentuk lukisan binatang itu ada yang sempurna atau seluruh anggota badan terlihat dan ada juga tidak sempurna atau hanya setengah anggota badan saja.
Menurut A. Muh. Saiful dari Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, lukisan hewan ini berasosiasi dengan hewan buruan masyarakat kala itu dan diwujudkan sebagai lukisan karena kedua hewan ini memberikan mereka pengalaman yang berkesan dalam kehidupannya.
Adapun menurut Yosua Adrian Pasaribu dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan R. Cecep Eka Permana dari Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, jika melihat jenis Babi yaitu jenis celeng, maka motif babi ini diidentifikasi sebagai memiliki pertanggalan yang terkait dengan diaspora masyarakat penutur Bahasa Austronesia, yakni berkembang sekitar 4.000 tahun yang lalu.
Sumber KuriodotId