Bugiswarta.com, Jakarta - Pemerintah mengkaji kembali rencana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir. Keputusan tersebut diambil setelah ramai perbincangan yang menentang rencana pembebasan bersyarat tersebut.
Juru Bicara Hukum, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Habiburrokhman menilai tarik ulur pemebebasan Ba'asyir merupakan cermin kualitas kepemimpinan presiden Joko Widodo (Jokowi) khususnya di bidang hukum yang rendah.
Sebab, pembatalan pembebeasan Ba'asyir diumumkan Menko Polhukam Wiranto tepat dua hari setelah kuasa hukum Jokowi, Yusril Ihza Mahendra menyampaikan rencana pembebeasan pendiri Pondok Pesantren AL Mu'min tersebut.
"Publik jadi bertanya-tanya siapa sebenarnya yang memimpin negeri ini?
Presiden diinformasikan telah membuat sebuah keputusan, dan keputusan tersebut kemudian diralat oleh para bawahannya," kata Habiburrokhman dalam keterangannya, Rabu (23/1/2019).
"Padahal saat debat capres kemarin Pak Jokowi bilang mempersilakan menterinya berdebat soal impor, toh ujung-ujungnya beliau yang memutuskan. Dalam kasus Ustad Ba'asyir ini kok lain. Keputusan pembebasan dikatakan sudah diambil presiden, tapi menterinya malah meralat. Jadi sebenarnya siapa pemimpin negeri ini?" imbuh Habiburrokhman.
Ketua DPP Partai Gerindra itu menambahkan, tarik ulur pembebeasan Ba'asyir juga menunjukkan tidak adanya korrdinasi yang baik dalam pemerintahan. Menurutnya, kasus ini bukan kasus pertama dimana presiden Jokowi mengambil kebijakan, dan tak lama kemudian dibatalkan kembali.
"Cara Pak Jokowi mengambil keputusan menunjukkan manajemen yang impulsif dan ketidakpahaman dalam mengelola pemerintahan.
Menurut saya istilah yang digunakan Pak Wiranto sangat tepat. Presiden tidak boleh mengambil keputusan secara grusa-grusu, gegabah," ujar Habiburrokhman.
Sebelumnya, Kepala Staf Presiden Moeldoko memastikan bahwa saat ini pembebasan bersyarat atas Abu Bakar Ba'asyir tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah. Sebab, Ba'asyir tidak dapat memenuhi syarat formil sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan lebih lanjut didetailkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.
Juru Bicara Hukum, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Habiburrokhman menilai tarik ulur pemebebasan Ba'asyir merupakan cermin kualitas kepemimpinan presiden Joko Widodo (Jokowi) khususnya di bidang hukum yang rendah.
Sebab, pembatalan pembebeasan Ba'asyir diumumkan Menko Polhukam Wiranto tepat dua hari setelah kuasa hukum Jokowi, Yusril Ihza Mahendra menyampaikan rencana pembebeasan pendiri Pondok Pesantren AL Mu'min tersebut.
"Publik jadi bertanya-tanya siapa sebenarnya yang memimpin negeri ini?
Presiden diinformasikan telah membuat sebuah keputusan, dan keputusan tersebut kemudian diralat oleh para bawahannya," kata Habiburrokhman dalam keterangannya, Rabu (23/1/2019).
"Padahal saat debat capres kemarin Pak Jokowi bilang mempersilakan menterinya berdebat soal impor, toh ujung-ujungnya beliau yang memutuskan. Dalam kasus Ustad Ba'asyir ini kok lain. Keputusan pembebasan dikatakan sudah diambil presiden, tapi menterinya malah meralat. Jadi sebenarnya siapa pemimpin negeri ini?" imbuh Habiburrokhman.
Ketua DPP Partai Gerindra itu menambahkan, tarik ulur pembebeasan Ba'asyir juga menunjukkan tidak adanya korrdinasi yang baik dalam pemerintahan. Menurutnya, kasus ini bukan kasus pertama dimana presiden Jokowi mengambil kebijakan, dan tak lama kemudian dibatalkan kembali.
"Cara Pak Jokowi mengambil keputusan menunjukkan manajemen yang impulsif dan ketidakpahaman dalam mengelola pemerintahan.
Menurut saya istilah yang digunakan Pak Wiranto sangat tepat. Presiden tidak boleh mengambil keputusan secara grusa-grusu, gegabah," ujar Habiburrokhman.