Bugiswarta.com, Muhammadiyah -- Indonesia diperjuangkan dan dibangun oleh seluruh komponen atau
kekuatan nasional sejak zaman perjuangan kemerdekaan sampai setelah merdeka
tahun 1945. Sesuai dengan posisi dan perannya semua komponen nasional begerak
memperjuangkan Indonesia bebas dari penjajahan serta setelah itu membangun
menjadi negara dan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur
sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri bangsa dalam wujud cita-cita nasional.
Demikian dikatakan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.
“Tidak ada pihak yang paling berjasa dalam perjuangan dan
pembangunan Indonesia, semuanya memainkan perannya yang konstruktif. Ketika
berdiri dalam posisi kritis tehadap pemerintah pun sebenarnya merupakan bagian
dari kiprah kebangsaan agar negara dan bangsa Indonesia tetap luruh di jalan
perjuangannya yang benar sesuai konstitusi dan spirit nasional yang diletakkan
oleh para pendiri bangsa,” tuturnya.
Menurut Haedar, Muhammadiyah merupakan bagian tidak terpisahkan
dari kekuatan nasional yang sejak berdirinya tahun 1912 terlibat aktif dalam
perjuangan politik kebangsaan serta membangun bangsa melalui gerakan dakwah
yang berorientasi padapembaruan serta mencerdaskan dan memajukan kehidupan
bangsa Indonesia. Muhammadiyah melalui dakwah “amar ma’ruf nahi munkar” terus
berkiprah tidak kenal lelah dalam mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya yang muaranya menjadikan Indonesia sebagai negara dan bangsa
merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur yang dalam terminologi keislaman
ialah Indonesia yang Baldatun
Thayyibatun Wa
Rabbun Ghafur.
“Muhammadiyah sebagai kekuatan nasional sejak awal berdirinya
pada tahun 1912 telah berjuang dalam pergerakan kemerdekaan dan melalui para
tokohnya terlibat aktif mendirikan Negara Republik Indonesia yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Setelah Indonesia merdeka, pada berbagai
periode pemerintahan hingga periode reformasi, pengabdian Muhammadiyah terhadap
bangsa dan negera terus berlanjut,” ungkapnya.
Khidmat kebangsaan Muhammadiyah ini didorong oleh keinginan yang
kuat agar Indonesia mampu melangkah ke depan sejalan dengan cita-cita
kemerdekaan. Inilah bukti bahwa Muhammadiyah ikut “berkeringat” di dalam
usaha-usaha memajukan kehidupan bangsa. Muhammadiyah meyakini bahwa Indonesia
dapat mencapai tujuan untuk menjadi negara dan bangsa yang berkemajuan, yakni
terciptanya kehidupan kebangsaan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan
berdaulat sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
“Muhammadiyah memiliki komitmen dan tanggungjawab tinggi untuk
memajukan kehidupan bangsa dan negara sebagaimana dicita-citakan para pendiri
bangsa. Para tokoh Muhammadiyah sejak kelahirannya sampai saat ini dalam
kehidupan kebangsaan sangat besar perannya,” urainya.
Para Tokoh Muhammadiyah dan Jasa Besarnya
Haedar menyebut beberapa contoh. Kiai Ahmad Dahlan dan Nyai
Walidah Dahlan bergerak dalam mencerdaskan dan memajukan bangsa hingga diangkat
sebagai Pahlawan Nasional. Srikandi Aisyiyah, Hayyinah dan Munjiyah menjadi
pelopor dan pemrakarsa bersama pergerakan perempuan lainnya untuk lahirnya
Konges Perempuan Pertama tahun 1928.
Kyai Mas Mansur menjadi tokoh Empat Serangkai bersama Soekarno,
Mohammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantoro dalam usaha persiapan kemerdekaan
Indonesia. Ki Bagus Hadikusumo didukung Kahar Muzakkir dan Kasman Singodimedjo
menjadi penentu konsensus nasional penetapan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945
sebagai konstitusi dasar sekaligus di dapamnya penetapan Pancasila sebagai
dasar negara.
Dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan,
kata Haedar, kontribusi Muhammadiyah terbesar melalui Soedirman adalah perang
gerilya dan melahirkan serta menjadi Bapak Tentara Nasional Indonesia, yang
tiada duanya. Gerakan cinta tanah air ini bermodalkan spirit Hizbul Wathan atau
Kepanduan Tanah Air yang dirintis tahun 1918, di mana Soedirman menjadi pandu
utamanya. Bersamaan dengan perang gerilya, aksi mempertahankan Indonesia dari
serbuan kembali Belanda di DIY dan Jawa Tengah para tokoh Muhammadiyah
menggerakkan aksi Angkatan Perang Sabil (APS), yang merupakan perlawanan umat
Islam yang luar biasa militan demi mempertahankan bangsa dan tanah air.
“Peran tokoh Muhammadiyah Ir Djuanda juga sangat penting dan
menentukan dalam menyatukan seluruh kepulauan Indonesia melalui Deklarasi
Djuanda 1957, yang menjadi pangkal tolak perjuangan Indonesia di PBB untuk
menyatukan lautan dan daratan dalam satu kepulauan Indonesia yang utuh.
Perjuangan tersebut berhasil tahun 1982 dengan diakuinya kesatuan laut dan
daratan kepulauan Indonesia oleh PBB dalam hukum laut internasional,” ulasnya.
Suatu perjuangan yang dipelopori kader dan tokoh Muhammadiyah yang juga menjadi
Perdana Menteri serta beberapa kali menjadi Menteri di zaman pemerintahan
Soekarno.
Selain itu, keberadaan Kementerian Agama juga merupakan gagasan
tokoh Muhammadiyah dari Jawa Tengah, KH Abu Dardiri, setelah itu Menteri Agama
RI pertama ialah HM Rasjidi, yang dikenal ilmuwan atau ulama lulusan
Universitas Sourbone Perancis, berasal dari Kotagede Yogyakarta. Sementara
Kahar Muzakkir yang menjadi anggota Panitia Piagam Jakarta, sebelumnya sewaktu
di Al-Azhar Cairo, berjuang melakukan diplomasi di Timur Tengah sebelum yang
lainnya.
“Soekarno juga Muhammadiyah, bahkan menjadi pengurus Majelis
Pendidikan sewaktu di Bengkulen (Bengkulu). Tokoh utama kemerdekaan dan
proklamator serta Presiden pertama Indonesia itu lama bergaul dan ‘ngintil’
(berguru secara informal) dengan Kiai Dahlan sebagaimana beliau akui sendiri.
Soekarno beristrikan kader Aisyiyah, Fatmawati yang juga putri Konsul
Muhammadiyah Sumatra yakni Hasan Din,” katanya.
Paham Islam progresit atau berkemajuan menjadi daya tarik
Soekarno menjadi anggota dan pengurus Muhammadiyah. Presiden berikutnya,
Soeharto juga anak didik sekolah Muhammadiyah. Kedua Presiden Indonesia itu
dengan segala kelebihan dan kekurangannya sangat berjasa bagi perjalanan
sejarah dan pembangunan bangsa.
Muhammadiyah terus berkiprah dan memberi kontribusi besar bagi
pencerdasan dan pemajuan bangsa melalui usaha-usahanya di bidang pembaruan
paham keagamaan, pendidikan, kesehatan, pelayaanan sosial, pemberdayaan
masyarakat, pendidikan politik kebangsaan, dan gerakan dakwah lainnya. Dalam
lintasan perjalanan Indonesia telah puluhan hingga ratusan ribu sumberdaya
manusia yang terdidik dan berkarakter lahir dari gerakan ini, tanpa mengklaim
dirinyan gerakan santri.
“Dari rahim Muhammadiyah pula hadir tokoh Amien Rais sebagai
tokoh reformasi, Syafii Maarif tokoh pluralisme dan kemanusiaan, serta Din
Syamsuddin tokoh lintas agama di tingkat nasional sampai internasional. Semua
berkontribusi bagi pencerdasan, kemajuan, dan perubahan kehidupan bangsa
Indonesia,” ulasnya.
Kiprah Muhammadiyah yang Melintas Batas
Haedar menyebut, Muhammadiyah telah berbuat senyata-nyatanya
untuk memajukan kehidupan bangsa di bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan
sosial, pemberdayaan masyarakat, dan usaha-usaha dakwah pembaruan. Apa yang
selama ini dikerjakan Muhammadiyah telah diakui oleh masyarakat luas dan juga
oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dalam kerangka itu, pemerintah Soekarno menetapkan K.H. Ahmad
Dahlan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 657 tanggal
27 Desember 1961, dengan pertimbangan sebagai berikut: (1) kepeloporan dalam kebangunan umat Islam
Indonesia untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang harus belajar
dan berbuat; (2) memberikan
ajaran Islam yang murni kepada bangsanya, ajaran yang menuntut kemajuan,
kecerdasan dan beramal bagi masyarakat dan umat; (3) memelopori amal-usaha sosial dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangunan dan kemajuan bangsa, dengan
jiwa ajaran Islam; dan (4) melalui
organisasi Aisyiyah telah memelopori kebangunan wanita bangsa Indonesia untuk
mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Muhamamdiyah sejak berdirinya hingga saat ini, ujar Haedar,
terus berkiprah memajukan bangsa dengan tulus dan penuh pengkhidmatan
untuk seluruh warga bangsa. Muhammadiyah memiliki teologi dan praksis
“Al-Ma’un” dalam mengembangkan pilantropi sosial yang bersifat inklusif.
Gerakan Muhammadiyah untuk mengembangkan kehidupan bersama seluruh masyarakat
juga dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial,
ekonomi, pemberdayaan masyarakat, dan usaha-usaha lainnya dalam program praksis
sosial dan pilantropi yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan masyarakat.
Termasuk program kemasyarakatan yang dilakukan oleh organisasi perempuan
Muhammadiyah yakni Aisyiyah, yang mengembangkan program-program inklusif di
seluruh daerah dan kawasan Indonesia melalui praksis-sosial pemberdayaan
masyarakat dan gerakan philantropyIslam.
“Di Indonesia bagian Timur seperti di Papua dan Nusa Tenggara
Timur di mana umat Islam minoritas, Muhammadiyah melakukan usaha-usaha di
bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Di
Papua Muhammadiyah mendirikan Perguruan Tinggi dan Sekolah-Sekolah, pelayanan
kesehatan dan pelayanan sosial bagi penduduk setempat yang mayoritas Kristen
dan Katholik, sebagai sarana atau jalan mengembangkan integrasi sosial. Guru
atau dosen yang beragama Kristen dan Katholik ada yang mengajar di lembaga
pendidikan Muhammadiyah tersebut, termasuk mengajarkan kedua agama tersebut,”
jelasnya.
Muhammadiyah juga mengembangkan program pemberdayaan masyarakat
untuk etnik Kokoda di Papua Barat, tanpa terhalang oleh perbedaan agama dan
etnik. Gerakan ini bagi Muhammadiyah merupakan wujud pluralisme Islam yang
membumi, bukan retorika dan jargon di atas kertas.
Program-program Muhammadiyah untuk kemanusiaan seperti
penanggulangan bencana dan pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah terjauh dan
terpencil secara inklusif telah diakui publik secara luas.
“Muhammadiyah
termasuk di dalamnya Aisyiyah sangat aktif dalam melakssnakan program
penanggulangan bencana seperti di Aceh, Jogjakarta, Sumatra Barat, Nusa
Tenggara Barat, dan saat ini di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat yang tengah
berduka,” imbuhnya.
Program kemanusiaan tersebut diselenggarakan oleh Muhammadiyah
Disaster Management Center (MDMC), Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah
Muhammadiyah (Lazismu), Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU), Majelis Pembina
Kesejahteraam Sosial (MPKS), dan seluruh bagian dari jaringan organisasinya di
Indonesia. Gerak penanggulangan hingga usaha-usaha berkelanjutan pasca
bencana yang dikelola Muhammadiyah merupakan yang terdepan dan tersigap dalam
setiap menghadapi bencana banjir, gempa bumi, dan tsunami meskipun minim
publikasi dalam spirit “sedikit bicara, banyak bekerja”. Termasuk kiprah para
sukarelawan atau relawannya yang gigih dan penuh pengorbanan, belum terbilang
dana puluhan atau jika diakumulasi ratusan milyar yang harus dikeluarkan.
“Muhammadiyah juga memainkan peranan dalam program resolusi
konflik di Philipina Selatan, Thailand Selatan, dan kawasan lain untuk
rekonsiliasi dan perdamaian. Selain itu Muhammadiyah juga melaksanakan
program-program kemanusiaan di Rohingya dan Cox’s Bazar Bangladesh melalui
‘Muhammadiyah Aid’. Program kemanusiaan juga dilakukan untuk pembelaan terhadap
bangsa Palestina yang masih mengalami nasib buruk dan perlakuan tidak adil di
Timur Tengah,” katanya.
Semua peranan itu dilandasi oleh spirit kemanusiaan bahwa di era
peradaban modern, semua umat manusia layak hidup bersama tanpa diskriminasi,
penderitaan, dan penindasan. Peran kemanusiaan universal tersebut nyaris tanpa
slogan-slogan nyaring tentang “Islam rahmatan lil-‘alamim”, karena spirit Islam
tersebut bukan disuarakan tetapi justru dipraktikkan oleh Muhammadiyah.
“Muhammadiyah telah dan akan terus memberikan sumbangan besar di
dalam upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan politik
Islam yang berwawasan kebangsaaan di tengah pertarungan berbagai ideologi
dunia. Muhammadiyah memiliki wawasan kebangsaan yang tegas: bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan
konsensus nasional (dar al-‘ahdi)
yang mengikat seluruh komponen bangsa sekaligus bukti sebagai kekuatan perekat,
pemersatu, dan pembangun bangsa (dar
al-syahadah),” pungkas Haedar Nashir.
(Ribas/SuaraMuhammadiyah)