Laporan: Mastiah Mahasiswa FKIP, Universitas Muslim Maros (UMMA)
Bugiswarta.com, Maros -- Rutinitas pagi buta, ketika suara adzan subuh belum terdengar, Rusmini dan suaminya menguliti ruas-ruas kunyit, jahe, kencur dan bahan lain untuk diramu menjadi minuman jamu khas Maros .
Ketika matahari mulai memancarkan sinarnya, sekitar pukul 07.30 WITA di kota kecil yang ramah Maros, Sulawesi Selatan, tepatnya di Desa Bontotallasa, Rusmini mulai menjajakan jamunya.
Dari pintu ke pintu ia mengais rejeki menjual jamu racikannya, profesi sudah ia lakoni sejak lima tahun yang lalu tepatnya diawal tahun 2013.
Meskipun meminum jamu bukan tradisi masyarakat Bugis-Makassar yang ada di Maros namun Rusmini berusaha mengenalkan khasiat jamu racikannya.
Masyarakat Maros dikenal ramah menjadikan Rusmini mudah untuk mengenalkan jamu kepada masyarakatnya. Hal ini juga menjadikan lahan mengais rejeki. Terbukti dari menjual jamu dia mampu menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi.
Rusmini menjajakan jamunya di jalan poros Carangki Maros, sang suami Sukur menjajakan jamunya di Kawasan Bantimurung.
Dengan gerobak yang dapat menampung sekitar dua belas botol jamu, dia dan suami biasanya akan kembali kerumah ketika suara adzan masjid mulai terdengar.
Setiap gelas jamu Rusmini mematok harga tiga ribu rupiah. Untuk pembeli anak-anak biasanya Rusmini hanya menerima uang dua ribu rupiah.
Lain halnya jika ramuan jamu itu sudah diseduh dengan jamu kemasan maka harga setiap gelas dibandrol dengan harga delapan ribu rupiah.
Berbeda dengan mayoritas penjual jamu yang kebanyakan dari kalangan perempuan, Sukur suami dari Rusmini adalah satu-satunya penjual jamu laki-laki di Maros.
Seperti yang dituturkanya bahwa perlu keberanian, serta harus mengesampingkan rasa malu ketika pertama kali memulai berjualan jamu.
Menurut Rusmini beberapa kerikil kecil pun ia temui, ketika berjualan jamu ini banyak pembeli yang hanya mengetahui bahwa jamu memiliki rasa pahit hingga pangkal tenggorokan.
Para pembelia tidak tahu bahwa jamu seperti kunyit asam, jamu legen, dan jamu beras kencur memiliki rasa yang nikmat.
Selain itu banyak juga pembeli yang memandang sebelah mata obat tradisional ini, menariknya pembeli yang tidak percaya pada khasiat jamu justru datang dari masyarakat desa, sedangkan pegawai puskesmas, guru, polisi, dan tentara jadi langganan tetapnya.
Rusmini memutuskan profesi berjualan jamu dari pada berjualan bakso, karena ia merasa berjualan jamu lebih ringan, tidak terlalu melelahkan seperti berdagang bakso.
Dengan berjualan jamu juga kerugian dapat diminimalisir berbeda dengan berjualan bakso yang harus dihabiskan dalam waktu satu hari.
Untuk jamu bisa bertahan hingga satu minggu dalam kulkas. Meski demikian Rusmini mengaku jamunya akan habis dalam waktu satu hari. Dari dua belas botol ia dapat menjual hingga lima puluh gelas perhari.
Pendapatan, wanita berumur 38 tahun ini mengaku bisa mendapatkan laba bersih sekitar lima puluh ribu rupiah perhari. Dan tak jarang pula ia bisa mendapatakan keuntungan hingga seratus ribu rupiah perhari.
Kini Rusmini telah mendapat langganan tetap yang telah merasakan khasiat jamu. Khasiat yang dirasakan Rusmini selain sehat di badan juga sehat di kantong.
Tidak hanya orang dewasa, anak-anak, remaja, bapak-bapak bahkan pegawai kantor juga telah merasakan khasiat dari jamu Ibu Rusmini.
Alhamdullilah dari menjual jamu ini sudah bisa mencukupi kebutuhan dapur sehari-hari, bisa juga disimpan sedikit untuk sekolah anak, jawab Rusmini.