Raziki Juraid, Mantan Ketua DPP IMM Jumat 21
September 2018
Pertengkaran
antara Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dengan Dirut Bulog Budi Waseso
mengenai kebijakan impor beras hari-hari ini, memperlihatkan ada yang salah
dalam kebijakan tersebut. Komoditas beras begitu vital bagi Indonesia, beras
merupakan komoditas makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia dan
sebagian Negara-negara di Asia, karena itu beras memiliki nilai strategsi bukan
saja menjadi komoditas ekonomi. tetapi juga menjadi komoditas sosial dan politik.
Keberhasilan
dalam mewujudkan swasembada beras menjadi salah satu parameter keberhasilan
rezim yang sedang berkuasa, mengingat Indonesia merupakan negara agraris yang
memiliki lahan pertanian yang luas dan mayoritas rakyat Indonesia bermata
pencaharian sebagai petani yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian
disatu sisi dan pada sisi yang lain Indonesia merupakan salah satu negara
pengimpor beras terbesar di dunia, yaitu sekitar dua juta ton per tahun.
Kenapa impor beras ini tidak dapat diakhiri?.
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, tidak bisa tidak harus dilihat dari kuatnya
cengkraman neoliberalisme. Setidaknya ada tiga dalil utama yang melatari
lahirnya kebijakan impor beras di negara berkembang dalam konteks doktrin
Neolib. Pertama, penerapan program penyesuaian struktural (SAP) yang menjadi
bagian dari persyaratan bantuan yang diberikan oleh IMF dan Bank Dunia pada
negara-negara berkembang yang mengalami krisis finansial, serta keikutsertaan
negara berkembang dalam perjanjian regional dan Agreement on Agriculture (AoA)
dari WTO. Fenomena tekanan penerapan SAP tersebut mulai berkembang pada tahun
1980-an yaitu saat terjadi krisis ekonomi yang melanda negara-negara di Amerika
Latin.
Kedua,
tingginya dukungan pemerintah negara maju untuk produksi, proses dan ekspor
beras ke negara-negara berkembang. Dalam kasus Indonesia, terlihat bahwa selama
peningkatan jumlah impor beras besar-besaran saat pelaksaan LoI IMF, beras
impor yang masuk ke Indonesia dikuasai oleh tiga negara saja, yaitu Thailand, Vietnam,
dan Amerika Serikat.
Buka juga Video Ini :
Ketiga,
pemangkasan dukungan di negara berkembang untuk input-input pertanian,
mesin-mesin pertanian, penyediaan publik, dan jaminan harga sebagai bagian dari
SAP, yang menyebabkan penurunan atau stagnansi kapasitas produksi beras dalam
negeri. Banyak pihak yang tidak mendukung produksi beras dalam negeri, namun
lebih cenderung untuk mengisi kebutuhan konsumsi dalam negeri dengan melakukan
impor beras murah.
Kondisi
tersebut terlihat jelas, dengan adanya kebijakan impor oleh Menteri
Perdagangan, meskipun kebijakan tersebut ditentang keras oleh Menteri Pertanian
Amran Sulaiman dan Kepala Bulog Budi Waseso, karena saat ini produksi dan
kedersediaan beras dalam negeri sangtlah cukup disamping harga beras relatif
murah dan stabil.
Menyambut IMF-WB
Keputusan
Menteri Enggartiasto Lukita mencerminkan sikap ketundukkan penuh pemerintah
terhadap kepentingan pasar, keuntungan ekonomi menjadi pertimbangan utama yang
mendasari kebijakan impor beras pemerintah sehingga pemerintah enggan melindungi
kepentingan rakyatnya sendiri, dengan demikian sangat mudah dipahami bahwa
kebijakan impor adalah bentuk dari lliberalisasi perdangangan, hal tersebut
sesui dengan doktrin neolib yang menjadi malapetakan bagi banyak Negara
berkembang termasuk Indonesia, yaitu:
(a)
Minimalisasi peran negara sementara otoritas berada di tangan pasar,
(b)
Privatisasi aset-aset negara ke pasar,
(c)
Kebijakan yang mendukung pasar untuk terintegrasi dengan pasar global,
(d)
Deregulasi, dan
(e)
Desentralisasi.
Dalam
kontek itu, saya mencium ada keterkaitan yang sangat erat antara kebijakan
impor beras dengan agenda pertemuan tahunan lembaga Neolib yakni IMF-WB di Bali
pada bulan Oktober 2018 yang menurut sumber resmi menghabiskan APBN 900 Milyar
Rupiah. Artinya, kebijakan impor merupakan bentuk penegasan bahwa Indonesia
masih istiqomah menjalankan jampi-jampi neolib sekaligus wujud ketaatan sebagai
pasien neolib. Pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan dirin menyambut
kedatangan sang raja jahat, sang penghancur sendi-sendi ekonomi Indonesia.
Mawacita Istana, duka cita Petani.
Kebijakan
impor beras sama sekali tidak memberikan dampak positif bagi negara maupun
sektor perberasan dalam negeri. Kebijakan impor justru lebih banyak memberi
keuntungan pada negara eksportir beras termasuk petani beras luar negeri yang
memiliki banyak kelebihan daya saing dibandingkan dengan petani dalam negeri,
baik dari segi luas kepemilikan lahan, teknologi yang memadai, serta dukungan
dari pemerintah.
Meskipun
Kementerian Pertanian berupaya mewujudkan swasembada pangan terutama beras
dengan membangun sistem mekanisasi, menggairahkan para petani, namun jika tidak
didukung oleh sektor perdangangan yang pro petani serta kebijakan yang kuat
dari Istana, maka nawacita dari istana tetap jadi duka cita bagi petani.