Bugiswarta.com, Jakarta – Direktur Eksekutif Bimata Politica Indonesia (BPI) Panji Nugraha mengatakan, tudingan massif dari para pendukung Jokowi terhadap aksi gerakan anti rezim termasuk persekusi kepada aktivis-aktivis #2019GantiPresiden disebut radikal. justru hanya akan membuat blunder di kubu Jokowi.
“Tudingan radikalisme kepada para aktivis kontra Jokowi bukan saja tidak mendasar, tetapi terlalu bernuansa rekayasa. Pasalnya, cap radikalisme sering diartikan gerakan teror sementara faktanya saat ini justru kelompok aktivis #2019GantiPresiden yang selalu mendapatkan teror politik seperti pembubaran acara aksi, persekusi dan pembatalan forum-forum diskusi, maka wajarlah jika tudingan radikalisme tidak tepat”, tutur Panji Jakarta, 18 September 2018
Panji menambahkan, pemahaman makna radikalisme terlalu di generalisir dan justru menyesatkan publik dalam hal informasi. Di satu sisi paham radikal diartikan sebagai tindakan teroris sebagai ancaman negara. Di sisi lain radikal ini pun diartikan sebagai gerakan kelompok massa yang ingin merubah dasar Pancasila menjadi sistem khilafah. Padahal secara fakta organisasi terlarang tersebut sudah dibubarkan dengan perppu ormas. Maka publik bertanya kepada rezim saat ini radikalisme yang dimaksud rezim itu seperti apa, apakah yang ingin memilih capres selain Jokowi adalah radikal anti Pancasila ?.
Jika demikian, penyeragaman narasi pemerintah haruslah menjadi pikiran publik menyebut aktivis anti rezim kelompok-kelompok anti Pancasila adalah cara-cara orba untuk membungkam lawan politiknya. Dapat diartikan pemahaman tersebut adalah pemahaman yang mengkhianati sistem demokrasi yang disebabkan oleh upaya penyeragaman narasi kekuasaan menjadi narasi publik dengan menjadikan Pancasila manjadi alat untuk menakut-nakuti dan mendegradasi hak dasar warga negara bukan digunakan untuk melindungi hak-hak dasar warga negara mencapai tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Jokowi baik sebagai Presiden maupun capres perlu memahami hal-hal mendasar tersebut, jangan sampai melakukan pembiaran karena konsep rekonsiliasi Jokowi dengan menggandeng Maruf Amin sebagai wapres justru kontraproduktif dengan fakta yang ada. Jika Jokowi tetap tidak bersuara maka jangan salahkan rakyat jika Jokowi di cap tidak percaya terhadap demokrasi dan cenderung otoriter. Karena perlu digaris bawahi sikap otoriter pemimpin bukan terlihat dari wajahnya tetapi kebijakan dan pembiaran terhadap tindakan represif dan hal tersebutlah yang akan membuat kekuatan Jokowi di Pilpres 2019 semakin melemah”, tutup Panji
“Tudingan radikalisme kepada para aktivis kontra Jokowi bukan saja tidak mendasar, tetapi terlalu bernuansa rekayasa. Pasalnya, cap radikalisme sering diartikan gerakan teror sementara faktanya saat ini justru kelompok aktivis #2019GantiPresiden yang selalu mendapatkan teror politik seperti pembubaran acara aksi, persekusi dan pembatalan forum-forum diskusi, maka wajarlah jika tudingan radikalisme tidak tepat”, tutur Panji Jakarta, 18 September 2018
Panji menambahkan, pemahaman makna radikalisme terlalu di generalisir dan justru menyesatkan publik dalam hal informasi. Di satu sisi paham radikal diartikan sebagai tindakan teroris sebagai ancaman negara. Di sisi lain radikal ini pun diartikan sebagai gerakan kelompok massa yang ingin merubah dasar Pancasila menjadi sistem khilafah. Padahal secara fakta organisasi terlarang tersebut sudah dibubarkan dengan perppu ormas. Maka publik bertanya kepada rezim saat ini radikalisme yang dimaksud rezim itu seperti apa, apakah yang ingin memilih capres selain Jokowi adalah radikal anti Pancasila ?.
Jika demikian, penyeragaman narasi pemerintah haruslah menjadi pikiran publik menyebut aktivis anti rezim kelompok-kelompok anti Pancasila adalah cara-cara orba untuk membungkam lawan politiknya. Dapat diartikan pemahaman tersebut adalah pemahaman yang mengkhianati sistem demokrasi yang disebabkan oleh upaya penyeragaman narasi kekuasaan menjadi narasi publik dengan menjadikan Pancasila manjadi alat untuk menakut-nakuti dan mendegradasi hak dasar warga negara bukan digunakan untuk melindungi hak-hak dasar warga negara mencapai tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Jokowi baik sebagai Presiden maupun capres perlu memahami hal-hal mendasar tersebut, jangan sampai melakukan pembiaran karena konsep rekonsiliasi Jokowi dengan menggandeng Maruf Amin sebagai wapres justru kontraproduktif dengan fakta yang ada. Jika Jokowi tetap tidak bersuara maka jangan salahkan rakyat jika Jokowi di cap tidak percaya terhadap demokrasi dan cenderung otoriter. Karena perlu digaris bawahi sikap otoriter pemimpin bukan terlihat dari wajahnya tetapi kebijakan dan pembiaran terhadap tindakan represif dan hal tersebutlah yang akan membuat kekuatan Jokowi di Pilpres 2019 semakin melemah”, tutup Panji