Maaf, Luka dan Ingatan -->
Cari Berita

Maaf, Luka dan Ingatan

Penulis Fajlurrahman Jurdi Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Bugiswarta.com, Opini -- Kita belakangan ini disesaki oleh dramaturgi yang tak henti dengan sandiwara yang memukau dari mereka yang “merasa dekat”, “merasa bisa” dan “merasa punya” kekuasaan. Berkali-kali dramaturgi itu di ulang untuk menyudutkan satu kelompok atau agama tertentu, sambil lalu tanpa ada rasa bersalah meskipun secara verbal meminta maaf. “Maaf” sebagai ungkapan penyesalan, tidak datang secara transenden, bukan sesuatu yang mengalir dari dalam hati, bukan merupakan desakan “rasa bersalah” yang meringkuk bersama pengalaman waktu saat ucapan yang melukai separuh tubuh bangsa ini di pidatokan untuk memprovokasi publik, tetapi ucapan maaf itu ditulis di atas lembaran kertas, di desain, untuk meredam amarah yang datang bagai banjir bah. Lalu di ujung kertas itu, sang pelakon pura-pura nangis.
Bila amarah massa tak datang, mereka yang dengan sengaja menggores luka atas nama SARA itu, tak kan berhenti, hingga luka itu benar-benar membusuk bersama ulat. Lalu “perang social” terjadi. Apakah itu yang mereka inginkan?. Ah, atau saya yang terlalu berpretensi soal tujuan yang hendak mereka buru dengan membangun provokasi berkali-kali dan memintal “kebencian” pada agama tertentu tanpa sebab yang jelas?.
Beberapa bulan yang lalu, di sebuah kampong di NTT, kalimat-kalimat provokasi dan “terror” atas nama SARA itu datang dari seorang politisi yang tidak hanya punya pengaruh dalam lokalitas daerahnya, tetapi memiliki posisi di tingkat nasional. Tetapi sekali lagi, karena mereka “merasa mengendalikan kekuasaan”, tak ada yang bisa menjangkaunya. Aparat Hukum tiba-tiba mengalami “demam tinggi” bila berhadapan dengan mahluk-mahluk ini. Saya teringat ceritera Leviathan, binatang raksasa yang dianalogikan oleh Hobbes. Saat apa saja dan siapapun berhadapan dengan sang “binatang” ini, mereka akan hancur berkeping-keping. Binatang ini betapa horror, sehingga semua entitas yang ia lalui tak akan ada yang tersisa, kecuali “kebinasaan”.
Jelas bahwa para “homo sapiens” yang menusuk jantung harmoni dengan lidah tanpa tulang melalui ucapan verbal dan provokatif itu, bukanlah binatang yang disebutkan oleh Hobbes itu. Tetapi kenapa mereka begitu ditakuti oleh aparat hukum?. Mereka tak tersentuh. Mereka butuh “kemarahan” dan radikalisme massa dalam kerumunan besar baru berani menyentuh satu orang mahluk yang berkuasa ini. Apakah hukum butuh “kerumunan” baru bekerja untuk mereka?. Saya belajar ilmu hukum, tetapi saya kadang harus menghadapi “maddnes” ini sebagai sesuatu yang “faktual”.
Saya setuju dengan kata “verstehen” dari Heideger untuk menunjukan “subyek yang paham”, tetapi saya tidak setuju dengan irisan kata itu yang “mengharuskan kita setuju”. Karena “jika anda memahami, maka anda setuju” bertolak belakang dengan sikap intelektual subyek tertentu saat menghadapi politik sebagai diskursus disatu sisi dan mengorek agama sebagai alasan bertahan dalam politik pada sisi yang lain. Sedangkan subyek yang lain lagi menyatukan agama dengan politik sambil melarang yang lain. Ini kontradiksi-kontradiksi, tergantung interest apa yang mereka bawa saat pergumulan itu terjadi.
Akibat kontradiksi antara “verstehen” si “homo sapiens” dengan pilihan sikap “imanensi politik”nya yang dangkal dan penuh ambisi, ia dengan tega meretakkan harmoni dan persatuan menjadi bercak-bercak “kebencian” dan desas-desus.
Saat kalimat-kalimat “dungu” itu diucapkan, ia sudah tau bahwa “penganut agama” ini terlalu gampang “memaafkan” dank arena lipatan waktu mereka “melupakan”. Akibatnya, si subyek “homo sapiens” itu mengulang kembali. Ini hanya semacam pengulangan-pengulangan dari dari “gerakan yang sama”, lalu meminta maaf setelah itu dilupakan.
Maafkan dan Lupakan, sehingga kita mungkin sedang mengidap “amnesia”. Atau maafkan dan rawat terus ingatan mu, agar tidak menginjak lubang yang retak berkali-kali, padahal anda tau, anda pernah jatuh disitu dulu dan mengulangnya untuk jatuh kembali. Kecuali kita memang sedang mengidap penyakit “maddnes”. (*)