Penulis : Ardi Januar
Bugiswarta.com, Opini -- Prabowo
kembali menjadi korban framing media dan buzzer tercela. Dia dituduh meramal
Indonesia akan bubar pada 2030. Padahal, Prabowo hanya menyampaikan pesan dari
para ahli strategis dan scenario writing di luar negeri.
Mei 2017
lalu saya pernah memposting pernyataan Prabowo tersebut. Dia mengajak semua
anak Bangsa bersatu agar prediksi para ahli itu tak terbukti. Prabowo kembali
menyinggung isu ini saat berpidato dihadapan kader Gerindra beberapa bulan
lalu. Tak ada media yang mengutip atau netizen yang menyinggung pernyataan
Prabowo tersebut.
Entah
kenapa dan darimana asalnya, tiba-tiba ramai kabar Prabowo meramal Indonesia
bubar di 2030. Media partisan dan pengamat menyerang. Banyak juga tokoh bergelar
yang termakan isu dan berkomentar sinis. Salah satunya politisi kemarin sore,
AHY.
Saya
menduga, operasi ini sengaja dimunculkan dan dibesarkan. Tujuannya ada dua,
degradasi nama Prabowo dan menutupi isu politik yang lebih besar. Sekali
mendayung, dua tiga isu tertutupi.
Nama
Prabowo kian dicintai publik. Perlahan banyak yang tersadarkan kualitas dan isi
kepala dari mantan Danjen Kopassus ini. Bila tidak dihadang, namanya akan
semakin berkibar dan para jagoannya di pilkada mendatang berpotensi akan
menang. Gagal memberi predikat pelanggar HAM, mereka produksi predikat baru,
yakni "sang peramal".
Selain
mendegradasi nama Prabowo, isu "Ghost Fleet" juga efektif untuk
menutupi setumpuk persoalan yang tengah menghimpit negeri. Setidaknya ada tiga
isu yang teralihkan.
Ketika Prabowo
dihantam isu "Ghost Fleet", di saat yang bersamaan, Institute for
Development of Economics and Finance (INDEF), mengungkap fakta bahwa utang
negara ini sudah mencapai angka Rp 7.000 triliun. Beban yang semakin berat
untuk anak cucu kita ke depan. Sayang, kabar ini sunyi bak ditelan bumi.
Berita
soal Prabowo dan analisa 2030 juga semakin digoreng dan diviralkan ketika Setya
Novanto mengungkap fakta mengejutkan di persidangan kasus e-KTP. Dia menyebut
Puan Maharani dan Pramono Anung menerima aliran dana masing-masing sebesar 500
ribu USD. Bila dalam kurs rupiah, jumlah tersebut cukup untuk mengajak tamasya
orang sekampung.
Kendati
keduanya membantah, tapi pengakuan dari Novanto ini kian mempertontontan
kondisi para elit negeri yang dihantui budaya koruptif dan bancakan kekuasaan.
Suasana semakin gaduh setelah Demokrat dan PDIP saling tuduh.
Satu
fakta lagi yang beritanya tertutup oleh framing Prabowo adalah naiknya BBM
jenis pertalite dari 7.600 menjadi 7.800 per liter. Entah ini kali keberapa
pemerintah menaikkan harga BBM. Dan selalu kebijakan semacam ini dijalankan
secara diam-diam. Tanpa sosialisasi dan pengumuman.
Sayang,
ketiga persoalan Bangsa di atas terturup gaungnya oleh pidato Prabowo yang
diutarakan jauh-jauh hari. Mereka yang sama sekali tak memahami persoalan
strategis menilai Prabowo pesimistis. Padahal dua mantan Panglima TNI yakni
Djoko Santoso dan Gatot Nurmantyo mengerti dan mengamini maksud dari Prabowo.
Publik
kini tahu. Prabowo tidak menghilang tetapi ada di Hambalang. Saat politikus
lain narsis di media massa, Prabowo malah fokus membaca. Saat politikus lain
sibuk bicara pilkada, Prabowo justru berpikir memikirkan nasib Bangsa.
Prabowo
tahu ucapannya diplintir. Prabowo tahu dirinya sedang dibully. Dia hanya
tertawa dan tak berhenti membaca. Tidak marah-marah sambil melotot, tidak
mengencangkan urat dan tidak mengancam akan membuka dosa orang lain.
(*******))