OPINI : Budaya Lokal Dalam Pilkada -->
Cari Berita

OPINI : Budaya Lokal Dalam Pilkada

Penulis : Ridwan Fawallang S.Hi.,M.Hi

BUGISWARTA.com,---Budaya merupakan perwujudan dari nilai terdalam pada suatu masyarakat yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Budaya dapat dipahami sebagai hasil kreativitas manusia yang dipedomani sebagai sisitem nilai dan norma bagi mereka. Nilai budaya  berfungsi sebagai filter terhadap kemungkinan gerusan nilai dari luar yang dapat menghilangkan nilai asli di manusia menjaganya dan lestarikan secara berkontinuitas dari generasi ke generasi. Nilai dapat berupa bentuk integritas dan kualifikasi suatu masyarakat sehingga karakteristik tersebut menjadi perekat antar masyarakat dalam suatu komunitas atau daerah sehingga mudah untuk dipahami dan dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara norma budaya menjadi aturan yang dapat mengikta segala aktivitas manusia dalam suatu masyarakat dalam segala aspek dari sikap dan perilaku manusia di daerah tertentu. Oleh ia merupakan hukum budaya sehingga memiliki akibat hukum  bagi mayarakat yang berbudaya itu. Akibat hukum itu dapat menyentuh  kebutuhan sosial dan politik bagi manusia yang yang melanggarnya atau mengabaikan budaya tersebut yang pada konsekuensinya dapat membawa itu cenderung tidak maju. Nilai itu merupakan energi setiap orang untuk dipraktikkan secara konsisten dan cerdas dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa sampai membuahkan hasil yang baik bagi pembanguna daerah.  Aspek sosial nilai budaya sejatinya menjadi sinyal cerah bagi pembangunan daerah karena ia merupakan ideologi yang tak padam karena gerusan kepentingan pragmatis ekonomi, social dan politik. Dalam masyarakat bugis terdapat budaya dapat menjadi modal pembangunan daerah sehingga pembangunan sosial dan politik dapat dikembangkan pembangunan kualitas politik demokrasi rakyat.

Dalam kaidah hukum disebutkan bahwa budaya dapat menjadi hukum pada masyaraka atau daerah tertentu. a.) Budaya malempu yaitu sikap kejujuran dalam bertindak merupakan sikap yang senantiasa dituntut untuk dipraktekkan sehingga kehidupan masyarakat. b.) Budaya macca yaitu sikap cerdas yang ditunjukkan untuk mewarnai setiap tindakan manusia dalam masyarakat. c.) budaya warani yaitu sikap berani atau kesatria dalam bertindak terhadap suatu kebenaran yang diyakini merupakan hak dan kewajiban sehingga menuntut untu dibela atau diperjuangkan. d.) Budaya adele yaitu sikap adil perlu ditunjukkan dalam oleh penyelenggara pemilu peran Sejatinya seluruh pihak penting menunjukkan sikap adil dalam pilkada sehingga dapat diperoleh kepuasan terhadap terpenuhinya seluruh hak leh para pihak. Praktek terhadap keempat budaya itu cenderung melepuh pada dinamika pilkada di kabupaten Bone sehingga mengakibatkan dinamika politik yang kurang sehat dalam momentum upaya mewujudkan demokrasi.

Budaya Lokal

Momentum pilkada sangat strategis untuk mempraktikkan hukum pada daerah yang memiliki nilai budaya sebagai pengatur agar proses demokrasi elektoral tetap berjalan sesuai dengan norma hukum. Budaya malempu atau sikap jujur penting menjadi norma oleh seluruh pihak untuk dipraktekkan dalam pilkada demi menjamin proses demokrasi berjalan sesui denga prinsip dan tujuan pilkada. Kejujuran dapat menjadi filter dari kondisi kecurangan dalam pilkada. Budaya macca atau cerdas merupakan  sikap yang penting ditunjukkan oleh pihak pemilik dan kandidat sehingga dapat menghasilkan proses pilkada yang berkualitas. Para raja di masa kerajaan, dalam memimpin raktyat senantiasa berdasar pada asas kecerdasan sehingga kebijakannya dapat dirasakan oleh rakyat sementara itu raja dihormati dan disegani oleh rakyatnya. Karena itu menurut pikiran saya, tidak mungkin menghadirkan pilkada yang berkualiats bila pihak pemilih dan calon dalam pilkada tidak berkualiatas sehingga keduanya memilki hubungan yang saling membutuhkan (simbiosis politik). Kemungkinan kualitas demokrasi menurun ketika pemilih dan calon pemimipin tidak cerdas, berkomptensi sehingga berdampak pada pembangunan kesejahteran rakyat. Budaya warani atau sikap pemberani atau kesatria dalam bertindak benar dan berani tidak bertindak curang merupakan sikap yang dibutuhkan dalam pilkada. Sikap warani merupakan sikap atau mental untuk berada pada dua kondisi baik kondisi kemenangan maupun posisi kekalahan sehingga membutuhkan mental yang jujur,cerdas untuk mengakui kedua kemungkinan. Adapun bila terjadi penyimpangan aturan dalam proses, disitu terdapat pihak yang berwenang yang dapat menegakkan  aturan sehingga penegakan hokum dalam pilkada tetap dijalan semua pihak yang terlibat dalam pilkada. Budaya adele atau sikap adil perlu ditunjukkan dalam oleh pihak penyelenggara pemilu untuk memastikan bahwa pilkada berjalan sesuai dengan norma dan etika. Keadilan dipraktikkan pleh penyelenggara pilkada baik KPU kab/kota, Panwaskab/kota dan Dewan Kehormatan Penyelengaran Pemilu (DKPP) dalam memastikan hukum ditegakkan secara berkeadilan. Bila keadilan telah dirasakan oleh peserta pilkada baik semua atau sebagian maka indikasi penyelenggara tersebut telah menjalankan hukum secara adil. Sedangkan penegakan hukum pada pilkada, pertanggungjawaban kepastian hukum ditegakkan adalah pihak penegak hukum baik kepolisian bersama kejaksaan untuk memastikan pilkada tetap berintegritas.

Warning Parpol

Budaya Pilkada pilkada tidak sekader mengumpulkan massa untuk membaiat rakyat untuk memilih sepasanag calon sehingga itulah diklaim sebgai bentuk dukungan kemudian perbuatan itu demokrasi tanpa menengadahkan hati dan pikiran serta perbuatan memahami energi lokalitas budaya politik yang mengandung embrio demokrasi kerakyatan yang baik dan kuat bagi kedamaian pilkada. Mengapa masyarakat abai pada modalnya sehingga mereka larut dalam perilaku yang tidak mendukung untuk mewarnai pilkada denga budaya yang tidak jujur, cerdas dan.

Pertanggungjawaban parati politik (Parpol) yang dapat memastikan bahwa demokrasi dapat berjalan secara baik dan sukses bila budaya lokal dapat dipraktikkan dalam dinamika politik pilkada di daerah ini. Parpol dapat mejelaskan kepada rakyat mengenai demokrasi yang benar sehingga politik yang dikerjakan oleh rakyat menampakkan politik yang berbasis nilai budaya lokal yang kaya dengan nilai sesuai dengan demokrasi Indonesia saat ini. Menghadirkan budaya lokal dalam pilkada merupakan langkah strategis untuk memberikan pendidikan politik untuk membangun demokrasi elektoral ke arah yang lebih maju.

Demokrasi membutuhkan instrumen parpol untuk salah satu pilar sampai parpol dapat memahami fungsi baik secara kelembagaan maupun peran politik maka kedua fungsi itu dapat berfungsi ganda dalam mengedukasi politik kepada rakyat. Kerakyatan sebagai ideologi parpol, sehingga parpol memiliki upaya menciptakan calon pemimpin-pemimpi kepala daerah untuk pembangunan demi terwujudnya kejehateraan bagi rakyat. Munculnya istilah kotak kosong dalam pilkada merupakan makna massa mengenai tidak terpenuhinya sepasang calon pada proses pencalonan dalam pilkada. Kehadiran sepasang calon untuk melawan “kotak isi”atau calon tunggal dibutuhkan sebagai upaya menegakkan aturan sebagaiaman persyaratan dalam pemilihan calon pasangan dalam pilkada.

Fakta kotak kosong dapat dipahami sebagai pengaruh monarki dalam demokrasi di mana kekuasaan negara atau daerah lahir proses menetapkan kepemimipinan secara tunggal yang kebijakannya selalu absolut. Bila pemahaman tersebut disemaikan dalam pilkada maka sesungguhnya demokrasi itu bukan electoral atau pemilihan tetapi penetapan dan praktek tersebut tidak sejalan dengan demokrasi pancasila yang diakui oleh indoensia dimana demokrasi dikuatkan oleh hukum sebagai pengatur system politik. Sistem poliitk model kerajaan dalam pilkada Bone dengan indikator calon tunggal atau kotak kosong merupakan pengaruh dari sisitem kerajaan yang pernah berlaku pada masyarakat. Masyarakat seolah diarahkan nyaman dengan kondisi calon tunggal sementara secara faktual kondsis psikologi masyakat tidak nyaman disebabkan oleh fakta pembangunan oleh sang calon yang kembali ingin menjadi calon tidak memperlihatkan kemajuan dan tidak mengubah kesejahteraan rakyat.

Sejatinya parpol menvermati calon pemimpin yang akan diusung berbasis pada substansi karya calon bukan semata popularitas dan kemenangan. Ketika parpol hanya berorientasi pragmatism aka tidak menutup kemungkinan kemunculan calon-calon perseorangan atau independen tetapa menjadi alternatif bagi rakyat di mana rakyat telah jujur, cerdas, berani dan adil untuk menentukan sikap politiknya demi kemajuan daerahnya dan kesejahteraan dirinya.     

Masyarakat sipil 

Peran masyarakat sipil sebagai pilar demokrasi masih membutuhkan untuk mendampingi rakyat cerdas dalam berpolitik untuk menentukan pemimpinnya di masa mendatang. Masyarakat sudah saatnya berbagi porsi peran untuk mendorong dan menciptakan calon pemimpin daerah yang kuat, berintegritas dan cerdas, sehingga memiliki pengaruh terhadap pembangunan daerah. Masyarakat sipil mendorong edukasi demokrasi dan politik elektoral agar demokrasi tidak tersubordinasi dengan pola monarki yang diciptakan di sela demokrasi elektoral pilkada sehingga rakyat dapat merasakan kenyaman dalam berpolitik. Dalam masyarakat sipil terdapat komponen-komponen yang dapat mengambil peran untuk menutui celah yang tidak dilakukan oleh parpol sampai ditemukan calon-calon pemimpin berkeadilan dalam memimpin.

Dalam kontek kedaerahan terdapat organisasi sosial keagamaan (ORMAS), masyarakat sipil (ORMAS) memiliki peran besar yang strategis menciptakan calon pemimpin di mana ormas tidak berpolitik praktis sehingga lebih konsen bekerja demi umat. Terdapata masyarakat sipil organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan (OKPM), segmentasi pergerakan OKPM dinilai strategis dalam mengupayakan kerja di masyarakat dalam bidang kepemudaan dan kemahasiswaan yang dapat melahirkan gagasan yang cerdas dan dapat menyiapkan calon-calon pemimpin muda jujur, cerdas dan pemberani. Pada peran lain, ada media yang dapat mengangkat pemimpin, karya begitupula membuka penyimpangan calon maupun pemimpin yang tidak sesuai dengan peran dan tugas serta wewenangnya, sehingga pada peran itu, media tetap menjalankan perannya sebagai kontrol sosial.sbagaimana jargon bahwa media sebagai pilar demokrasi.(*****)