Pernikahan adalah tuntunan agama,
walaupun begitu tak bisa dilepaskan dari adat istiadat (Pangadereng) atau
budaya turun temurun dalam sebuah kehidupan kemasyarakatan. Terkadang adat
istiadat disejajarkan dengan perintah agama, wajib hukumnya diikuti, bahkan
sebagian ada yang mendahulukan adat daripada tuntunan agama yang mereka anut.
Kebanyakan masyarakat yang lahir dari suku atau daerah memang hidup mendarah
daging dengan ajaran nenek moyang.
Sebuah ungkapan orang Bugis mengatakan “Utettong ri ade’e, najagainnami siri’ku”, dalam artinya, Saya taat kepada adat, demi terjaganya atau terpeliharanya harga diri saya (Mattulada, 1985).
Sebuah ungkapan orang Bugis mengatakan “Utettong ri ade’e, najagainnami siri’ku”, dalam artinya, Saya taat kepada adat, demi terjaganya atau terpeliharanya harga diri saya (Mattulada, 1985).
Ini menunjukkan bagaimana
kuatnya ikatan adat ke dalam hidup seseorang seperti halnya dogma agama yang
ditaati.
Sulawesi selatan terdapat beberapa suku dengan kekhasan budaya masing-masing, sebut saja misalnya suku Bugis yang merupakan suku paling dominan dari sisi jumlah.
Sulawesi selatan terdapat beberapa suku dengan kekhasan budaya masing-masing, sebut saja misalnya suku Bugis yang merupakan suku paling dominan dari sisi jumlah.
Selain itu, ada suku Makassar yang juga cukup dominan mendiami beberapa
kabupaten. Baik suku Bugis ataupun Makassar, ke dua suku ini dapat dibedakan
dari bahasa, Bahasa Bugis dan Bahasa Makassar.
Sedangkan dalam budaya adat istiadat kadang tak bisa dibedakan dan tak terpisahkan dengan banyak kemiripan di dalamnya.
Sedangkan dalam budaya adat istiadat kadang tak bisa dibedakan dan tak terpisahkan dengan banyak kemiripan di dalamnya.
Sebut saja Mappasikarawa
(Bugis) dan Appabajikang Bunting (Makassar) dalam perkawinan dua suku tersebut.
Budaya yang tak terpisahkan dari prosesi pernikahan atau perkawinan dalam adat
istiadat keduanya yang mengikat sebagai norma yang disepakati bersama.
Mappasikarawa dalam Pernikahan
Mappasikarawa adalah proses mempertemukan mempelai pria dan mempelai perempuan setelah sah menjadi suami istri dari sempurnanya ucapan ijab kabul yang dipimpin wali perempuan atau diamanahkan kepada penghulu. Mempertemukan mereka dengan membawa pengantin pria memasuki kamar pengantin perempuan yang dijaga pihak keluarga.
Mempertemukan keduanya, dalam hal ini suami diantar pihak keluarga ke depan pintu kamar tidak begitu saja masuk dengan mudah untuk menemui istrinya, simbol menjemput cinta pada keluarga perempuan.
Mappasikarawa dalam Pernikahan
Mappasikarawa adalah proses mempertemukan mempelai pria dan mempelai perempuan setelah sah menjadi suami istri dari sempurnanya ucapan ijab kabul yang dipimpin wali perempuan atau diamanahkan kepada penghulu. Mempertemukan mereka dengan membawa pengantin pria memasuki kamar pengantin perempuan yang dijaga pihak keluarga.
Mempertemukan keduanya, dalam hal ini suami diantar pihak keluarga ke depan pintu kamar tidak begitu saja masuk dengan mudah untuk menemui istrinya, simbol menjemput cinta pada keluarga perempuan.
Terkadang ada drama tarik-menarik
pintu kamar antara kedua pihak, biasanya pihak suami menyerahkan seserahan
seperti uang logam, uang kertas, atau gula-gula untuk menebus pintu dibukakan
segera.
Prosesi romantis yang dipersaksikan ini berlanjut di dalam kamar bersama beberapa orang keluarga dan segera melakukan proses mappasikarawa oleh keluarga yang dihormati atau dituakan.
Prosesi romantis yang dipersaksikan ini berlanjut di dalam kamar bersama beberapa orang keluarga dan segera melakukan proses mappasikarawa oleh keluarga yang dihormati atau dituakan.
Mula-mula tangan pria dituntun untuk menyentuh
lembut tangan istri, biasanya kedua jempol dipertemukan, terkadang juga tangan
pria diarahkan ke sisi wajah tepat di bawah telinga, kemudian ke arah dada di
bawah leher, hingga yang terakhir suami mencium dahi sang istri setelah
sebelumnya istri mencium tangan suami saat berjabat tangan.
Andi Nurnaga, dalam bukunya berjudul “Adat Istiadat Pernikahan Bugis” menerangkan makna Mappasikarawa atau Makkarawa, (menyentuh) sebagai sentuhan yang pertama sang pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan.
Andi Nurnaga, dalam bukunya berjudul “Adat Istiadat Pernikahan Bugis” menerangkan makna Mappasikarawa atau Makkarawa, (menyentuh) sebagai sentuhan yang pertama sang pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan.
Sentuhan ini
diharuskan menyentuh bagian tubuh istrinya yakni ubun-ubun yang bermakna agar
suami tidak diperintah istrinya; bagian atas dada yang bermakna agar kehidupan
suami istri dapat mendatangkan rezeki yang banyak seperti gunung; dan berjabat
tangan atau ibu jari, artinya suami istri saling mengerti sehingga tidak muncul
pertengkaran dan saling memaafkan.
Sungguh, prosesi yang penuh hikmah di dalamnya, bagaimana suami harus menyentuh istri dengan lembut, bagaimana suami memperlakukan istri dengan benar, dan bagaimana seorang suami menjemput cintanya dengan cara terhormat. Adat yang cukup religius.
Sungguh, prosesi yang penuh hikmah di dalamnya, bagaimana suami harus menyentuh istri dengan lembut, bagaimana suami memperlakukan istri dengan benar, dan bagaimana seorang suami menjemput cintanya dengan cara terhormat. Adat yang cukup religius.
MANSUR/MULIANA
AMRI