Pada tanggal 12 juli 2017 sejumlah Media ramai memberitakan tentang kebijakan Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU nomor 17 tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan, Perppu tersebut ditandatangani 10 Juli 2017.
Sekilas pembubaran Ormas bukanlah hal yang baru dalam sejarah perpolitikan Indonesia yang mana pada tahun 1960 Presiden Soekarno pernah membubarkan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) karena sebagian tokoh-tokohnya di anggap terlibat dalam gerakan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan menolak ideologi Soekrano tentang sistem demokrasi terpimpin.
Pasca pembubaran ormas Masyumi suhu politik Indonesia dan kondisi sosial masyarakatnya terbilang cukup stabil, namun semenjak pernyataan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dikepulaun seribu beberapa waktu lalu yang terbukti melalui proses pengadilan telah melakukan penistaan terhadap umat Islam situasi politik kembali memanas dengan di propagandanya isu kebhinnekaan.
Beberapa kali aksi yang dilakukan oleh umat Islam yang dipelopori oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF-MUI) dibalas dengan Parade Bhineka Tunggal Ika hingga kriminalisasi beberapa ulama dan pengikutnya.
Aksi bela Islam yang dilaksanakan di tengah proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu tidak hanya berhasil memenjarakan Ahok akan tetapi turut memberikan dampak terhadap kekalahan Ahok untuk kembali duduk sebagai orang nomor 1 di ibukota negara.
Beberapa bulan setelah itu rezim Joko Widodo menerbitkan Perpu Nomor 2 tahun 2017 adalah untuk membubarkan organisasi yang dianggap intoleran dan mengancam Pancasila yang faktanya menyasar organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kebijakan ini kemudian menuai kritik dari sebagian masyarakat, akademisi dan juga politisi dikarenakan Perpu yang dikeluarkan oleh pemerintah dianggap sangat tidak beralasan dan terkesan politis, belum lagi kriteria-kriteria untuk menentukan organisasi yang masuk dalam kategori radikal dan mengancam Pancasila tidak di jelaskan secara detail oleh pemerintah sehingga Perpu ini bisa menjadi senjata ampuh untuk menyingkirkan pihak-pihak yang bersebelahan dengan pemerintah.
Jika alasan pemerintah membubarkan HTI karena organisasi ini tidak menjadikan Pancasila sebagai ideologinya maka pada kondisi ini harusnya kita menempatkan Pancasila sebagai nilai bukan hanya sekedar simbol ataupun identitas.
Jika 5 butir Pancasila :
1. Ketuhanan yang maha esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka pertanyaannya poin manakah yang tidak sesuai dengan aktivitas HTI ? Ataukah jangan-jangan HTI lebih mengerti dan konsisten mengamalkan nilai-nilai Pancasila dibandingkan pemeritah ?
Pemerintah harusnya berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan sebab di tengah situasi politik dan ekonomi yang tidak kondusif seperti saat ini bisa menjadi bumerang bagi jalannya pemerintahan Jokowi.
Apabila sebagian publik menilai bahwa penerbitan Perpu Nomor 2 tahun 2017 adalah cara Jokowi untuk membalas dendam atas kekalahan Ahok pada Pilgub DKI adalah sah-sah saja mengingat Ahok diusung oleh partai presiden dan sebagian besar partai koalisi pemerintah.
Kenapa HTI yang menjadi sasaran utama, karena HTI adalah salah satu ormas yang turut berperan aktif dalam aksi bela Islam menuntut agar Ahok dipenjara.
Jika HTI memang dianggap mengancam Pancasila sehingga pemerintah menerbitkan Perpu untuk membubarkan HTI, maka pemerintah harusnya menyadari bahwa HTI sebagai organisasi memang berhasil dibubarkan akan tetapi HTI sebagai ideologi perjuangan kader-kadernya masih ada dan terus aktif dalam menjalankan misi-misi perjuangannya ini sama halnya Perpu jokowi hanya sia-sia.
Di sinilah kenapa penulis memberikan judul pada tulisan ini "Perpu pembubaran ormas adalah ekspresi ketakutan pemerintah" sebab secara psikologis tindakan yang sia-sia akan dianggap penting bagi orang yang sedang ketakutan.
Pemerintah harusnya lebih membuang banyak energi untuk menjelaskan kepada masyarakat Indonesia khususnya umat Islam tentang beberapa kebijakannya yang dianggap anti Islam daripada terus melakukan manuver-manuver politik.
Mungkin untuk saat ini efek negatif dari Perpu Jokowi belum menunjukan ancaman yang besar bagi posisi politiknya dikarenakan Jokowi masih mendapatkan dukungan dari sebagian ormas-ormas Islam di Indonesia, akan tetapi perlahan demi perlahan semua rangkaian peristiwa ini pasti akan menjadi bom waktu.
Sekian, Wassalam
Sekilas pembubaran Ormas bukanlah hal yang baru dalam sejarah perpolitikan Indonesia yang mana pada tahun 1960 Presiden Soekarno pernah membubarkan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) karena sebagian tokoh-tokohnya di anggap terlibat dalam gerakan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan menolak ideologi Soekrano tentang sistem demokrasi terpimpin.
Pasca pembubaran ormas Masyumi suhu politik Indonesia dan kondisi sosial masyarakatnya terbilang cukup stabil, namun semenjak pernyataan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dikepulaun seribu beberapa waktu lalu yang terbukti melalui proses pengadilan telah melakukan penistaan terhadap umat Islam situasi politik kembali memanas dengan di propagandanya isu kebhinnekaan.
Beberapa kali aksi yang dilakukan oleh umat Islam yang dipelopori oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF-MUI) dibalas dengan Parade Bhineka Tunggal Ika hingga kriminalisasi beberapa ulama dan pengikutnya.
Aksi bela Islam yang dilaksanakan di tengah proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu tidak hanya berhasil memenjarakan Ahok akan tetapi turut memberikan dampak terhadap kekalahan Ahok untuk kembali duduk sebagai orang nomor 1 di ibukota negara.
Beberapa bulan setelah itu rezim Joko Widodo menerbitkan Perpu Nomor 2 tahun 2017 adalah untuk membubarkan organisasi yang dianggap intoleran dan mengancam Pancasila yang faktanya menyasar organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kebijakan ini kemudian menuai kritik dari sebagian masyarakat, akademisi dan juga politisi dikarenakan Perpu yang dikeluarkan oleh pemerintah dianggap sangat tidak beralasan dan terkesan politis, belum lagi kriteria-kriteria untuk menentukan organisasi yang masuk dalam kategori radikal dan mengancam Pancasila tidak di jelaskan secara detail oleh pemerintah sehingga Perpu ini bisa menjadi senjata ampuh untuk menyingkirkan pihak-pihak yang bersebelahan dengan pemerintah.
Jika alasan pemerintah membubarkan HTI karena organisasi ini tidak menjadikan Pancasila sebagai ideologinya maka pada kondisi ini harusnya kita menempatkan Pancasila sebagai nilai bukan hanya sekedar simbol ataupun identitas.
Jika 5 butir Pancasila :
1. Ketuhanan yang maha esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka pertanyaannya poin manakah yang tidak sesuai dengan aktivitas HTI ? Ataukah jangan-jangan HTI lebih mengerti dan konsisten mengamalkan nilai-nilai Pancasila dibandingkan pemeritah ?
Pemerintah harusnya berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan sebab di tengah situasi politik dan ekonomi yang tidak kondusif seperti saat ini bisa menjadi bumerang bagi jalannya pemerintahan Jokowi.
Apabila sebagian publik menilai bahwa penerbitan Perpu Nomor 2 tahun 2017 adalah cara Jokowi untuk membalas dendam atas kekalahan Ahok pada Pilgub DKI adalah sah-sah saja mengingat Ahok diusung oleh partai presiden dan sebagian besar partai koalisi pemerintah.
Kenapa HTI yang menjadi sasaran utama, karena HTI adalah salah satu ormas yang turut berperan aktif dalam aksi bela Islam menuntut agar Ahok dipenjara.
Jika HTI memang dianggap mengancam Pancasila sehingga pemerintah menerbitkan Perpu untuk membubarkan HTI, maka pemerintah harusnya menyadari bahwa HTI sebagai organisasi memang berhasil dibubarkan akan tetapi HTI sebagai ideologi perjuangan kader-kadernya masih ada dan terus aktif dalam menjalankan misi-misi perjuangannya ini sama halnya Perpu jokowi hanya sia-sia.
Di sinilah kenapa penulis memberikan judul pada tulisan ini "Perpu pembubaran ormas adalah ekspresi ketakutan pemerintah" sebab secara psikologis tindakan yang sia-sia akan dianggap penting bagi orang yang sedang ketakutan.
Pemerintah harusnya lebih membuang banyak energi untuk menjelaskan kepada masyarakat Indonesia khususnya umat Islam tentang beberapa kebijakannya yang dianggap anti Islam daripada terus melakukan manuver-manuver politik.
Mungkin untuk saat ini efek negatif dari Perpu Jokowi belum menunjukan ancaman yang besar bagi posisi politiknya dikarenakan Jokowi masih mendapatkan dukungan dari sebagian ormas-ormas Islam di Indonesia, akan tetapi perlahan demi perlahan semua rangkaian peristiwa ini pasti akan menjadi bom waktu.
Sekian, Wassalam