Foto Internet
BUGISWARTA.com, JAKARTA
--- Yayasan lembaga konsumen Indonesia (YLKI) menghimbau masyarakat agar
berhati-hati dan kalau perlu menunda untuk pemesanan dan/atau membeli unit
apartemen di Kota Meikarta sampai jelas status perizinannya.
“Jangan mudah tergiur dengan iming-iming dan janji
fasum/fasos oleh pengembang. Sebelum menandatangani dokumen pemesanan, bacalah
dengan teliti, dan saat pembayaran booking fee harus ada dokumen resmi, jangan
dengan kwitansi sementara,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam
relesenya Selasa (15/8/2017).
Menurutnya pemerintah perlu menindak dengan tegas, jika
perlu menjatuhkan sanksi atas segala bentuk pelanggaran perizinan dan
pemanfaatan celah hukum yang dilakukan oleh pengembang dan kemudian merugikan
konsumen.
YLKI juga mendesak
managemen Meikarta menghentikan segala bentuk promosi, iklan, dan bentuk
penawaran lain atas produk Apartemen Meikarta sampai seluruh perizinan dan
aspek legal telah dipenuhi oleh pengembang.
“Meikarta jangan berdalih
bahwa pihaknya sudah mengantongi IMB, padahal yang terjadi sebenarnya adalah
proses permohonan pengajuan IMB,” tegas Tulus.
Diketahui, Meikarta,
seolah menjadi kosa kata baru dalam jagad perbincangan di kalangan masyarakat
konsumen di Indonesia. Promosi, iklan dan marketing yang begitu masif,
terstruktur dan sistematis, boleh jadi membius masyarakat konsumen untuk
bertransaksi Meikarta. Bahkan, YLKI pun sempat memprotes sebuah redaksi media
masa cetak, karena lebih dari 30 persennya isinya adalah iklan full colour
Meikarta lima halaman penuh dari media cetak bersangkutan. Dengan nilai nominal
yang relatively terjangkau masyarakat perkotaan (Rp 127 jutaan), sangat boleh
jadi 20.000-an konsumen telah melakukan transaksi pembelian/pemesanan.
Kendati Wagub Provinsi
Jabar Dedi Mizwar, telah meminta pengembang apartemen Meikarta untuk
menghentikan penjualan dan segala aktivitas pembangunan, karena belum berizin;
promosi Meikarta tetap berjalan, untuk menjual produk propertinya.
Masih menurut YLKI, boleh
saja pihak Lippo Group menilai bahwa apa yang dilakukannya tersebut sudah
lumrah dilakukan pengembang dengan istilah Pre-project Selling. Namun, praktik
semacam itu pada akhirnya posisi konsumen berada dalam kondisi yang sangat
rentan dirugikan karena tidak memiliki jaminan atas kepastian pembangunan.
Padahal pemasaran yang dilakukan tersebut, diduga keras melanggar ketentuan
Pasal 42 UU No. 20 Tahun 2011, yang mewajibkan pengembang untuk memiliki
jaminan atas Kepastian peruntukan ruang; kepastian hak atas tanah; kepastian
status penguasaan gedung; perizinan; dan jaminan pembangunan sebelum melakukan
pemasaran.
Menurut data YLKI, sistem
pre-project selling dan pemasaran yang dilakukan oleh banyak pengembang sering
kali menjadi sumber masalah bagi konsumen di kemudian hari. Terbukti sejak
2014-2016, YLKI menerima sekurangnya 440 pengaduan terkait perumahan, yang
mayoritas masalah tersebut terjadi akibat tidak adanya konsistensi antara
penawaran dan janji promosi pengembang dengan realitas pembangunan yang
terjadi. Bahkan 2015, sekitar 40% pengaduan perumahan terjadi sebagai akibat
adanya pre project selling, yakni adanya informasi yang tidak jelas,benar dan
jujur; pembangunan bermasalah; realisasi fasum/fasos; unit berubah dari yang
ditawarkan.
“Praktik semacam itulah
yang menyerimpung komedian tunggal Mukhadly, alias Acho: janji dan promosi
pengembang tidak sesuai dengan realisasi di lapangan,” demikian Tulus Abadi.
usman
usman