Oleh
: Pahmudin Cholik Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI
Meikarta
adalah harapan baru James Riadi selaku pengembang yang sangat piawai dalam
menjalankan usaha propertinya. Tak satu pun pengusaha di Republik ini yang
tidak kenal pemilik Lippo Group ini. Apalagi saat ini. Saat di mana proyek
raksasanya sedang digeber besar-besaran dengan investasi yang berlimpah ruah.
Insting bisnisnya dikenal sangat tajam. Sekecil apapun peluang yang ada, ia
mampu membuka ruang itu dengan segala macam caranya.
Di
samping sebagai pengembang ternama, ia juga sangat akrab dengan para pemegang
kebijakan bangsa ini. Setiap berganti kekuasaan di negeri ini, nama James Riadi
selalu punya andil di dalamnya. Bahkan kepala daerah pun tak kurang yang
mewajibkan diri untuk sowan ke pengembang ternama ini sebelum turut berlaga
pada kontestasi pilkada. Itulah kemudian yang membuat usahanya selalu berjalan
baik karena hampir semua kepala daerah dibuatnya berutang budi padanya.
Saat
ini, Lippo Group miliknya, terutama proyek investasi Meikarta yang hendak
dibangunnya mendapat tanggapan minor dan perlawanan dari Wakil Gubernur Jawa
Barat, Dedi Mizwar. Bintang film yang yang beralih ke dunia politik ini
ternyata memiliki nyali yang besar. Ia ibarat David yang melawan Goliat.
Kesewenang-wenangan Lippo Group di daerah yang sedang dipimpinnya hendak dihadangnya.
Walaupun sosok bintang film yang dikenal dengan nama Jendral Naga Bonar ini ada
di posisi 02, Tak sekali pun membuat nyalinya menciut untuk berjuang.
Tidaklah
salah bila Wakil Gubernur ini dijuluki jendral Naga Bonar. Gelar Jendral itu
sejatinya mensyaratkan kewajiban padanya untuk selalu berada bersama rakyat.
Dan bagi seorang Jenderal, kepentingan rakyat haruslah lebih utama dari
koorporasi beringas yang ingin menguasai lahan penghidupan rakyat tanpa
prosedur yang benar.
Harapan
kita saat ini ada pada kepala daerah yang memiliki keberanian untuk menahan
laju pembangunan yang dilakukan para koorporasi berwatak penjajah gaya baru.
Dengan angkuh mereka menggusur pribumi sebagai pemilik sah lahan, dengan cara
yang terkadang tidak manusiawi memperlakukan pribumi demi kepentingan
kelompoknya. Ironisnya, perangkat negara seakan-akan tak berdaya menahan laju
proyek pencaplokan berkedok pembangunan yang mereka lakukan.
Melihat
itu, tampaknya persoalan bangsa ini masih saja berputar pada persoalan klasik.
Persoalan klasik yang penulis maksud adalah tidak adanya kemauan, keberanian
dan keikhlasan Kepala Negara, dalam hal ini presiden negara, yang berpikir maju
seperti Korea, China, Singapura dan Malaysia yang yang pemimpin-pemimpinnya
mendahulukan kepentingan pembangunan ekonomi rakyatnya dari tingkat yang paling
bawah.
Jujur
saja kita akui bahwa situasi bangsa ini ketika diurut dari sejak kemerdekaan
1945 sampai kita memperingati hari kemerdekaan yang 72 pada tahun ini, belum
banyak hal-hal monumental yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengantar
masyarakatnya menjadi lebih sejahtera. Keberpihakan pemerintah hanya ada pada
level elite yang setiap saat mewarnai letupan di daerah-daerah.
Contoh
yang paling mutakhir saat ini, pejabat negara yang serasa tak dianggap oleh
pengemban kelas kakap seperti Lippo Group. Harusnya Pemprov Jabar tidak sendiri
untuk berjuang. Presiden dan Wapres, dalam hal ini Jokowi-JK perlu kiranya
berpihak pada perangkat negara seperti Pemprov Jawa Barat. Jangan malah
membiarkan pengembang menjajah seenak hatinya. Hal ini sesuai dengan keterangan
kepala dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Barat Anang Sudarna yang
mengakui bahwa pembangunan kota baru bernama Meikarta belum pernah mengeluarkan
Ijin Lingkungan (Republika,8 Mei 2017)
Seharusnya,
Presiden tidak hanya membaca secara tekstual pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang
berbunyi ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat’. Ini artinya negara
wajib mempertahankan sejengkal tanah yang masuk dalam kedaulatan NKRI ini serta
tidak boleh seenaknya dikelola oleh siapapun tampa seijin pemerintah.
Janganlah
berbicara persoalan roadmap pembangunan nasional yang berkeadilan jika tidak
mematuhi peraturan sebagai rambu-rambu yang wajib menjadi acuan. Sungguh akan
berada dalam kerugian bila seorang kepala negara hanya berbusa-busa saat
berkampanye di setiap momentum pemilu bila hanya tunduk dan patuh pada
kepentingan korporasi yang tidak taat pada aturan.
Iri
hati yang baik adalah iri pada Negara maju seperti China,Malaisia, Singapura,
Jepang dan Korea Selatan yang menikmati sumber daya alamnya. Mereka benar-benar
memiliki seutuhnya atas apa yang menjadi kepunyaan mereka lalu diperuntukkan
untuk kepentingan rakyatnya. Berbanding terbalik dengan di sini.
Indonesia
disamping kekayaan alamnya dikuasai oleh asing lalu menjadikan rakyatnya
menjadi budak di negaranya sendiri. Bisa dibilang, pemimpin bangsa ini
tergolong ‘kufur nikmat’ rela atas kemiskinan dan kemelaratan rakyatnya lalu
mendewakan para penjajah menikmati kekayaan alam Indonesia,
Satu
pesan Wakil Presiden Indonesia, Muhammad Hatta yang menyatakan bahwa
pengertian dikuasai oleh negara adalah tidak berarti negara sendiri
menjadi pengusaha. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada
membuat peraturan guna kelancaran ekonomi, peraturan yang melarang pula
penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal. Dengan memaknai pesan
dari Bung Hatta tersebut, diharapkan pemimpinnya untuk konsisten atas amanah
yang terkandung dalam UUD 1945 tersebut.