Lihatlah masjid di hadapanmu
Indah bangunannya mahal harganya
Tengok dan masuklah
Reguk dan nikmatilah ratapannya
Mihrab berukir itu telah mulai lapuk
Tikar dan karpet mulai lusuh
Bukan karena lelah menyangga jiwa gemuruh
Tetapi terlalu lama tak lagi disentuh
Lihatlah masjid di hadapanmu
Ketika muadzzin mengumandangkan mutiara Ilahi
Angin menerpa sepi
Fajar berlalu mengiringi mimpi
Membalut jiwa yang telah lama mati
Masjid semakin menjerit
Takutkan diri bagai fosil
Seperti Bodobudur dan Taj Mahal
Tidakkah jiwamu bergetar
Bila seribu tahun lagi ada bocah bertanya,
“Wahai kakek, bangunan apakah yang berkubah ini?”
Dan sang kakek menjawab, “Wahai cucuku, kata orang namanya masjid.
Zaman dahulu, nenek moyang kita beragama Islam, karena mereka
tidak bersatu.”
Masjid itu menjadi fosil dan seperti yang kita lihat sekarang,
hanya sekadar tempat
Para turis kafir yang mencuci mata.
Masjid semakin menangis
Karena dibangun sekadar saksi sejarah
Fosil tanpa jiwa muru’ah!
Audzubillahi min dzaalik
*MA