Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi ketika Nabi
sedang berkhalwat di gua Hira pada malam Senin, bertepatan dengan
tanggal tujuh belas Ramadhan, tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran Al-Qur’an, Allah
menjadikan malam permulaan turun Al-Qur’an itu malam Al-Qadar yaitu
suatu malam yang tinggi kadarnya. Hal ini diakui dalam Al-Qur’an sendiri.
Tidak ada perselisihan di antara para ulama dalam
menetapkan bahwa Al-Qur’an diturunkan di malam bulan Ramadhan. Ketetapan ini
ditegaskan juga dalam Al-Qur’an sendiri. Semua ulama sepakat menetapkan yang
demikian, hanya mereka berlainan pendapat tentang tanggalnya.
Ibnu Ishaq seorang pujangga tarikh Islam yang ternama
menetapkan bahwa malam itu adalah malam tujuh belas Ramadhan. Penetapan ini
dapat dikuatkan dengan isyarat Al-Qur’an sendiri:
إنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا
أَنْزَلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ ۗ
وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِير ْ
“…Jika kamu telah beriman kepada Allah dan
kepada sesuatu yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari
Al-Furqan, hari bertemu dua pasukan.” (Q.S. Al-Anfal [8]: 41)
Dikehendaki dengan hari bertemu dua pasukan adalah
hari bertemu tentara Islam dengan tentara Quraisy dalam pertempuran Badar. Yang
demikian itu tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan tahun yang kedua
Hijrah. Dan hari Furqan ialah hari permulaan diturunkan Al-Qur’an. Maka kedua
hari itu bersatu sifatnya yaitu sama-sama pada hari Jum’at tujuh belas Ramadhan
walaupun tidak dalam setahun.
Menurut hadits Bukhari dari Aisyah r.a. berkata:
“Permulaan wahyu yang diterima Rasulullah ialah mimpi yang benar. Beliau
bermimpi seakan-akan melihat sinaran subuh dan terjadi persis seperti yang
dimimpikan.”
Sesudah itu beliau mulai gemar ber-khalwat.
Beliau berkhalwat di gua Hira, beribadah beberapa malam, sebelum beliau
kembali kepada keluarganya untuk mengambil bekal. Sesudah beberapa malam beliau
berada dalam gua, beliau kembali kepada Khadijah sekedar untuk mengambil
makanan untuk beberapa hari. Beliau terus berbuat demikian sampai datanglah haq
(kebenaran) kepadanya. Malaikat datang kepadanya lalu berkata: “iqra’
(bacalah ini).” Nabi menjawab: “saya tidak pandai membaca.” Nabi menerangkan :
“ Mendengar jawaban itu, malaikat pun memelukku sampai aku terasa kepayahan
karena kerasnya pelukan itu. Kemudian dilepaskan serta disuruh membaca lagi.
Aku menjawab seperti yang pertama. Malaikat memelukku lagi. Sesudah itu barulah
malaikat berkata:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَق
ْ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ ْ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَم ْ الَّذِي
عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ْ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَم ْ
Sesudah itu Rasulullah segera kembali pulang dengan badan
yang gemetar karena ketakutan. Nabi menjumpai Khadijah dan berkata: “Selimuti
aku, selimuti aku!” Sesudah tenang perasaannya, beliau menceritakan kepada
Khadijah apa yang telah terjadi, seraya berkata: “Saya khawatir sekali terhadap
diriku ini.” Maka Khadijah menjawab: “Tidak sekali-kali tidak, demi Allah,
Allah sekali-kali tidak mengabaikan engkau. Engkau seorang yang selalu memikul
beban orang, memberikan sesuatu kepada orang yang tidak mampu, memuliakan dan
menjamu tamu yang datang dan memberikan bantuan-bantuan terhadap
bencana-bencana yang menimpa manusia.”
Sesudah itu Khadijah pergi bersama nabi kepada Waraqah Ibn Naufal, anak dari paman Khadijah yang telah lama memeluk agama Nasrani dan
pandai menulis dalam tulisan Ibrani. Dia seorang syekh yang sangat tua dan
matanya telah buta.
Khadijah berkata kepadanya: “Wahai anak paman,
dengarlah apa yang dikatakan oleh anak saudaramu ini.” Waraqah bertanya: “Wahai
anak saudaraku, apakah gerangan yang menimpa engkau.” Maka Rasul SAW
menerangkan apa yang telah dilihat dan dialaminya.
Mendengar itu waraqah berkata: “itulah Namus (Jibril)
yang telah Allah turunkan kepada Musa. Alangkah baiknya jika aku kala itu (kala
Muhammad memulai nubuwahnya atau seruannya) masih muda dan kuat! Mudah-mudahan
kiranya diwaktu itu aku masih hidup, yaitu diwaktu engkau diusir oleh kaummu.”
Maka Rasulullah bertanya : “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab:
“Ya benar sekali.” Tidak ada seorang lelaki yang membawa seperti yang engkau
bawakan, kecuali akan dimusuhi. Jika aku hidup sampai saat itu, aku akan
menolongmu dengan sesungguhnya.” Tidak lama kemudian, Waraqah meninggal dunia
dan wahyu pun berhenti untuk sementara waktu.
Sumber :
M.
Hasbi As-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2011), hlm. 19-20.