Melawan Ketidakadilan Hukum Lewat Tulisan -->
Cari Berita

Melawan Ketidakadilan Hukum Lewat Tulisan

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kasus ketidakadilan hukum sudah menjadi hal yang tidak asing lagi bagi masyarakat. Masyarakat yang notabenenya sebagai konsumen hukum khususnya masyarakat kelas bawah tidak dapat merasakan cita rasa keadilan akibat dari kesenjangan sosial yang terjadi.

Saya bukan seorang aktivis sosial, saya bukan seseorang yang gila akan penegakan hukum maupun gila politik, dan saya juga bukan seorang mahasiswa yang bisa melawan ketidakadilan dengan melakukan banyak kegiatan, demontrasi contoh konkritnya yang ditempuh kadang berujung pada tindak anarkis dengan aparat.

Sebagai pengamat pemula saya melihat, mendengar dan mengamati antara ketidakadilan, hukum, dan politik dari sisi yang berbeda. Berbicara mengenai hukum di Indonesia saat ini maka hal yang pertama tergambar adalah "ketidakadilan", khususnya di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Kasus ketidakadilan atas hukum sudah menjadi makanan pokok bagi masyarakat ekonomi rendah.

Sungguh ironis dan miris dalam salah satu kisah hidupnya Bahtiar bin Sabang, ia harus menjadi korban dari ketidakadilan hukum dan mendekap dalam jeruji besi. Padahal setiap warga negara berhak mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum dan masih ada juga namakan asas praduga tak bersalah, semuanya nihil dan tidak membantunya karena keadilan belum sepenuhnya ditegakkan. Hukum saat ini diibaratkan dengan pisau, tajam ke bawah (masyarakat ekonomi kelas bawah) dan tumpul ke atas (masyarakat ekonomi kelas atas).

Membahas tentang keadilan tentunya kita tahu bahwa sila kelima dari Pancasila sebagai dasar negara berisi tentang "keadilan" lebih tepatnya keadilan sosial. Namun sayang tidak ada pembuktian nyata dari sila kelima itu dan hanya dijadikan sebagai sebuah simbol bagi para pelancong.

Hukum tidak berada dalam dimensi kemutlakan undang-undang, namun hukum berada dalam dimensi kemutlakan keadilan. Hukum dan keadilan adalah dua elemen yang saling berkaitan yang merupakan "conditio sine qua non", namun sayang hukum bukan lagi tempat yang kondusif untuk menciptakan keharmonisan dan keserasian sosial, bahkan hukum telah menjelma menjadi neo-imperium (penjajah baru) dimana keadilan telah tereliminasi dan hukum menjadi anarki, dengan kata lain hukum dan keadilan telah terpisahkan.

Melihat realita yang terjadi sekarang, timbul tanya dalam benak masyarakat, dimana keadilan? Namun mereka hanya mendapat jawaban dari pemerintah/aparatur hukum dengan berbagai argumentasi prosedural mengenai hukum, tanpa mereka menyadari bahwa hal tersebut adalah ekspresi ketidaktahuan hukum.

Mari merenung sejenak, tidak pernahkah kita berpikir menjadi apakah kita di zaman sekarang sekarang ini? Menjadi pahlawan atau mungkin menjadi penjajah dinegeri sendiri? Untuk saat ini, Indonesia sedang berada dalam masa-masa depresi, rakyat sengsara, penindasan terjadi dimana-mana, serta para tikus-tikus kantor berdasi yang menggerogoti uang rakyat semakin merajalela dan semakin hari jumlahnya bertambah dan wajahnya ramai di berbagai media pertelevisian yang ketika ditangkap atau saat diperiksa mereka menyunggingkan senyum lebar tanpa ada rasa bersalah. Lucu sekali!

Kekecewaan masyarakat terhadap ketidakadilan hukum semakin membuncah ketika adanya perbedaan golongan. Mereka menuntut keadilan yang seadil-adilnya, contohnya saja seseorang yang hanya mencuri uang Rp.1000 harus mendekap di dalam jeruji besi tanpa ada pembelaan, sedangkan para koruptor yang secara terang-terangan menguras uang rakyat hanya mendapat vonis ringan yang meskipun sudah berada ditahanan tapi seolah hanya berpindah kediaman saja, mereka tetap mendapat fasilitas mewah dan seolah diistimewakan.

Lalu dimana hukum yang berlaku? Dimana keadilan itu? Semua menyalahkan hukum, tapi saya membantah ini bukan salah hukum, tapi ini salah pemerintah/aparatur hukum, stop mengkambing hitamkan hukum, karena jika saja hukum itu layaknya manusia mungkin dia sudah memberontak dan berteriak dengan mengatakan "ini bukan salahku".

Bercerminlah pada Pancasila, keadilan tidak akan terwujud tanpa ada implementasi dari Pancasila. Para petinggi negara hanya menjadikan dasar negara itu sebagai hiasan yang biasa terpampang tanpa harus memahami esensi, hakikat, dan maknanya.

Melawan ketidakadilan bagi mahasiswa bukanlah hal yang sulit, mereka selalu menunjukkan aksi protesnya melalui demonstrasi. Aksi protes yang mereka layangkan hanya bisa didengar dan di lihat oleh pihak yang bersangkutan tanpa mau memahami maksudnya dan sudah dipahami pun terkadang responnya lamban.

Seperti kutipan yang saya tulis mengenai kisah Bahtiar bin Sabang, saya memikirkan betapa bahagianya hati saya dan semua yang mendambakan penegakan hukum ketika bisa mewujudkan suatu keadilan itu sesederhana dari hasil 2+2+2=6:3=2 tapi semua itu hanya sebatas khayalan.
Satu harapan kita semua lawanlah ketidakadilan dan ciptakan keadilan, kita membutuhkan keadilan, karena keadilan selalu ada namun tampak tak ada ketika semua berkata 6:2=3+3+3=9.

Sebagaimana kutipan dari Presiden Pertama Indonesia Bung Karno "Berikan aku sepuluh pemuda maka aku akan mengguncang dunia", kutipan selanjutnya dari para mahasiswa "Jika ada sepuluh mahasiswa yang berjuang pastikan saya ada diantara mereka, jika ada satu orang mahasiswa yang berjuang pastikan itu adalah saya".

Mungkin perjuangan saya untuk melawan ketidakadilan tidak sama dengan mereka tetapi saya hanya bisa mengatakan, "Berikan aku beberapa kata yang akan kurangkai menjadi kalimat yang paling mengerikan, maka aku akan menjungkir balikkan dunia",
karena mereka tidak akan pernah tahu bagaimana nasib mereka dalam tulisanku, semua aksi akan binasa kecuali perkataan yang diabadikan lewat tulisan. Karena refleksi keadilan akan abadi dalam tulisanku.

Kalimat terakhirku bagi semua yang sedang berjuang, berjuang dalam konotasi positif ya? lakukan dengan nuansa yang berbeda, salah satunya melalui tulisn. Bukankah yang diperjuangkan sama, tujuannya pun sama, tapi bila dilakukan dalam bentuk perlawanan yang berbeda maka saya pikir pencapaiannya pun berbeda. Menulis, bukankah ini sederhana? Mari beraksi melalui tulisan!

RIANI/MULIANA AMRI