Ilustrasi |
BUGISWARTA.com--Islam lewat Al-Qur’an dan Hadits
menekankan pentingnya ilmu bagi kehidupan. Allah menegaskan bahwa ilmu
merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya, termasuk malaikat.
Manusia tak berilmu itu seupa atau bahkan lebih rendah dari binatang. Akan
tetapi, jika manusia itu berilmu dan ikhlas, maka ia lebih mulia daripada
malaikat. Karena itu, Allah dan Nabi Muhammad mendorong agar umat Islam
mencari, menguasai, mengajarkan, dan mengamalkan ilmu.
Mengapa ilmu penting bagi manusia?
Hal ini tak lepas dari esensi ilmu. Ilmu merupakan kata Arab yang sudah diserap
bahasa Indonesia, merupakan perangkat lunak yang dapat menyempurnakan
manusia dan menjadi penentu kehidupannya; apakah ia berhasil atau gagal, mulia
atau rendah. Karena posisinya ini, maka ilmu itu sesuatu yang niscaya perlu
dikuasai. Perbuatan, termasuk ibadah yang dikerjakan tanpa ilmu, bukan hanya
tidak sempurna, tapi juga secara syar’i tidak diterima. Sehingga dalam beberapa
hadits yang lain Nabi menjelaskan, “Menuntut ilmu lebih utama di sisi Allah
daripada shalat, puasa, haji, dan berjihad di jalan Allah (HR. Ad-Dailami).
Sebab ibadah-ibadah di atas bila dijalankan tanpa ilmu, maka hanya sia-sia
belaka. Dari sini jelas bedanya antara orang berilmu dengan yang tidak.[1]
Menjadi jelas, bahwa ilmu merupakan
kunci sukses bagi manusia dan pembeda antara baik dan buruk. Maka wajar,
penempuh pengetahuan, ibarat orang berjalan ke surga. Sebaliknya, jika ia tidak
mau belajar, ibarat menerjunkan dirinya pada neraka atau bahaya. Karena itu,
selagi masih hidup, umat Islam dituntut terus menimba ilmu pengetahuan.
Pertambahan umur dan martabat seseorang dituntut mengembangkan pengetahuan,
sebab bila tidak maka akan tertinggal dan ditinggalkan. maka Nabi mengeajarkan
kepada kita sebuah doa yang dikutip dari Al-Qur’an, “...
Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”[2]
Betapa pentingnya
ilmu pengetahuan , maka Nabi dalam
sabdanya menegaskan bahwa menuntut ilmu itu wajib ‘ain (wajib bagi
setiap umat Islam); besar, kecil, tua, dan muda. Mengejar ilmu dalam Islam
tidak dibatasi usia dan dana. Sebab ilmu dapat diperoleh dengan beragam cara.
Zainuddin[3]
dalam syairnya mengatakan,
Aku merasa loyo dan tidak sanggup
untuk memegang kertas dan pena
setelah menulis dua ribu lembar dengan kertas dan pena.
Aku menulis dua ribu lembar dari berjilid-jilid buku
di dalamnya terangkum ilmu-ilmu makhluk tanpa cela.
Tiada ilmu yang dapat dibanggakan seseorang
kecuali yang diamalkannya.
Jika ilmu tidak diamalkan, maka ilmu itu
laksana tak pernah ada.
Ilmu laksana hiasan, yang sanggup memuliakan
pemiliknya.
Amalkanlah ilmu wahai para pencari ilmu,
karena ilmu adalah penunjuk jalan.
Aku senantiasa mengejar ilmu
sepanjang hidup selain menulisnya,
hingga aku diuji dengan kelemahan fisik dan ketuaan.[4]
Nabi tidak
merinci dan mengklasifikasi ilmu secara rigid. Namun, guna meraih
kehidupan di dunia dan akhirat secara lebih baik, seperti diisyaratkan oleh
sabda beliau, entah bersifat duniawi apalagi ukhrawi yaitu dengan ilmu. Maka
ilmu yang mesti dicari dan dikuasai adalah ilmu yang mendukung dan membawa
kebaikan, kemaslahatan, dan kemajuan umat manusia. Bukan ilmu yang membahayakan
diri, masyarakat, dan lingkungan.[5]
Oleh Muliana Amri (Staf Redaksi BUGISWARTA.com)
[1]Waryono Abdul
Ghafur, Menyikap Rahasia Al-Qur’an: Merayakan Tafsir Kontekstual (Cet.
I; Yogyakarta: ELSAQ, 2009), h. 7
[2]QS. Thaha [20]:
114
[3]Zainuddin Abul
Abbas Ahmad bin Abdud Da’im bin Ni’mah al-Maqdisi al-Hanbali. Dilahirkan di
Funduq asy-Syuyukh wilayah Nabulus tahun 575 H dan wafat di Damaskus pada tahun
668 H. Ia adalah seorang ulama sekaligus perawi hadis yang juga telah menyalin
buku Tarikh Dimasyqi karya Ibnu Asakir dan Al-Mugni karya
gurunya, Muwaffiq bin Qudamah al-Maqdisi.
[4]Abdul Fattah
Abu Ghuddah, Safahat min Sabr al-Ulama’ ‘Ala Syadaid al-Ilm wa at-Tahsil.
Diterjemahkan oleh Fatih Masrur dan Miftahul Asror dengan judul Berpetualang
Mencari Ilmu (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), h. 123
[5]Waryono Abdul
Ghafur, op. cit., h. 9