OPINI : Uang Panai dan Hujan yang Telat -->
Cari Berita

OPINI : Uang Panai dan Hujan yang Telat

Penulis : SUBARMAN SALIM

Kakak yang petani di kampung mengeluhkan hujan. Katanya, hujan turunnya telat sepuluh hari. Padi yang seharusnya sudah ditaburi pupuk, pun dibiarkan tumbuh tanpa makanan, karena air hujan yang telat turun.

Saya tanyakan ke dia, kalau hujannya telat, berarti nanamnya yang terburu-buru. Bukankah seharusnya para petani paham dengan siklus hujan? Dengan begitu, mereka seharusnya bisa mengira waktu turunnya hujan.

Kakak itu mengiyakan. Namun dia berdalih, bahwa dia mulai menanam karena petani lain pun sudah ramai-ramai mendorong traktornya. Kalau tak ikut menanam dengan jadwal yang lebih cepat dari biasa, ia bisa kehilangan kesempatan dan tak ada jalan baginya untuk mendorong traktornya lagi, karena petak sawahnya ada di tengah.

Memang sekarang semua serba cepat seperti android. Petani seperti tak punya waktu jedah. Setelah panen, mereka menumpuk jerami kering dan membakarnya. Hanya selang beberapa hari, sawah sudah diairi kembali dan traktor bekerja dan bibit baru siap ditabur, tak ada lagi waktu menyemai.

Soal hujan telat, ada yang bilang belakangan ini terjadi anomali cuaca. Hujan yang dinanti petani tak sesuai harapan, yang turun hanya gerimis tipis, yang hanya cukup untuk menaklukkan debu jalanan.

Padahal, dahulu rumusnya umum, hujan dengan volume lebat selalu turun saat tahun baru Imlek.

Sebenarnya, mereka selalu berharap irigasi cukup menyediakan air. Tapi, saluran yang satu-satunya dengan frekuensi aliran sekali seminggu, tak mampu menjangkau sawah yang jauh.

Kini, kakak yang petani tak bisa lagi berharap banyak untuk panen kali ini. Soal hujan telat itu di luar kuasa, ditambah lagi dengan pupuk menjadi masalah lain yang juga sering telat.

Padahal, khusus untuk pupuk, banyak diantara mereka yang mengutang ke rentenir atau calo. Mekanisme transaksi dibayar setelah panen.

Nah, kalau panen kali ini tidak maksimal, mereka sudah dihadapkan dengan deretan keluhan lainnya: bayar pupuk, bayar angsuran kredit motor, iuran BPJS, rokok ketengan, dan biaya beli kuota untuk putri mereka yang YouTubers.

Petani memang tak bisa lagi hidup santai seperti dulu. Mereka dikejar waktu dan biaya hidup yang kian mahal.

Soal makan, mungkin bukan keresahan, tapi bertengkar soal irigasi, pupuk langka dan tak lagi memahami siklus hujan, bukti adanya persoalan petani yang amat pelik.

Petani mungkin perlu kembali mempelajari siklus hujan. Lalu, duduk bersama membicarakan kemungkinan membuat kesepakatan uang panai untuk anak-anak gadis mereka yang mulai berumur.