Gatot Nurmantyo : Sang Jendral Santri -->
Cari Berita

Gatot Nurmantyo : Sang Jendral Santri

Oleh: Razikin Juraid
Pernyataan Panglima TNI yang memperbolehkan muslimah anggota TNI berjilbab merupakan sebuah langkah untuk mengakomodasi nilai keislaman sekaligus dapat menjadi "lem" perekat hubungan Islam dan Militer. Kebijakan Panglima Gatot adalah kebijakan berani sekaligus menyempurnakan kebijakan mantan Panglima Moeldoko yang hanya memperbolehkan muslimah anggota TNI berjilbab terbatas di wilayah Aceh.
Jika ditelusuri dalam sejarah, Islam dengan militer pernah ada pada satu fase antara kedua entitas ini memiliki hubungan yang sangat erat, lalu pada titik tertentu kemudian Islam mengalami marginalisasi.

Awal-awal Orde Baru tahun 1970-an, Ali Moertopo menganggap simbol atau idiologi Islam sebagai ide sempit dan eksklusif. Ali Moertopo memang dikenal dekat dengan kelompok nasionalis dan non-muslim, dengan kedekatan itu masing-masing kelompok punya kepentingan dan saling menjaga, kelompok nasionalis dan non-muslim seolah mendapat perlindungan untuk mempertahankan eksistensinya, sementara Ali Moertopo memanfaatkan kelompok nasionalis dan non-muslim untuk berhadapan dengan kelompok Islam yang sejak awal dicurigai oleh Ali Moertopo sebagai kekuatan yang akan mengancam kekuasaan pasca dibubarkannya PKI. Dalam konteks konfrontasi terhadap negara, Islam diposisikan sama dengan PKI, bahkan jauh lebih berbahaya.

Dalam konteks itu, dapat dimengerti apabila umat Islam menjadi kekuatan yang selalu dipinggirkan secara politik dan kemesraan yang pernah terjalin dengan militer pun retak. Umat Islam kemudian harus menanggung beban cukup berat menghadapi tiga kekuatan sekaligus, yaitu militer abangan dan non-muslim, kelompok minoritas Cina dan penganut aliran kebatinan (lihat M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik. 1999, hlm. 98).

Meskipun ada kedekatan antara elit militer dengan umat Islam pada waktu itu lebih disebabkan oleh dua hal. Pertama, kedekatan kultural, yaitu karena adanya kesamaan pemahaman menyangkut Islam. Kedekatan kultural ini bisa dilihat dari beberapa militer yang memiliki latar belakang keislaman yang yang kemudian tercermin dalam langkah dan kebijakan. Pada masa Orde lama disamping Jenderal Soedirman yang berasal dari Muhammadiyah dan aktivis Hizbulwathan, juga ada A.H. Nasution yang dianggap memiliki pemahaman dan komitmen keislaman (Salim Said dalam Genesis of Power, General Soedirman and The Indonesian Militery in Politics 1945-1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 55).

Pada masa Nasution menjabat sebagai menteri pertahanan, ia kemudian mengusulkan penanaman nilai-nilai keislaman dalam tubuh militer. Walaupun usulan tersebut mendapat banyak penolakan, akhirnya usulan tersebut direalisasikan dalam bentuk penanaman ajaran keislaman, baik menyangkut moral maupun penanaman spiritualitas Islam. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari latar belakang keagamaan Nasution yang dikenal cukup kuat ( Howard M. Federspiel dalam "The Militery and Islam in Sukarno's Indonesia" Affairs, vol. 46, No. 3. 1973). Pada masa awal Orde Baru kecenderungan tersebut semakin menguat, khususnya di lingkungan taruna, terutama pada saat Gubernur Akmil dijabat oleh Ahmad Thahir (Mayjend Ahmad Thahir menjabat 1966-1968)

Kedua, adanya kesamaan kepentingan. Kedekatan ini bersifat sementara dan lebih besifat taktis-politis. Hal ini dapat dilihat dalam kerjasama menumpas anggota PKI. Hal lain yang menunjukkan kerjasama yang dilatarbelakangi oleh kepentingan adalah kedakatan Soemitro sebagai Pangkobkamtib dengan ulama pada tahun 1970-an. Pada waktu itu pemerintah yang dimotori oleh Ali Moertopo mengajukan undang-undang perkawinan. UU tersebut mendapat reaksi keras dari pemerintah. Sementara Soemitro menawarkan UU tentang hal yang sama pada kalangan ulama. Kejadian ini mencerminkan adanya dualisme kepentingan dikalangan militer dalam menanggapi tentang undang-undang yang terkait dengan umat Islam (terkait dengan persaingan atau adanya kepentingan dikalangan militer, khususnya antara Ali Moertopo dengan Soemitro, diakui sendiri oleh Soemitro. Bahkan Soemitro merasa di adu domba antara dirinya dengan Soeharto. Hal ini dapat dilihat pada KH. Ramadhan. Soemitro dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib, jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994, hlm. 284-287).

Lebih jauh, militer pada tahun 1970-an samapi 1980-an selalu menciptakan musuh sendiri, dengan beragam isitilah untuk kemudian dihancurkan. Istilah umum yang sering dimunculkan adalah ekstrim kiri untuk menunjuk orang-orang komunis dan ekstrim kanan untuk menuduh kelompok Islam radikal (Islam Politik).

Uruian singkat diatas, memperlihatkan bahwa apa yang dilakukan Panglima Gatot Nurmantyo seolah mengembalikan "sesuatu yang hilang", yakni menanamkan nilai-nilai keislaman pada prajurit merupakan sebuah kewajiban syar'i, berjilbab adalah syari'at bagi muslimah, bukan bentuk ekstrimisme. Panglima Gatot menjiwai betul semangat Panglima Besar Jenderal Soedirman dan A.H Nasution, dari kedua tokoh itu tergambarkan jelas paduan kekuatan komitmen keislaman dan keindonesiaan. Akhirnya izinkan saya memanggil Panglima Gatot dengan "Jenderal Santri"

(*****)