NURMAL IDRUS, Direktur Nurani Strategic
Sejak naik pangkat menggantikan Joko widodo menjadi Jakarta 1, hampir dua tahun silam, Basuki Tjahja Purnama adalah harapan baru warga Jakarta. Ia seperti oase di tengah kegersangan ladang politik Indonesia yang diisi figur-figur tak mumpuni.
Kehadirannya membuncahkan harapan yang nyaris tenggelam oleh karena kepesimisan kita akan lahirnya pemimpin lurus nan tegas. Maka, ketika Ahok mengambil tongkat estafet dari Jokowi segera saja sang putra Belitung ini bisa merebut hati rakyat. Tak hanya rakyat Jakarta tetapi bahkan Indonesia.
Popularitasnya boleh dianggap di atas rata-rata alias mendekati 100 persen. Nyaris seluruh penduduk Jakarta yang masih waras pasti mengenalnya.
Hal itu juga diikuti oleh tingkat kesukaannya yang sama tinggi. Hebatnya, jalan pintas berupa penggusuran yang dipilihnya untuk menata Jakarta justru disambut antusias bahkan oleh yang menjadi korban penggusurannya.
Itu karena Ahok tak hanya sekedar menggusur tetapi juga memberikan solusi jangka panjang pada para korban penggusuran. Di lingkungan Pemda Jakarta, ia sangat disayang. Sejak kepemimpinannya berlaku insentif kinerja yang membuat pegawai Pemda Jakarta bergelimang fulus.
Di kalangan bawah, ia menjadi idola karena sering menjadi "robinhood". Ahok memaksimalkan APBD Jakarta yang triliunan itu untuk dipergunakan lebih banyak pada kegiatan sosial kemasyarakatan di ribuan lorong sempit nan kumuh di Jakarta.
Ada lebih banyak pengangguran yang kemudian mendapat pendapatan tetap karena berbagai program padat karyanya. Ia juga menjadi idola karena ketegasannya dan sikap pemberaninya.
Secara logika, Ahok hingga setahun lebih kepemimpinannya seperti tak punya lawan untuk melanjutkan pengendaliannya pada Jakarta. Survey berbagai lembaga juga menunjukkan ia sulit untuk ditaklukkan.
Elektabilitasnya di atas 40 persen atau hanya butuh beberapa digit lagi untuk menyelesaikan pertarungan dalam satu putaran. Ahok sebenarnya tinggal duduk manis menunggu hari pemungutan 17 February 2017
Ahok sebenarnya tinggal duduk manis menunggu hari pemungutan 17 February 2017 untuk membuktikan kecintaan warga Jakarta pada dirinya.
Tapi Ahok seperti memegang balon karet. Ia terus meniupkan oksigen hingga balon tak sanggup lagi menahan desakan oksigen itu. Ia seperti tak puas dengan gelembung besar yang sudah ia ciptakan.
Sayang sekali, padahal balon itu sudah membentuk pola gelembung yang sempurna. Ahok merusak posisinya sendiri. Ia seharusnya bermain aman atau menerapkan strategi bertahan ala catenaccio. Pertahanan sepakbola bak grendel yang dipopulerkan Italia itu membuat negeri ini menjadi salah satu pertahanan yang paling sulit ditembus.
Kini, Ahok telah memilih jalan politiknya sendiri.
Ia seharusnya sudah bisa tidur nyenyak untuk melanjutkan darma bhaktinya bagi Jakarta. Tapi dengan banyak kontroversi yang dipicunya sendiri, ia kini mesti terus terjaga. Dulu, Ahok saya yakini bisa menuntaskan kompetisi dalam sekali game alias satu putaran.
Hari ini, saya jadi tak yakin. Dua persoalan baginya kini. Pertama, apakah ia mampu lolos ke putaran selanjutnya. Kedua, jika pun lolos apakah dia tak akan jadi musuh bersama.Seandainya saya Ahok, saya akan memilih mengunci mulut, blusukan ke kantong-kantong suara, menebar lebih banyak program padat karya yang pro rakyat dan sementara menghentikan penggusuran.
Laporan Usman Al-Khair