Warga Desa Timusu, Lestarikan Pembuatan Gula Merah -->
Cari Berita

Warga Desa Timusu, Lestarikan Pembuatan Gula Merah

Pengelolaannya Masih Sangat Tradisional .

SOPPENG, Bugiswarta.com --Meskipun saat ini sudah memasuki abad moderen, namun pengrajin pembuat gula merah dari aren di Desa Timusu masih bisa bertahan hingga kini, dengan alat yang‎ sangat sederhana dan tradisional, bahkan segala peralatan yang digunakan umumnya adalah masih warisan orang tua leluhur mereka sehingga usianya kadang mencapai ratusan tahun.‎

Pembuat gula aren yang kini masih bisa bertahan tinggal hitungan jari, padahal tahun 90 an masih banyak dijumpai bahkan usaha ini termasuk profesi sebahagian besar penduduk Desa Timusu khususnya yang berada didaerah pegunungan berdekatan dengan Desa Umpungeng, namun perkembangan saman kegiatan ini mulai ditinggalkan dan beralih untuk berkebun cengkeh, apalagi tidak ada lagi generasi yang berminat menekuni pekerjaan ini, dan dipicu lagi pohon yang dulunya banyak tumbuh dihutan kini mulai langkah akibat penebangan liar dan lahan berubah menjadi area perkebunan cengkeh atau coklat yang nilai ekonomisnya jauh lebih tinggi.

Namun demikian masih ada mencoba bertahan salah satunya adalah Mase 60 tahun warga Dusun Lebbae Desa Timusu, yang telah menekuni profesi ini sudah puluhan tahun,selain pekerjaan sampingannya adalah bertani,Penrajin pembuatan gula aren atau dikenal profesi ini dengan nama sebutan Passari, karena bahan dasar pembuatan gula aren ini adalah air tuak yang telah disaring dari pohon enau atau Aren.

Diwaktu waktu tertentu, Mase bisa membuat gula merah sampai 20 biji perhari tergantung kondisi air tuak yang didapat, jadi produksi air tuak disetiap batang enau hasilnya pluktuasi tergantung dari musim dan kondisi enau tersebut ujar Mase,dengan dibantu oleh menantunya bernama Asse 40 tahun ia setiap hari harus memanjat batang enau untuk melakukan penjaringan atau penyadapan air tuak  5 sampai 7 batang enau perhari‎.

Pekerjaan ini sungguh sangat beresiko karena pohon enau rata rata punya ketinggian 10 meter dari permukaan tanah, usai lagi disaring atau disadap hasilnya diangkut lagi ketempat penampungan yang telah disiapkan namanya tungku sebagai alat untuk memasak air tuak tersebut dan didalam tungku besar tersebut dimasak dengan bara api dari kayu hingga berjam jam dan cukup lama hingga 5 sampai 6 jam sampai berubah warnanya ‎ kemerahan kemudian setelah kental dimasukkan lah dalam bentuk cetakan yang terbuat dari kayu dan jadilah gula merah yang siap dipasarkan ukurannya bermacam-macam, tapi umumnya dalam setiap tiga butir beratnya 1 kg.dan rasa gula merah ini sangat manis sehingga soal rasa dan kualitas tak diragukan lagi maka ia cukup dikenal.

Cara pembuatannya sangat rumit dan butuh tenaga yang extra,tapi hasilnya kadang tak sebanding dengan resiko yang ada, tapi kata Mase ‎tapi apa mau dikata tidak ada pilihan lain sementara mereka punya anak cucu mau juga sekolah terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari hari keluarga apalagi harga gula merah saat ini turun pedagang hanya pasang harga maksimal  10 ribu per kg dan setiap kg itu naik sampai tiga butir dan setiap harinya hanya bisa produksi 6 sampai 7 kg jadinya rata mereka hanya bisa bawa pulang 70 ribu mulai dari pagi hingga malam ujar Mase,

Dan ia berharap pihak pemerintah bisa membantu mereka dalam hal pemasaran karena kalau hanya melalui pedagang pengumpul harganya murah,ia juga berharap mereka bisa mendapatkan bantuan untuk pengadaan tungku yang besar, karena yang dimiliki sekarang ukurannya kecil dan hanya kapasitas 20 liter,sehingga produksinya juga terbatas kata Mase penuh harap‎ , Sementara Kepala Desa Timusu Firdaus mendengar keluhan warganya mereka bersedia membantu untuk mencarikan pengadaan tungku yang lebih besar sehingga nantinya bisa melakukan produksi hingga 15 kg perhari

Laporan : Usman