Rizqi Awal, CEO Yayasan Sahabat Padjadjaran, Founder Dakwah Islam.
Ada seonggok anekdot baru yang lahir dari Reshuffle Kabinet, khususnya dalam tataran teknis yaitu 'Ganti Menteri Ganti Kebijakan'. Gagasan yang lahir dari Muhadjir Effendy (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) yaitu menerapkan sistem full day school. Alasannya ialah agar sang anak tidak sendiri di rumah saat orang tuanya bekerja.
Penerapan Full day school, adalah kebijakan yang juga membuat anak-anak khususnya SD dan SMP, menjadi kehilangan waktu mereka yang lainnya. Kenapa pemikiran ini lahir? Karena sejatinya, sekulerisasi di bidang pendidikan yang memaksa anak-anak bekerja keras menjadi "pintar" tanpa daya dukung agama di dalamnya.
Menurut etimologinya, kata full day school berasal dari Bahasa Inggris, yang terdiri dari 'full' atau 'penuh', dan 'day' yang artinya 'hari'. Jadi, 'full day' mengandung arti 'seharian penuh'. Adapun 'school' artinya 'sekolah'. Maka, dilihat dari etimologinya arti dari 'full day school' berarti sekolah atau kegiatan belajar yang dilakukan seharian penuh di sekolah.
Adapun dalam terminologinya secara luas, full day school mengandung arti sistem pendidikan yang menerapkan pembelajaran atau kegiatan belajar-mengajar sehari penuh. Sistem ini memadukan pengajaran intensif, yakni menambah jam pelajaran untuk pendalaman materi pelajaran dan pengembangan diri dan kreatifitas anak didik.
Perlu diperhatikan pula, Full day school akan mengundang Kapitalisasi dibidang pendidikan yang baru. Dari penyediaan makan siang, penambahan alat bantu pendidikan yang baru bahkan bisa jadi penerapan full day school akan mengundang cara ajar dan basis kurikulum yang baru pula.
Selain itu, full day school akan menghambat perkembangan anak-anak untuk komunikasi di masyarakat. Sebab waktu mereka akan habis di sekolah nantinya. Apalagi ditambah biasanya pengerjaan PR dari guru-guru yang justru mengurangi waktu tidur mereka. Anak-anak akan hilang waktu belajar ngajinya utamanya pendidikan islam, sebab di sekolah pun dirasa kurang. Selain itu, masa bermain anak-anak itu otomatis berkurang.
Bisa dibayangkan, sepulang sekolah sore hari anak-anak didik itu akan kelelahan. Rumah hanya menjadi tempat istirahat, karena tak banyak waktu lagi untuk bercengkerama dengan keluarganya, terutama jika orang tuanya yang juga terdiri dari manusia-manusia supersibuk. Bukankah sekolah terbaik itu ada di dalam rumah dan keluarganya? Itulah ongkos yang harus dibayar oleh anak-anak didik.
Kembali pada argumentasi dimula, pemikiran seperti ini lahir dari sistem kehidupan yang tidak merujuk kepada islam. Maka, pada hakikatnya semua dicari solusi yang sesungguhnya melahirkan masalah baru. Akarnya dahulu harus dituntaskan baru cabang-cabangnya. Begitulah seharusnya. Yaitu pembenahan secara sempurna sistem yang dianut negeri ini. Dengan mengembalikannya kepada islam. Baru kita bicara teknisnya yang sesuai Quran dan Sunnah.
(Usman Al-Khair)