Bugiswarta.com - Salah satu poin penting dari kebijakan pemerintah yang diamanahkan dalam Nawacita adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat posisi Desa,
Cita-cita pembangunan nasional ini patut diapresiasi sebagai sebuah langkah penting dan strategis, sebab dari aspek demografi sebagian besar rakyat Indonesia berada di desa, dari aspek geografis desa di Indonesia memiliki keanekaragaman sumber daya alam yang melimpah, namun belum dioptimalkan pengelolaannya, serta dari sisi geopolitik menjadi basis suara rakyat yang sesungguhnya.
Afirmasi yang menempatkan Desa sebagai fokus pembangunan nasional pun telah terimplementasi dari alokasi pendanaan yang cukup besar utamanya bila dilihat dari aspek peningkatan alokasi dana Desa, dimana untuk tahun 2016 mengalami kenaikan yang cukup fantastis yakni sekitar 125% (dari Rp.20,1 triliun tahun 2015 meningkat menjadi Rp 47 triliun pada tahun 2016).
Paradoks bahwa dana desa yang mensyaratkan adanya RPJM Desa dan RKP Desa tidak sesuai antara harapan dan kenyataan. Kesan ketergesa-gesaan dalam mempersiapkan berkas administrasi untuk penyaluran dana desa menyebabkan RPJM Desa dan RKP Desa disusun tidak sesuai harapan.
Atas nama penyerapan dana desa, RPJM Desa, dan RKP Desa tidak lagi disusun secara partisipatif yang melibatkan warga desa, melainkan top down (bahkan menggunakan konsultan). Keinginan untuk transparansi jauh dari harapan. Sebaliknya, RPJM Desa dan RKP Desa hanya diketahui oleh segelintir orang desa. Alhasil, akuntabilitas diragukan dan korupsi dana desa adalah keniscayaan.
Seiring dengan pencairan dana desa tahun anggaran 2016, hampir semua desa di Kabupaten Soppeng telah menyusun APBDES serta telah melakukan penarikan dana dari rekening kas desa masing-masing. Sejalan dengan pencairan dana desa tersebut,
pemerintah juga berupaya mengawal dan memudahkan pemerintah desa mengelola dana itu dengan merekrut pendamping lokal desa maupun tenaga pendamping profesional lainnya yang dalam waktu dekat telah mulai bekerja dalam mendampingi masyarakat agar pelaksanaan pembangun didesa bisa terwujud sesuai dengan yang direncanakan.
Untuk optimalisasi pendampingan bagi masyarakat desa, pemerintah menempatkan tenaga Pendamping Lokal Desa (PLD) dengan posisi 1 (satu) orang PLD mendampingi 2 sampai 3 desa, PLD ini yang nantinya langsung mendampingi pemerintah dan masyarakat desa dalam melaksanakan pembangunan didesa yang berbasis masyarakat serta mengutamakan potensi lokal yang bisa dimanfaatkan demi tercapainya tujuan pembangunan yang partisipatif, akuntabel, transparan dan berkualitas.
Dari uraian tersebut diatas, maka tugas berat bagi para pendamping lokal desa adalah merubah pola pikir, paradigma dan mendorong masyarakat agar benar-benar berperan aktif dalam melaksanakan pembangunan dalam segala bidang, serta menerapkan sistem pengelolaan keuangan desa yang transparan bagi pemerintahan desa,
Hal tersebut menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi PLD mengingat karakter masyarakat (khususnya diwilayah penulis) yang mulai ‘cuek’ terhadap kegiatan pembangunan yang dilaksanakan didesanya. Selain itu, menerapkan sistem pengelolaan keuangan bagi
pemerintah desa juga menjadi sebuah tantangan berat, sehingga pendamping harus benar-benar profesional dalam melaksanakan tugasnya dilapangan.
Menerapkan sistem pengelolaan keuangan desa yang bersih dan transparan bukanlah hal mudah, mengingat sistem tatakelola dana desa kali ini merupakan hal baru yang samasekali belum pernah dilakukan oleh pemerintah desa pada tahun sebelumnya.
Sebagai gambaran bagi kita, sistem pengelolaan keuangan desa yang selama ini terjadi khususnya didesa domisili penulis, bisa dikatakan masih belum memenuhi unsur transparansi, contohnya adalah Alokasi Dana Desa (ADD) bersumber dari pemerintah daerah dan Dana Desa (DD) yang bersumber APBN.
seharusnya tahapan pencairan dan pengelolaan dana harus diawali dengan musyawarah desa yang dihadiri berbagai unsur termasuk masyarakat, tapi yang terjadi adalah musyawarah yang terkadang dilakukan oleh beberapa pihak saja, bahkan ada yang sama sekali tidak bermusyawarah dalam pengambilan keputusan, sehingga banyak masyarakat yang tidak mengetahui jika setiap tahun ada dana yang dikucurkan oleh pemerintah bagi desanya.
Gambaran tersebut hanya perbandingan agar kita dapat mengukur bahwa sistem pengelolaan keuangan desa masa lalu dan masa sekarang sangatlah jauh berbeda, maka diperlukan pendampingan dan kerja keras serta niat baik dari semua elemen, agar sistem yang baru ini benar-benar bisa mewujudkan pengelolaan keuangan dan pelaksanaan pembangunan desa yang jujur, demokratis, bersih, transparant dan bertanggungjawab dalam rangka mencapai cita-cita pemerintah yaitu menjadikan desa yang mandiri dalam berbagai sektor.
Prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas diformalkan dengan lebih jelas dan tegas. Dalam PP 43 / 2014, Pasal 126 ayat 1 yang merumuskan tujuan Pemberdayaan masyarakat Desa adalah untuk memampukan Desa dalam melakukan aksi bersama sebagai suatu kesatuan tata kelola Pemerintahan Desa, kesatuan tata kelola lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat, serta kesatuan tata ekonomi dan lingkungan. Dengan tujuan seperti itu, pendamping desa akan menghadapi tantangan yang lebih kompleks.
Jika di PNPM dulu hanya bersinggungan dengan sisi luar aktifitas pemerintahan desa. Penyusunan perencanaan pembangunan desa hanya selesai sampai tahap formalisasi RPJMDesa dan RKPDesa. Sampai disini, PNPM dan desa berjalan sendiri-sendiri. Tidak pernah ada sinkronisasi rencana kerja anggaran pembangunan desa melalui APBDes.
Pada saat selesai penganggaran di MAD Penetapan Usulan, Fasilitator PNPM juga hanya fokus pada kegiatan yang didanai PNPM. Begitu juga pemantauan Tim Monitoring juga hanya fokus pada kegiatan PNPM. Tidak pernah ada pengawasan terpadu atas pelaksanaan pembangunan di desa.
Fasilitator PNPM memang tidak bisa masuk terlalu jauh ke dalam sistem pemerintahan desa karena itu tidak diperintahkan PTO. Konsep integrasi juga hanya sampai pada dokumen RPJMDesa dan RKPDesa. Upaya mengawal penyusunan APBDesa seperti mengorek sumber dan besaran pendapatan desa seperti mencari masalah, apalagi mempertanyakan alokasi hingga penggunaanya. Tindakan seperti itu bagi Fasilitator PNPM akan dianggap telah mengobok-obok desa. Begitulah keterbatasan wewenang pendamping teknis.
Berbeda dengan pendamping desa. Pada saatnya nanti, pendamping desa akan jauh melampaui Fasilitator PNPM. Mereka nantinya harus masuk lebih jauh kedalam tatakelola pemerintahan desa. Memastikan pemerintah desa, BPD, Lembaga Kemasyarakatan dan komponen desa lainnya, mengambil peran secara maksimal dalam kerangka pemberdayaan masyarakat. Pasal 127 PP 43 / 2014 memberikan arahan lebih detail. Pendamping desa harus mengawal penyusunan perencanaan dan penganggaran yang berpihak kepada kepentingan warga miskin, warga disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok marginal; Jika Pendamping PNPM hanya fokus pada penganggaran BLM saja, maka pendamping desa harus mengawal konsolidasi keuangan desa melalui APBDesa.
Sumber pendapatan desa, mulai dari PADesa, ADD dari APBD, DD dari APBN, bagi hasil pajak dan retribusi, serta berbagai sumber pendapatan lainnya harus dikelola secara transparan dan akuntabel melalui APBDesa. Bukan hanya memastikan pembangunan desa dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, namun juga penyelenggaraan pemerintahan desa juga harus demikian. Lebih dari itu, juga harus dikembangkan sistem transparansi dan akuntabilitas tata pemerintahan desa.
Pendamping desa juga memegang peran penting dalam mendorong pendayagunaan lembaga kemasyarakatan Desa dan lembaga adat. Bukan tugas yang mudah, karena selama ini dibanyak tempat, lembaga kemasyarakatan seakan hanya lembaga papan nama saja. Kondisi ini terjadi karena memang lembaga kemasyarakatan di desa tidak pernah mendapat sentuhan. Di PNPM Perdesaan, LPM, salah satu lembaga kemasyarakatan ini baru disentuh setelah konsep integrasi digaungkan pada awal 2011.
Dalam menguatkan lembaga kemasyarakatan ini, Pasal 98 UU Desa menegaskan, Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan lembaga non- Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa. Tidak kalah penting, pendamping desa juga dituntut mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan Desa yang dilakukan melalui musyawarah Desa. Kebijakan-kebijakan strategis yang berkaitan dengan desa, utamanya pengelolaan pembangunan desa, harus dipertanggungjawabkan melalui musyawarah desa.
Selanjutnya, Pendamping desa juga bertugas mendorong pengawasan dan pemantauan penyelenggaraan Pemerintahan desa dan pembangunan Desa yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat Desa. Pengawasan secara kelembagaan menjadi tugas utama BPD dan secara partisipatif menjadi hak dan kewajiban masyarakat desa.
Karena itu mendorong penguatan fungsi BPD UU Desa Pasal 61, BPD berhak mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan desa kepada Pemerintah Desa. BPD juga berhak menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Hak-hak inilah yang harus dikuatkan oleh pendamping desa. Kepala desa memang pemegang kuasa atas pengelolaan keuangan desa, namun UU Desa juga memberi ruang kepada BPD untuk terus terlibat dalam pengambilan keputusan strategis.
RPJMDesa,RKPDesa dan APBDesa adalah dokumen strategis yang ditetapkan dengan melibatkan
BPD. Pada tahap selanjutnya, pendamping desa bahkan dituntut untuk melakukan penyadaran kepada masyarakat desa akan hak dan kewajibannya sebagai warga desa. Pada tahap ini, pendamping desa harus memerankan diri sebagai community organizer yang harus jeli membaca fenomena hubungan sosial antar kelembagaan dan masyarakat. Untuk itulah, UU Desa Pasal 68 merinci hak dan kewajiban masyarakat desa.
Sejalan dengan penguatan kelembagaan dan penyadaran masyarakat desa, paradigma pemerintah desa juga harus dirubah. Dominasi pemerintah desa yang terlalu kuat dalam hubungannya dengan kelembagaan desa, harus mulai ditata ulang.
Kita tahu,salah satu kompenen yang mendesakkan aspirasi dana desa dari APBN adalah Asosiasi Kepala Desa (AKD), karena itu jangan sampai UU Desa hanya dipahami dana desanya saja. Pemerintah desa harus memahami bahwa essensi pengaturan desa sebagaimana pasal 4 UU Desa adalah membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab.
Itulah sekilas tantangan kerja-kerja pendampingan era UU Desa. Dibutuhkan tidak hanya sekedar ketrampilan teknis fasilitasi, melainkan juga kemampuan membaca hubungan sosial yang terbingkai dalam kesatuan masyarakat hukum yang bernama desa. Untuk itu dibutuhkan kerja sama seluruh unsur masyarakat Desa agar visi misi UU Desa dapat terwujudkan.
Tulisan ini sengaja penulis buat, untuk memberikan pencerahan kepada seluruh masyarakat agar dalam proses pendampingan Desa tidak lagi terjadi tumpang tindih dan setiap pihak yang berhubungan langsung dengan pemerintahan Desa dapat memahami tugas dan tupoksi pendamping desa.
Oleh : Rusdianto Sudirman / Pendamping Lokal Desa
Editor: Jumardi