Penangkapan Bahtiar bin Sabang, Menuai Protes dari Aktivis Sinjai -->
Cari Berita

Penangkapan Bahtiar bin Sabang, Menuai Protes dari Aktivis Sinjai

SINJAI, Bugiswarta.com -- Sejumlah Aktifis Sinjai angkat bicara terkait penangkapan paksa aktivis masyarakat adat bahtiar bin sabang di rumahnya,hal ini di ungkapkan dalam pernyataan sikap aliansi masyarakat adat nasional (AMAN) sesuai rilis yang dikirimkan A.syarifuddin kepada awak bugiswarta.com,3/4/2016 

Bahtiar bin Sabang dijemput paksa tujuh personil Polisi dari Polres Sinjai di rumahnya, Desa Turungan Baji, Sinjai Barat, Sinjai, pada 13 Oktober 2014. 

Polisi beralasan penjemputan karena Bahtiar tidak mengindahkan dua kali pemanggilan. Bahtiar berdalih, menolak pemanggilan polisi karena merasa tidak bersalah. Dia mengakui menebang beberapa pohon, namun berada di kebun dia sendiri yang menanam. 

Pohon itu ditebang karena menghalangi tanaman di kebunnya, Itupun dulu dia sendiri yang tanam. Sejak 1995, kawasan hutan Turungan Baji diambil alih oleh pemerintah dan dijadikan sebagai hutan pinus. Sejak saat itu akses masyarakat terhadap hutan mulai dibatasi. Belasan warga menjadi korban kriminialisasi Disbunhut dan kepolisian. 

Selama ini, Disbunhut Sinjai mengklaim HPT di enam desa, antara lain Turungan Baji, Terasa, Bonto Salama, Bontokatute, Sao Tanre dan Gunung Perak. Sejak 1994, upaya kriminalisasi warga terjadi belasan kali. Korban lain, kepala dusun di Desa Terasa meninggal minum racun setelah ancaman penangkapan dari polisi hutan 2007. 

Terakhir, Najamuddin, Warga Tassosso, Desa Gunung Perak, Kecamatan Sinjai Barat, vonis lima bulan dan denda Rp1 juta karena menebang dua pohon di kebun sendiri.

 Keluarga Bahtiar sempat mengajukan penangguhan penahanan, namun tidak dikabulkan. Ada kejanggalan kala persidangan 12 Februari 2015, seorang saksi pelapor, Katu memberi kesaksian berbeda dengan BAP. Dalam BAP, melihat langsung Bahtiar menebang pohon dan hanya dalam satu waktu. "Saya tidak melihat langsung," katanya setelah dicecar pertanyaan Majelis Hakim.

Ketika diminta kejelasan kedua kesaksian berbeda, Katu terdiam dan refleks menepuk tepuk jidat setengah bergumam namun terdengar jelas peserta sidang."Duh susah karena kita sudah disumpah." ucapnya

Sempat ditahan selama beberapa bulan Rutan kelas III Sinjai, pada 6 Februari 2015, lalu menjadi tahanan rumah.

Kasus Bahtiar ini menggugah solidaritas banyak pihak. Pada 12 November 2014, Kontras, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, Walhi, Anti-Corruption Committee (ACC), Kontras, Agra, LBH Makassar dan Jurnal Celebes menggelar jumpa pers bersama mengecam penangkapan ini.

Sejumlah aktivitis dan komunitas adat dari berbagai daerah juga menaympaikan solidaritas melalui Facebook menuntut pembebasan Bahtiar.
Dukungan lain ditunjukkan ratusan mahasiswa, warga komunitas adat di Sinjai dan aktivis tergabung dalam Gertak yang ke jalan dan teaterikal 26 November 2014.

Banyak kejanggalanNursari, kuasa hukum Bahtiar, juga Kordiantor Biro Advokasi Hukum AMAN Sulsel, Melihat banyak kejanggalan dalam kasus ini, mulai penangkapan sampai persidangan. Dakwaan dari awal UU Kehutanan, berubah menjadi UU P3H.

Hal lain, pemeriksaan tak didampingi kuasa hukum hingga memungkinkan terdakwa memberi keterangan di bawah tekanan. "Kemudian banyak fakta terungkap di persidangan tidak sesuai BAP."
Polisi berdalih, katanya, tindakan itu karena berkas perkara segera dilimpahkan ke Kajari Sinjai hingga tak sempat menghubungi kuasa hukum tersangka.

"Ini tidak sesuai ketentuan hukum pidana dan melanggar fair trial. Pemeriksaan tanpa dihadiri atau konfirmasi ke kuasa hukum tersangka bertentangan dengan hak tersangka sebagaimana dalam ketentuan-ketentuan hukum acara."
Kejanggalan lain, status hutan lokasi perkara ternyata masih 'penunjukan' belum penetapan.

‎Bagi Nursari, kawasan hutan berstatus "penunjukan" seharusnya tidak memiliki kekuatan hukum. Begitu juga tapal batas ternyata baru akan diusulkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. "Ini menandakan, batas kawasan hutan masih bermasalah."paparnya

Penolakan permohonan penangguhan penahanan atas Bahtiar dinilai Nursari sebagai bukti adanya intervensi dari luar terait kasus ini. "Ini pesanan."
Belum lagi, keterangan saksi pelapor berubah-ubah, berbeda dengan BAP, serta diizinkan staf Disbunhut Sinjai sebagai saksi ahli."Ini seperti jeruk makan jeruk." terangnya

UUP3H rawan kriminalisasi
Setelah mengikuti dan menjadi saksi ahli dalam persidangan Bahtiar, kata Sandra, dia menyimpulkan beberapa hal.

Pertama, meneguhkan hasil temuan inquiri nasional masyarakat adat bahwa persoalan penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat terganjal kinerja dan political will pemerintah daerah.

"Jadi Pemda Sinjai memang tidak pernah inventarisasi dan penyidikan keberadaan syarat hukum adat dan wilayah adat."
Kedua, dari kasus ini terlihat pemda, termasuk polisi dan jaksa masih melihat, kawasan hutan belum dikukuhkan itu defenitif.

Ketiga, kasus Bahtiar ini menyakinkan dia memang UUP3H mudah dimanfaatkan untuk kriminalisasi masyarakat. Karena pasal-pasal, membenarkan praktik ini, tidak mengoreksi problem dasar pelanggaran HAM dari kawasan hutan.

Komnas HAM, katanya, telah merekomendasikan semua pemda serius membuat produk hukum penghormatan dan perlindungan masyarakat adat.

"Pengakuan ini harus melalui proses benar dengan melibatkan masyarakat adat. Pengakuan harus dibarengi pendaftaran wilayah masayarakat adat di kantor BPN dan di KLHK."

Armansyah Dore, pengurus AMAN Sulsel, menyambut baik kesiapan Komnas HAM menjadi saksi ahli dalam kasus ini.

IZHAR