Cerpen : Kujalani Kerasnya Hidup -->
Cari Berita

Cerpen : Kujalani Kerasnya Hidup

Penulis Husnul Khatimah (Nunu)

Sebelum matahari terbit dari ufuk timur, sebelum suara adzan berkumandang, dan sebelum ayam berkokok riang, saya sudah terbangun dari tempat tidurku. Tempat tidur yang hanya beralaskan kardus bekas yang kupungut diseberang jalan. Kuterbangun karna paksaan keadaan. 

Dan seperti biasanya, setelah bangun tidur, saya langsung mandi dan menuju jalan raya. Berangkat dengan penuh harapan untuk mendapatkan balas kasih dari orang.

Matahari belum lama terbit. Namun lalu lintas diperempatan jalan sudah mulai memadat. Dan seperti biasanya, segerombolan pengemis dan pengamen mulai mengerumuti mereka. Saya yang juga ikut mengamen seperti yang lainnya dengan penuh semangat dan harapan mengetuk pintu-pintu jendela mobil terdekat. Menunggu uluran tangan dari mereka.

‎Menunggu 1000 atau 2000 dari orang orang. Tanpa memperdulikan mereka memberikannya karna kasihan, marah, atau jengkel karna kehadiranku. Yang terpenting saya bisa mendapatkan uang dari mereka.

Sebelum lampu merah padam, dan sebelum lampu hijau menyala, saya sudah berada dipinggir jalan. Menghitung banyaknya uang yang kudapat dari mereka. Sesekali kuteringat akan hadirnya kesenangan. kuteringat akan hadirnya sosok ayah dan ibu. Membayangkan akan hilangnya segala kegelapan yang telah lama kualami. 

Membayangkan akan adanya cahaya yang menerangi kegelapanku.
Namun, tiba-tiba fikiran saya musnah. Suara berderai dari sekelompok anak-anak memakai seragam putih abu-abu itu telah memusatkan perhatianku. 

Canda dan tawa mereka telah membuatku iri kepada mereka. Ingin rasanya kuikut dengan mereka. Bergabung dengan mereka dengan menggunakan seragam putih abu –abu yang bisa kuajak tertawa. Seringkali pula kumeninggakan mereka karna rasa iri terhadap mereka.

‎Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun telah kujalani dengan mengais rezeki dari balas kasih dari seseorang. Jujur, kutak pernah mengharapkan balas kasihan dari mereka. Namun apalah daya, masalah perekonomian telah memaksakan saya untuk melakukan hal itu. Kuhanya bisa menjalani hidupku ini yang jelas jelas tak akan ada cahaya jika kumenjalaninya.

Hingga pada suatu hari, kumerasa lelah menjalani hidupku. Kumencoba untuk merubah nasibku. Kubangkit dari kegelapanku dan mencari cahaya hidupku. Sebuah sekolah gratis membuatku melangkah. Sebuah sekolah itu tak jauh dari dari gubukku. Saya masuk dan belajar. 

Mempelajari banyak hal dan membuatku terus melangkah dan melangkah. Kini cahaya mulai menerangi gelapku. Hasil dari pembelajaranku di sekolah gratis itu kukembangkan dan kuteruskan. Kini hidupku telah berubah.

Kini kumampu menjadi seorang guru. Seorang guru yang mengerti akan kerasnya hidup. Kerasnya hidup yang telah kualami, membuatku peduli dengan orang orang dibawahku. Mungkin kubelum mampu menjadi yang terbaik. Namun itu sudah cukup untuk kujadikan modalku. 

Sekarang kumengerti bahwa sekeras apapun hidup, itu bisa hancur jika kita berusaha, bangkit, dan yakin bahwa kumampu menghancurkan benteng kegelapan yang telah terbangun dengan kokoh.

Usman