OPINI : MK (BUKAN) MAHKAMAH KALKULATOR -->
Cari Berita

OPINI : MK (BUKAN) MAHKAMAH KALKULATOR

Rusdianto Sudirman, SH, MH. Pengamat Hukum Tata Negara

Pilkada serentak di 269 daerah tingkat kabupaten/kota maupun provinsi pada 9 Desember 2015 lalu menyisakan pekerjaan rumah berupa perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi. Dari data di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Ada 147  laporan gugatan hasil pelaksanaan Pilkada Serentak yang diterima MK yang berasal dari 132 daerah.

Berlakunya Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No.5 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PMK No.1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Hasil Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati justru mempersempit ruang gerak MK dalam penanganan perkara sengketa Pilkada. Lembaga konstitusi itu belakangan tak lagi menangani perkara dari sisi prosedur, namun juga substansi.

Mestinya, dalam memproses perkara sengketa Pilkada secara utuh, MK bukan semata memproses persoalan perselisihan suara, namun juga penyebab adanya perselisihan dalam perolehan suara.. MK harusnya memerikasa apakah proses pilkada sudah sesuai dengn prinsip dan asas pilkada yang diatur dalam konstitusi, serta memperhatikan persoalan pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif (TSM). PMK No.5 Tahun 2015 memiliki banyak persoalan, PMK tersebut dibuat sebagai tafsir dari Pasal 158 UU No.8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Padahal dalam UU Pilkada terdapat hal yang tidak jelas, seperti rujukan terhadap hasil putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Oleh MK, putusan KPU diterjemahkan hanya menangani persoalan perselisihan perolehan suara antara pemohon dengan termohon.

Dari sekian daerah yang bersengketa, ada beberapa daerah yang mengalami kejadian khusus. Ambil contoh konkret Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Perbedaan suara antara pemenang dan peraih suara terbanyak nomor dua hanya 819 suara dari 101.181 suara sah. Perinciannya, pemenang pertama mendapat 38.726 suara (atau 38,27 persen dari total suara sah), pemenang kedua 37.907 (37,66 persen), dan pemenang ketiga 24.548 (24,26 persen). Perbedaan suara antara pemenang pertama dan kedua 38,27 persen - 37,66 persen = 0,61 persen. Karena penduduk Kabupaten Barru kurang dari 250 ribu maka selisih persentase yang diperbolehkan adalah 2 persen. Dengan demikian, pemenang kedua masih memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan. 

Namun, bila menggunakan penghitungan sesuai Peraturan MK, selisih suara yang dibolehkan untuk mengajukan permohonkan hanya 775 suara. Cara menghitungnya, 38.726 (suara terbanyak) x 2 persen (selisih persentase yang diperbolehkan) = 775 suara. Dengan demikian, pemenang kedua, yang berselisih 819 suara dengan peraih suara terbanyak, tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan.  Padahal, perbedaan 819 suara tersebut termasuk kecil. Perhitungan suara ulang di dua TPS saja bisa berpengaruh terhadap hasil Pilkada.

MK tidak boleh menangani perkara sebatas perselisihan hasil suara dalam Pilkada, namun lebih ke persoalan proses mendapatkan suara hasil Pilkada. Misalnya, MK harus berani  menguji proses hasil perhitungan suara yang diperoleh pemohon dan termohon. Besar kemungkinan pihak termohon dalam sengketa Pilkada di MK menggunakan cara yang tidak sesuai prosedur. Misalnya, termohon merupakan petahana yang menggunakan instrumen fasilitas saat masih menjabat kepala daerah, yakni menggunakan dana bantuan sosial (Bansos), birokrasi, politik uang, pegawai negeri sipil (PNS) yang dimobilisasi untuk memilih petahana. Cara seperti itu dinilai telah melanggar dan hasil suara layak dinyatakan tidak sah. Oleh sebab itu, MK tidak hanya menguji selisih perhitungan suara, namun juga cara perolehan suara. MK harus berani mengadili persoalan prosedur untuk memberikan keadilan substantif. Jadi MK harus membuka diri untuk mempersoalkan proses pelaksanaan Pilkada yang tidak sesuai konstitusi.

 PMK No.5 Tahun 2015  memberikan kewenangan hanya menangani sengketa perselisihan suara paling banyak 0,5-2 persen, Adanya PMK No.5 Tahun 2015 justru mempersempit ruang gerak pemohon dalam menguji perolehan hasil suara secara terbuka di MK. Ini menjauhkan dari keadilan yang diinginkan pemohon, ketentuan aturan perselisihan suara 0,5-2 persen hanya upaya MK membentengi diri dari penanganan sengketa Pilkada. Itu akibat kasus mantan Ketua MK Akil Mochtar terkait penanganan kasus sengketa Pilkada pada tahun 2013 lalu.

Selain itu MK dinilai mencoba meminimalisasi kemungkinan kasus sengketa Pilkada masuk untuk ditangani. Padahal secara hukum bila membatasi pihak pemohon berdampak pada keadilan yang semakin sempit, olehnya itu MK harus berpikir lebih ke substantif pemenuhan keadilan dan demokrasi. Kemudian berpikir progresif dalam menafsirkan UU, bukan konservatif. UU itu bermasalah, tetapi kalau tafsirnya progresif kemungkinan yang buruk bisa diminimalisir. penyebab instrumen dalam memperoleh suara pemohon dan termohon mesti dikaji lebih mendalam oleh MK. Bukan tidak mungkin bakal terjadi banyak kecurangan dalam memperoleh suara di Pilkada. Kecurangan itulah yang menyebabkan perolehan suara menjadi tidak sah. Kalau MK menutup pintu proses pengujian tahapan perolehan suara yang berlaku jujur dan adil, maka yang terjadi akan memberikan citra negatif bahwa MK hanyalah Mahkamah Kalkulator. 

MK tak boleh menjadi ‘Mahkamah Kalkulator’. Jika MK hanya menjadi Mahkamah Kalkulator, maka akan mengabaikan proses sebelumnya dalam memperoleh suara Pilkada. Bukan menjadi rahasia umum, proses Pilkada masih diwarnai dengan kecurangan yang dimungkinkan dilakukan oleh peserta maupun penyelenggara. Kita mendorong supaya MK masuk ke substansi persoalan pilkada. Kalau jadi kalkulator, akan menjadi tidak baik, dan kualitas Pilkada akan buruk. Kita membutuhkan MK sebagai lembaga yang Independen untuk menegakkan konstutusi dan  mengawal demokrasi.