Opini : Antara Cinta Adat dan Agama -->
Cari Berita

Opini : Antara Cinta Adat dan Agama

Rusdianto Sudirman

Tulisan ini saya buat berdasarkan kegelisahan yang hampir semua orang pernah merasakannya. Utamanya laki-laki dan perempuan yang berencana melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. Mungkin kita masih ingat kisah dalam film Tenggalamnya Kapal Van Der Wick dimana Zainuddin dan Hayati yang cintanya harus kandas akibat perbedaan adat dan suku antar keduanya. 

Mungkin kisah itu bisa menjadi bahan renungan kita bahwa dari sejak dahulu sebelum Indonesia merdeka permasalahan perbedaan  suku dan adat sudah menjadi hal yang sangat fundamendal dalam kehidupan bermasyarakat kita. 

Olehnya itu kita tidak perlu heran dengan kondisi kemajemukan dan keberagamaan yang ada dalam kehidupan bangsa kita, karena hal tersebut sudah menjadi identitas nasional yang seharusnya menjadi kekuatan kita dalam menjaga hubungan berbangsa dan bernegara.

Kembali pada judul tulisan ini “antara cinta, adat, dan agama”, di zaman modern sekarang ini tentunya kita sudah bisa memahami bahwa salah satu hal terpenting sebelum seseorang menikah adalah cinta, meskipun penafsiran masing-masing orang tentang cinta masih berbeda-beda. Akan tetapi yang biasanya menjadi kendala adalah faktor adat atau suku uang berbeda. 

Jika hal ini sudah terjadi maka faktor agamapun terkadang harus di pinggirkan. Bahkan syarat pernikahan menurut adat lebih didahulukan dibandingkan syarat menurut agama. oleh karena itu faktor cinta bukan satu-satunya syarat jika seseorang yang mau menikah.


Berbicara soal cinta bagi orang bugis tak boleh lepas dari aturan budaya dan agama. Sebagian Orang bugis masih menganut sistem pernikahan koloni, artinya menikah dengan orang yang bukan bugis merupakan hal yang tabu, akan tetapi kebiasaan itu sudah mulai ditinggalkan, faktanya sudah banyak orang bugis yang menikah dengan suku lain. 

Justru yang menjadi buah bibir masyarakat sekarang ini adalah mengenai tingginya uang pannai (uang belanja) jika ingin menikahi perempuan bugis.Pasti banyak yang belum mengerti bahkan tidak familiar dengan istilah “Uang Panai'” terutama yang sama sekali tidak mengerti adat suku Bugis. Jadi, dalam tradisi pernikahan adat suku Bugis, tidak hanya mematokkan mahar sebagai syarat pernikahan, tetapi ada juga uang naik (panai’) yang harus disiapkan ketika sebelum memutuskan untuk menikah.

Uang panai’ adalah sejumlah uang yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan lainnya. Uang panai’ ini tidak terhitung sebagai mahar penikahan melainkan sebagai uang adat namun terbilang wajib dengan jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak atau keluarga.
Kalimat Uang Panai’ makin hari menjadi momok bagi para pemuda Bugis-Makassar yang ingin melamar pujaannya terlebih jika ia berasal dari suku yang sama. Mengapa seperti itu? Sudah jadi rahsia umum jika uang panai’  nominalnya sangat tinggi bahkan mencapai miliaran. Apalagi jika wanita yang ingin dilamarnya memiliki ciri seperti tingkat strata sosial yang tinggi (Karaeng, Andi, Puang), berasal dari golongan darah biru (Raja Gowa, Bone), Pendidikan yang tinggi (S1, S2, S3, Prof. Dr), Anak tunggal, Dari keluarga berada dan terpandang, Memiliki pekerjaan yang tetap (PNS, Dokter, Guru), dan Hajjah
Ironi memang, tapi kita tidak akan mampu menghilangkan adat yang telah mendarah daging cukup kental termasuk tradisi ini. Tak jarang uang panai’  terus bertambah nominalnya karena ada campur tangan dari keluarga inti pihak perempuan yang dianggap andil dalam menentukan suatu kesepakatan.
Istilah “Sillariang” (kawin lari bukan kawin sambil berlari) kerap kali muncul dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar ini. Yah, salah satu faktor terjadi karena syarat yang diminta oleh mempelai wanita tidak mampu dipenuhi oleh pihak pria sehingga nekat mengambil jalan pintas demi mempersatukan cinta mereka dengan alasan ingin bahagia.
Namun jika segala ketentuan yang telah ditetapkan kepada pihak keluarga pria dan terpenuhi, sering membuat keluarga dari pihak perempuan merasa senang dan dianggap sebagai kehormatan tersendiri karena:
1.    Rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada mempelai wanita.
2.    Dapat memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang panai’ tersebut.
3.    Sebagai bukti bahwa pria tersebut sungguh-sungguh dalam melamar.
Dengan fenomena ini, jangan heran jika uang panai’ seringkali menjadi persaingan sosial seseorang. Contohnya: Si A dilamar oleh kekasihnya dengan mahar 1 hektar sawah dan 1 hektar kebun. Uang Panai’ yang diberikan kepada pihak keluarga A sebesar Rp. 128 juta dan info ini telah tersebar luas hingga sampai di telinga keluarga B. 1 minggu kemudian, si B juga dilamar oleh kekasihnya. Pihak keluarga si B meminta uang panai’ sebesar Rp. 135 juta dengan alasan “Kita harus lebih tinggi dari si A”.
Dari hal ini, kita tau bahwa uang panai’ juga seringkali dijadikan kompetisi bagi beberapa individu dan sebagai ajang adu gengsi. Yang menjadi korban, yah putri mereka. Jadi jangan salahkan takdir ketika anak gadisnya menjadi perawan tua.
Setiap hal akan selalu menimbulkan berbagai persepsi, termasuk adat ini. Sebagian orang yang kurang paham memahami ini sebagai “harga anak perempuan” atau bahkan dipersepsikan sebagai perilaku “menjual anak perempuan”. Bagi pria daerah lain yang membutuhkan modal yang tidak begitu banyak untuk pernikahan seperti pria Jawa, sangat wajar jika mempersepsikan uang panai’ sebagai harga seorang anak perempuan Makassar karena pada daerah asalnya tidak demikian banyaknya. Begitupun dengan individu yang menganggap kemegahan pernikahan bukanlah jaminan sejahteranya kehidupan rumah tangga kedepan.
Tapi sebenarnya jika kita melihat realitas yang ada, arti dari uang panai’ ini sudah bergeser dari arti yang sebenarnya. Uang panai’ sudah menjadi ajang gengsi atau pamer kekayaan. Tak jarang untuk memenuhi jumlah permintaan uang panai’ tersebut, calon mempelai pria bahkan harus berhutang.
Jika dipandang dari segi agama, Rasulullah SAW meminang seorang Bunda Khadijah dengan mahar 20 ekor sapi betina , kalau dirupiahkan dengan kurs rupiah sekarang jumlahnya mencapai ratusan juta, padahal Bunda Khadijah adalah salah satu perempuan terkaya di zamannya. Kepada Bunda Aisyah, Saudah, Hafsah, Zainab Rasulullah SAW meminangnya dengan mahar 400 dirham. Tapi di sisi lain Rasulullah SAW bersabda “Wanita yang baik menurut Nabi adalah wanita yang paling rendah maharnya dan pernikahan yang paling baik menurut agama adalah pernikahan yang paling sedikit biayanya”.
Jadi menurut hemat saya sebaiknya uang panai hendaknya tidak terlalu tinggi dan memberatkan calon mempelai pria. Ini bukan soal menghargai atau tidak menghargai calon mempelai wanita, tapi akan lebih baik jika uang panai’ tersebut digunakan untuk keperluan lain yang jauh lebih bermanfaat seperti untuk membeli rumah atau bahkan sebagai modal usaha untuk membantu keuangan rumah tangga kedua mempelai. Jangan sampai hanya faktor uang panai yang terlalu tinggi keinginan seorang laki-laki dan perempuan untuk membina keluarga bahagia menjadi kandas. Cinta adalah sesuatu yang suci dan tercipta untuk membawa kebahagiaan.  Adat adalah tradisi yang seharusnya menciptakan kemudahan, bukan malah menyusahakan. Dan agama adalah pedoman hidup yang menciptakan kedamaian di dunia dan akhirat.

 (******************)