Tulisan ini saya buat
berdasarkan kegelisahan yang hampir semua orang pernah merasakannya. Utamanya
laki-laki dan perempuan yang berencana melanjutkan hubungan ke jenjang
pernikahan. Mungkin kita masih ingat kisah dalam film Tenggalamnya Kapal Van
Der Wick dimana Zainuddin dan Hayati yang cintanya harus kandas akibat
perbedaan adat dan suku antar keduanya.
Mungkin kisah itu bisa menjadi bahan
renungan kita bahwa dari sejak dahulu sebelum Indonesia merdeka permasalahan
perbedaan suku dan adat sudah menjadi
hal yang sangat fundamendal dalam kehidupan bermasyarakat kita.
Olehnya itu
kita tidak perlu heran dengan kondisi kemajemukan dan keberagamaan yang ada
dalam kehidupan bangsa kita, karena hal tersebut sudah menjadi identitas
nasional yang seharusnya menjadi kekuatan kita dalam menjaga hubungan berbangsa
dan bernegara.
Kembali pada judul tulisan
ini “antara cinta, adat, dan agama”, di zaman modern sekarang ini tentunya kita
sudah bisa memahami bahwa salah satu hal terpenting sebelum seseorang menikah
adalah cinta, meskipun penafsiran masing-masing orang tentang cinta masih
berbeda-beda. Akan tetapi yang biasanya menjadi kendala adalah faktor adat atau
suku uang berbeda.
Jika hal ini sudah terjadi maka faktor agamapun terkadang
harus di pinggirkan. Bahkan syarat pernikahan menurut adat lebih didahulukan
dibandingkan syarat menurut agama. oleh karena itu faktor cinta bukan
satu-satunya syarat jika seseorang yang mau menikah.
Berbicara
soal cinta bagi orang bugis tak boleh lepas dari aturan budaya dan agama. Sebagian
Orang bugis masih menganut sistem pernikahan koloni, artinya menikah dengan orang
yang bukan bugis merupakan hal yang tabu, akan tetapi kebiasaan itu sudah mulai
ditinggalkan, faktanya sudah banyak orang bugis yang menikah dengan suku lain.
Justru yang menjadi buah bibir masyarakat sekarang ini adalah mengenai
tingginya uang pannai (uang belanja) jika ingin menikahi perempuan bugis.Pasti
banyak yang belum mengerti bahkan tidak familiar dengan istilah “Uang Panai'”
terutama yang sama sekali tidak mengerti adat suku Bugis. Jadi, dalam tradisi
pernikahan adat suku Bugis, tidak hanya mematokkan mahar sebagai syarat
pernikahan, tetapi ada juga uang naik (panai’) yang harus disiapkan ketika
sebelum memutuskan untuk menikah.
Uang
panai’ adalah
sejumlah uang yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai
wanita yang akan digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan
belanja pernikahan lainnya. Uang panai’ ini tidak terhitung sebagai mahar
penikahan melainkan sebagai uang adat namun terbilang wajib dengan jumlah yang
disepakati oleh kedua belah pihak atau keluarga.
Kalimat Uang Panai’ makin
hari menjadi momok bagi para pemuda Bugis-Makassar yang ingin melamar pujaannya
terlebih jika ia berasal dari suku yang sama. Mengapa seperti itu? Sudah jadi
rahsia umum jika uang panai’ nominalnya sangat tinggi
bahkan mencapai miliaran. Apalagi jika wanita yang ingin dilamarnya memiliki
ciri seperti tingkat strata sosial yang tinggi (Karaeng, Andi, Puang), berasal
dari golongan darah biru (Raja Gowa, Bone), Pendidikan yang tinggi (S1, S2, S3,
Prof. Dr), Anak tunggal, Dari keluarga berada dan terpandang, Memiliki
pekerjaan yang tetap (PNS, Dokter, Guru), dan Hajjah
Ironi memang, tapi kita tidak akan
mampu menghilangkan adat yang telah mendarah daging cukup kental termasuk
tradisi ini. Tak jarang uang panai’ terus bertambah
nominalnya karena ada campur tangan dari keluarga inti pihak perempuan yang
dianggap andil dalam menentukan suatu kesepakatan.
Istilah “Sillariang” (kawin
lari bukan kawin sambil berlari) kerap kali muncul dalam kehidupan masyarakat
Bugis-Makassar ini. Yah, salah satu faktor terjadi karena syarat yang diminta
oleh mempelai wanita tidak mampu dipenuhi oleh pihak pria sehingga nekat
mengambil jalan pintas demi mempersatukan cinta mereka dengan alasan ingin
bahagia.
Namun jika segala ketentuan yang
telah ditetapkan kepada pihak keluarga pria dan terpenuhi, sering membuat
keluarga dari pihak perempuan merasa senang dan dianggap sebagai kehormatan
tersendiri karena:
1.
Rasa penghargaan yang diberikan oleh
pihak calon mempelai pria kepada mempelai wanita.
2.
Dapat memberikan pesta yang megah
untuk pernikahannya melalui uang panai’ tersebut.
3.
Sebagai bukti bahwa pria tersebut sungguh-sungguh
dalam melamar.
Dengan fenomena ini, jangan heran
jika uang panai’ seringkali menjadi persaingan sosial
seseorang. Contohnya: Si A dilamar oleh kekasihnya dengan mahar 1 hektar sawah
dan 1 hektar kebun. Uang Panai’ yang diberikan kepada pihak
keluarga A sebesar Rp. 128 juta dan info ini telah tersebar luas hingga sampai
di telinga keluarga B. 1 minggu kemudian, si B juga dilamar oleh kekasihnya.
Pihak keluarga si B meminta uang panai’ sebesar Rp. 135 juta
dengan alasan “Kita harus lebih tinggi dari si A”.
Dari hal ini, kita tau bahwa uang
panai’ juga seringkali dijadikan kompetisi bagi beberapa individu dan
sebagai ajang adu gengsi. Yang menjadi korban, yah putri mereka. Jadi jangan
salahkan takdir ketika anak gadisnya menjadi perawan tua.
Setiap
hal akan selalu menimbulkan berbagai persepsi, termasuk adat ini. Sebagian
orang yang kurang paham memahami ini sebagai “harga anak perempuan” atau bahkan
dipersepsikan sebagai perilaku “menjual anak perempuan”. Bagi pria daerah lain
yang membutuhkan modal yang tidak begitu banyak untuk pernikahan seperti pria
Jawa, sangat wajar jika mempersepsikan uang
panai’ sebagai harga
seorang anak perempuan Makassar karena pada daerah asalnya tidak demikian
banyaknya. Begitupun dengan individu yang menganggap kemegahan pernikahan
bukanlah jaminan sejahteranya kehidupan rumah tangga kedepan.
Tapi sebenarnya jika kita melihat
realitas yang ada, arti dari uang panai’ ini sudah bergeser dari arti yang
sebenarnya. Uang panai’ sudah menjadi ajang gengsi atau pamer kekayaan. Tak
jarang untuk memenuhi jumlah permintaan uang panai’ tersebut, calon mempelai
pria bahkan harus berhutang.
Jika dipandang dari segi agama,
Rasulullah SAW meminang seorang Bunda Khadijah dengan mahar 20 ekor sapi betina
, kalau dirupiahkan dengan kurs rupiah sekarang jumlahnya mencapai ratusan
juta, padahal Bunda Khadijah adalah salah satu perempuan terkaya di zamannya.
Kepada Bunda Aisyah, Saudah, Hafsah, Zainab Rasulullah SAW meminangnya dengan
mahar 400 dirham. Tapi di sisi lain Rasulullah SAW bersabda “Wanita yang baik
menurut Nabi adalah wanita yang paling rendah maharnya dan pernikahan yang
paling baik menurut agama adalah pernikahan yang paling sedikit biayanya”.
Jadi menurut hemat saya sebaiknya uang
panai hendaknya tidak terlalu tinggi dan memberatkan calon mempelai pria. Ini
bukan soal menghargai atau tidak menghargai calon mempelai wanita, tapi akan
lebih baik jika uang panai’ tersebut digunakan untuk keperluan lain yang jauh
lebih bermanfaat seperti untuk membeli rumah atau bahkan sebagai modal usaha
untuk membantu keuangan rumah tangga kedua mempelai. Jangan sampai hanya faktor
uang panai yang terlalu tinggi keinginan seorang laki-laki dan perempuan untuk
membina keluarga bahagia menjadi kandas. Cinta adalah sesuatu yang suci dan
tercipta untuk membawa kebahagiaan. Adat
adalah tradisi yang seharusnya menciptakan kemudahan, bukan malah menyusahakan.
Dan agama adalah pedoman hidup yang menciptakan kedamaian di dunia dan akhirat.
(******************)