Opini : Peran Pemuda Dalam Politik -->
Cari Berita

Opini : Peran Pemuda Dalam Politik

Kisah tentang pemuda selalu mewarnai perjalanan panjang sebuah bangsa. Tak terkecuali di negeri ini, sejak era pra kemerdekaan hingga pasca reformasi, pemuda selalu menjadi pelopor penggerak, yang selalu siap mendobrak tatanan (sisetem) yang otoriter sekalipun.

Jika generasi '98 berhasil menumbangkan rezim Orde Baru, maka generasi '66 mengakhiri Orde Lama. Begitu kita menyusuri sejarah perjalanan bangsa ini lebih jauh, kita akan bertemu dengan generasi '45 yang mempelopori kemerdekaan Indonesia.

Menilik ke belakang, ada generasi 1928 yang memelopori Persatuan Nasional dalam simbol: satu tanah air, satu bahasa dan satu bangsa melalui Sumpah Pemuda. Bahkan seorang pemimpin sekharismatik Soekarno telah menjadi ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) di usia yang belum genap 26 tahun.

Sebuah rentang usia yang masih terlalu belia untuk ukuran seorang pemimpin partai politik. Begitulah sejarah merekam kepeloporan para generasi yang oleh beberapa kalangan kerap disebut "generasi tanggung". Mereka siap berdiri di garda terdepan dalam menyuarakan kebenaran dan mengobarkan api perjuangan.

Situasi politik telah berubah?

Tanpa menafikan kepeloporan dan kepemimpinan tokoh bangsa semisal Soekarno, Hatta, Syahrir dan sederet nama lain, generasi muda sekarang, yang lahir tanpa pernah merasakan kejamnya teror dan dinginnya penjara, dengan santai akan berujar: "sekarang situasinya telah berubah…"

Mungkin ini bisa jadi pembenaran bagi mereka yang kurang (tidak) memiliki perspektif politik dalam memandang persoalan bangsa. Bahwa kita telah terbebas dari belenggu kolonial hingga rejim otoriter Soeharto, hal itu merupakan sebuah capaian dari kerja-kerja demokratik berbagai elemen rakyat. Sayangnya, "kemenangan kecil" yang diraih dari perjuangan yang berdarah-darah itu, berbanding terbalik dengan akses bagi kaum muda untuk mengasah sekaligus mematangkan sense of politic, generasi yang diklaim berjumlah 60 persen lebih dari total penduduk di negeri ini.

Partisipasi generasi muda dalam politik praktis misalnya, haruslah di pahami sebagai salah satu bentuk kontribusi pemuda  untuk melakukan akselerasi perubahan. Partisipasi pemuda dalam lingkaran kekuasaan diharapkan mampu merumuskan, merancang kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada rakyat.

Pemuda harus mampu menginventarisir, mengolah, menganalisis serta memberikan terapi yang konstruktif atas persoalan rakyat yang multikompleks. Menjawab persoalan rakyat bukan dengan segudang teori atau setumpuk ide, tetapi dengan kerja nyata.

Mengapa Pemuda?

Namun kenyataan tidak selalu selaras dengan realitas. Alih-alih mendapat ruang untuk beraktualisasi, kaum muda justeru "dikucilkan" dari landscape politik di negeri ini. Berapa banyak tokoh muda yang menempati posisi strategis di sebuah partai politik? Kalau pun ada, jumlahnya tak lebih dari hitungan dua jari tangan. Itu pun masih harus ditambah trah politik sebagai syarat tidak tertulis.

Padahal, aspek yang menentukan perubahan tidak lain adalah model pemimpin dan karakter  kepemimpinan yang ditempa oleh pengalaman, bukan model pemimpin karbitan apalagi yang hanya sebatas pencitraan . Sebagaimana kita tahu, peran pemimpin dan kepemimpinan itu sangat menentukan jatuh-bangun, maju-mundurnya suatu organisasi (bangsa).

Kecakapan/keterampilan pemimpin (skill) dan nilai-nilai dasar (values) dalam kepemimpinan harus menjadi titik berangkat sebuah model kepemimpinan. Ikhwal siapa, apa, dan bagaimana kaum muda dalam dinamika politik dan perubahan sebuah  masyarakat-bangsa, akan sangat ditentukan  oleh watak egaliter sebuah organisasi (partai politik), sebagai infrastruktur sekaligus laboratorium politik bagi kaum muda sebelum berkiprah di tengah masyarakat.

Fakta empiris menunjukkan bahwa kaum muda sebagaimana tokoh-tokoh yang pernah mewarnai perjalanan bangsa ini, sanggup merumuskan peta jalan perubahan. Dari persoalan bagaimana perubahan itu dimulai? Bagaimana tahapannya? hingga arah dan syarat-syarat yang diperlukan demi mempercepat perubahan.

Dalam semangat itulah, kiranya kaum muda pantas mendapat ruang dalam wacana kepemimpinan politik tanpa harus "merebut" dari tangan politisi "tua" yang telah kehilangan energi politik mereka. Atau sejarah akan kembali berulang?

---------------------------------
H.M. Abduh Bakry Pabe