Opini : Evaluasi Pilkada Serentak 2015 -->
Cari Berita

Opini : Evaluasi Pilkada Serentak 2015

Oleh: Rusdianto Sudirman, S.H, M.H Pengamat Hukum Pemilu

Pemilihan kepala daerah serentak telah dilaksanakan pada Rabu 9 Desember yang lalu di 264 daerah. Pelaksanaan Pilkada di lima daerah harus ditunda karena masalah hukum dan 62 TPS akan menjalani pemungutan suara ulang karena berbagai masalah.

Secara umum Pilkada serentak kemarin berjalan lancar. Hal ini menunjukkan kematangan demokrasi yang makin menggembirakan dan dapat menjadi contoh negara-negara lain. Dengan begitu publik berharap kepala daerah terpilih dapat mengemban amanah rakyat dengan baik melalui inovasi dan kreatifitas dalam mempercepat pembangunan untuk kesejahteraan rakyat daerah.

Meski berjalan lancar bukan berarti Pilkada serentak 2015 tidak memiliki persoalan. Masalah utama terdapat pada tahapan pencalonan, rendahnya partisipasi pemilih, politik uang dan Netralitas PNS. Perlu ada evaluasi terkait pencalonan yang masih bermasalah hingga pelaksanaan Pilkada serentak digelar, sengketa pencalonan masih berlanjut.

Padahal pencalonan itu isu yang membuat banyak masalah dalam Pilkada, baik terkait dengan proses pendaftarannya, verifikasinya, kemudian penetapan pasangan calon, sampai pada penetapan pasangan calon di Bawaslu, di Panwaslu, maupun di Pengadilan Tinggi Tata Usaha negara.

Perlu ada tata cara persidangan yang cepat dan sederhana, agar para calon yang merasa dirugikan dalam pencalonan dapat segera melakukan upaya hukum sebelum pelaksanaan pilkada atau selambat-lambatnya sebelum pengadaan kertas suara dan logistik pilkada.

Melihat beberapa persoalan tersebut, Penulis berpendapat perlu melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pelaksanaan Pilkada 2015, terutama terkait dengan perubahan arah regulasi atau sistem Pilkada.

Validitas Daftar Pemilih Tetap (DPT)
Regulasi pilkada harus lebih menegaskan perlindungan hak pilih dan dipilih setiap warga Negara. Misalnya terkait validitas daftar pemilih tetap (DPT). Hal ini disebabkan karena masih buruknya sistem administrasi kependudukan dimasing-masing daerah.

Jika berdasar Pada PKPU Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tahapan,Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada, dalam menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) KPU melakukan pencocokan dan pemutakhiran data pemilih yang bersumber dari Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) yang kemudian disinkronkan dengan DPT pemilu terakhir (DPT Pilpres 2014).

Disinilah letak peran petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) yang di tunjuk oleh KPU untuk melakukan verifikasi faktual data pemilih dengan mendatangi setiap rumah penduduk untuk melakukan pencoklikan data pemilih. Maka seharusnya jika KPU dan Jajarannya disetiap tingkatan bekerja secara profesional DPT yang di hasilkan adalah data yang valid.

Sehingga tidak perlu ada lagi penambahan daftar pemilih dengan menetapkan DPTb1. Secara nomenklatur saja Daftar Pemilih Tetap, Frasa "Tetap" disini artinya tidak dapat berubah lagi, baik di tambah maupun dikurangi. Oleh karena itu PKPU terkait DPT ini harus lebih menjamin bahwa data yang ada adalah data yang valid dan tidak perlu lagi ada celah penambahan data pemilih dengan menggunakan nomenklatur DPTb1.

Terkait Politik Uang dan Netralitas PNS
Kemudian Perlu ada penegasan terkait larangan politik uang, Jenis politik uang yang terjadi cukup bervariasi, di antaranya pembagian undian, pembagian sembako, pembagian uang yang dilakukan oleh oknum tim sukses. Politik uang bahkan ditenggarai terjadi melalui penyalahgunaan bansos dan program pemerintah lainnya.

Selama ini setiap aduan atau temuan yang masuk ke panwaslu masih minim penindakan oleh pihak terkait, baik itu kepolisian ataupun kejaksaan yang tergabung dalam sentra Gakundu.

Panwas seolah hanya menjadi hiasan dalam pilkada karena tidak mampu berbuat banyak dalam menindak segala bentuk politik uang. Begitupun dengan aturan yang terkait netralitas PNS dalam pilkada. Selama ini Panwaslu tidak dapat berbuat apa-apa jika menemukan ada oknum PNS yang hadir dalam kampanye.
Banyaknya kepala SKPD yang melakukan intervensi dan intimidasi terhadap jajaran dibawahnya membuat hak pilih para PNS menjadi dikebiri karena selalu mendapatkan ancaman pemindahan ataupun mutasi. Oleh karenanya regulasi terkait netralitas PNS perlu diatur lebih ketat. Perlu ada larangan PNS menjadi anggota PPK, PPS, KPPS, ataupun Penyelenggara Pemilu lainnya. Karena amatlah sulit untuk mengukur independensi seorang PNS jika terlibat juga dalam proses penyelenggaraan. Di lain sisi posisi sebagai PNS sulit melepaskan conflict interest dengan atasan atau pimpinan yang maju dalam pilkada.

Sengketa Pilkada Oleh PT TUN

Penulis berpendapat bahwa yang berwenang menangani sengketa Pilkada adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) setempat, oleh karena itu Mahkamah Agung (MA) harus segera memperbanyak Pengadilan Tinggi TUN yang sekarang hanya ada di Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makassar.

Keputusan KPUD tentang rekapitulasi hasil Pilkada dan penetapan pasangan pemenang pada hakikatnya adalah putusan TUN. Sebagai putusan pejabat TUN dalam hal ini anggota KPUD, maka yang paling berwenang mengadilinya adalah pengadilan TUN. Namun untuk lebih cepat, maka langsung PT TUN. PT TUN dapat membatasi waktu pemeriksaan perkara Pilkada misalnya 30 hari kerja sejak perkara didaftarkan.

PT TUN juga tidak perlu menciptakan yurisprudensi yang terlalu luas seperti dibuat MK dalam memeriksa perkara Pikada; yakni harus ada selisih 2 % perolehan suara dan ada tidaknya pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM) serta segala proses yang mengiringi pelaksanaan pilkada.

Majelis Hakim PT TUN cukup mengadili sengketa Pilkada seperti layaknya sengketa TUN dengan beberapa penyesuaian yang diperlukan.

Penggugat dalam sengketa Pilkada cukup membuktikan apakah tergugat, dalam hal ini KPUD, dalam memutuskan hasil rekapitulasi dan menetapkan pasangan pemenang, dalam prosesnya bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bertentangan atau dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan asas-asas penyelenggaraan Pemilu dan/atau Pilkada, atau tidak.

Kalau bertentangan, maka majelis berwenang untuk membatalkan Keputusan KPUD tersebut. Selanjutnya tergantung petitum dan amar putusan yang didasari oleh pertimbangan apa yang digunakan dalam memeriksa gugatan Pilkada tersebut. Bisa saja majelis membatalkan SK KPUD dan memerintahkan Pilkada ulang, atau putusan lain sebagaimana putusan MK selama ini.

Dengan proses seperti ini, penulis yakin para pencari keadilan dalam sengketa Pilkada lebih punya kesempatan mendapatkan keadilan. Dengan begitu hukum dapat menjadi mekanisme mengatasi konflik dan memberikan kepastian hukum dalam penegakan hukum dan prinsip-prinsip pemilu.

Beberapa masalah tersebut diatas perlu mendapatkan perhatian khusus oleh penyelenggara pemilu dan pembentuk undang-undang, agar dapat merealisasikan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang jujur adil dengan tingkat partisipasi para pemilih agar dapat melahirkan pemimpin daerah yang kredibel, berintegritas dengan partisipasi atau dukungan publik yang tinggi.

(******)