Oleh: Rusdianto Sudirman, S.H, M.H, Pengamat Hukum Pemilu.
Dinasti politik pada umumnya dimaknai sebagai pembagian kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan yang hanya terpusat pada sekelompok orang atau keluarga elite tertentu. Dalam bentuk yang agak halus dinasti politik sering muncul dengan cara mendorong sanak keluarga kelompok elite tertentu untuk terus memegang kekuasaan secara demokratis.
Dinasti politik pada masyarakat Indonesia yang pendidikan politiknya relatif kurang dan sistem hukum serta penegakan hukum (law enforcement) yang lemah, maka akan menyebabkan proses kontestasi politik menjadi tidak adil. Keluarga incumbent yang maju dalam kontestasi politik, seperti Pilkada, akan dengan mudah memanfaatkan fasilitas pemerintah dan jaringan incumbent untuk memenangkan pilkada.
pembatasan dinasti politik diarahkan untuk meningkatkan derajat kualitas demokrasi kita dengan cara memperluas kesempatan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam jabatan-jabatan publik dan mereduksi penyalahgunaan jabatan incumbent dalam kontestasi Pemilihan Umum maupun Pemilihan Kepala Daerah.
Seperti yang telah diperdebatkan para ahli hukum selama ini bahwa pembatasan keluarga petahana bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1 UUD NRI 1945: "segala warga negara bersamaan dalam kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.",dan Pasal 28D ayat 3 UUD NRI 1945:"setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan." Serta Pasal 28 I "setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu".
Menurut penulis dalam konteks Indonesia, munculnya dinasti politik adalah sebuah keniscayaan. Ini diakibatkan karena sistem demokrasi kita masih banyak dipengaruhi oleh konsep demokrasi liberal yang masih menganggap bahwa inti dari politik adalah hak-hak individual, sehingga hak politik seseorang dipandang sebagai bagian dari hak individu. Bahkan dalam konstitusi Pasal 27 ayat 1 UUD NRI 1945: "segala warga negara bersamaan dalam kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Begitu pun dengan Pasal 28 D ayat 3 UUD NRI 1945:"setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan."
Dalam amar putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 , Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 7 huruf r dalam UU Pilkada bertentangan dengan dengan UUD 1945. Pasal 7 huruf r soal syarat pencalonan bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 yang bebas diskriminatif, serta bertentangan dengan hak konstitusinal dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan. Putusan MK tersebut diatas sekaligus memberikan kekuatan hukum terhadap tumbuh suburnya politik dinasti di Indonesia.
Namun menurut penulis larangan keluarga petahana dalam UU Pilkada tidak dapat dikatakan melanggar hak konstitusional warga Negara karena pada prinsipnya hanya bersifat mengatur bukan mematikan atau mencabut hak politik seseorang. Dan hal ini sesuai dengan Pasal 28 J ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 Yang menyatakan : "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. "
Pembatasan itu penting karena mengingat Petahana (baik kepala daerah maupun wakil kepala daerah) dinilai atau dianggap sebagai posisi yang paling rawan untuk disalahgunakan dibanding jabatan politik lainnya. Sehingga pembentuk Undang-Undang merasa perlu memberi berbagai batasan agar jabatan atau posisi politik sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak disalahgunakan. Dengan begitu para calon yang akan bertarung dalam pilkada berada dalam posisi equal atau setara tanpa adanya penyalahgunaan kewenangan, pengunaan fasilitas, serta pengaruh ataupun intervensi dari petahana.
Secara etika politik tentunya dinasti politik ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi, dimana dalam hal ini dinasti politik muncul sebagai musuh demokrasi itu sendiri karena peran publik sama sekali tidak dipertimbangkan. Kata rakyat, Demokrasi, dan kata Politik dalam konstitusi kita pada dasarnya merujuk pada hal yang sama yaitu untuk kesejahteraan umum atau kepentingan orang banyak.
Artinya politik dalam faham ketatanegaraan kita secara prinsipil harus bersumber dan sekaligus diarahkan untuk kepentingan umum/kesejahteraan umum. Jadi secara tegas Politik dinasti berlawanan dengan prinsip demokrasi karena didalamnya yang menjadi dasar dan tujuan adalah kepentingan pribadi (private interest).
Contoh kasus Dinasti Ratu Atut di Banten, publik sudah dapat membuka mata betapa politik dinasti hanya melahirkan koruptor-koruptor baru, ini karena kewenangan yang dimiliki begitu besar akan tetapi pihak yang seharusnya mengawasi malah ikut bersama-sama melakukan korupsi karena adanya hubungan kekerabatan antara eksekutif dan legislatif.
Dinasti politik memang sama sekali tidak mencederai prosedur demokrasi kita, akan tetapi secara prinsip sangat merusak subtansi politik dan demokrasi, dengan dibatalkannya Pasal yang mengatur mengenai larangan keluarga petahana untuk ikut serta dalam pilkada, maka kini hanya kedaulatan rakyat yang mampu untuk membatasi terjadinya politik dinasti.
Untuk itu usaha-usaha dalam mencerdaskan kehidupan bangsa harus terus ditingkatkan agar rakyat dapat menjadi pemilih cerdas untuk mencegah terjadinya praktek politik oligharki yang kini semakin berkembang diberbagai daerah
(***************)