Opini : Lembaga Suvei Dalam Demokrasi Indonesia -->
Cari Berita

Opini : Lembaga Suvei Dalam Demokrasi Indonesia

Oleh Rusdianto Sudirman, SH,MH. Pengamat Hukum Pemilu

Sejatinya demokrasi adalah bentuk pemerintahan atau kekuasaan yang tertinggi dimana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan (ke)rakyat(an). Istilah demokrasi ini menjadi popular setelah diucapkan oleh negarawan sekaligus mantan presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln yang mengatakan, "government is from the people, by the people, and for the people", sehingga dapat diartikan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Namun berbeda dengan sistem demokrasi yang ada di Indonesia saat ini, dimana muncul atribut baru dalam sistem demokrasi yang disebut lembaga survey, yaitu suatu lembaga yang melakukan penelitian dengan metodelogi tertentu untuk mengukur opini masyarakat mengenai elektabilitas dan popularitas orang atau partai tertentu.

Jika kita mengamati proses pemilihan Bupati, Walikota, Gubernur, anggota DPR/DPRD dan bahkan Presiden, dimana selama ini lembaga survey seakan-akan menjadi pihak penentu yang 'berhak' menentukan siapa layak dan tidak layak menjadi kandidat dari sebuah partai politik, dengan tiga indikator utamanya yaitu: popularitas, kapabilitas, dan elektabilitas.

Kemudian dibantu dengan peranan media yang mempublikasikan hasil survey tersebut sehingga membentuk opini ditengah masyarakat. Sehingga persepsi masyarakat terhadap tokoh dan figur tertentu banyak dipengaruhi oleh hasil survey.

Belajar dari proses pilkada Gubernur Sulawesi Selatan yang berakhir pada akhir Januari 2013 yang lalu. Secara cepat hasil hitung cepat (Quickcount) diumumkan diberbagai media lokal berdasarkan metodelogi dan pola presentase masing-masing lembaga survey yang mempublikasikan pasangan SAYANG sebagai pemenang.

Sementara pasangan ILHAM-AZIZ juga mengklaim bahwa hasil dari lembaga survey merekalah yang betul. Polemik pun bermunculan akibat publikasi hasil quickcount lembaga survey yang mengakibatkan masing-masing pasangan calon yang berkompetisi mengklaim dirinya menang.

KPU pun terkesan sudah kehilangan wibawa dalam kondisi ini bahkan cenderung potensial dianggap merusak jika hasil rekapitulasi KPU (Realcount) berbeda dengan yang sudah dipublikasikan. Bisa diprediksikan, kondisi ini bisa menjadi pemicu terjadinya kerusuhan massal karena semua pihak sudah merasa menang.

Kondisi seperti inilah yang dapat mencederai proses demokrasi yang orientasinya adalah demi kesejahteraan rakyat.

Menjelang pemilihan Pilkada serentak pada 9 Desember 2015 nanti masing-masing lembaga survey kini mulai mempublikasikan hasil survey yang mereka lakukan. Meskipun dengan metodelogi survey yang berbeda.

Terlepas apakah lembaga survey tersebut memang pesanan kandidat masing-masing calon kepala daerah atau memang berasal dari lembaga survey yang independent, namun setidaknya hasil survey yang dipublikasikan dapat mempengaruhi opini masyarakat.

Keberadaan lembaga survey sebagai penentu seseorang menjadi calon pemimpin politik, merupakan fenomena yang khas Indonesia, dan bahkan demokrasi di Indonesia seolah-olah ditentukan oleh hasil survey.

Terbukti hasil pemilu legislative dan pilpres 2014 yang lalu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh KPU kurang lebih sama dengan hasil survey yang dipublikasikan oleh berbagai lembaga survey sebelum pemilu dilaksanakan. Entah itu bisa terjadi karena kebetulan atau memang metodelogi yang digunakan oleh lembaga survey cukup ampuh untuk memprediksi hasil pemilu.

Akan tetapi lagi-lagi sulit rasanya bagi penulis untuk mempercayai hasil survey apapun metodelogi yang digunakan. Bagaimana mungkin negeri dengan 250 juta penduduk menentukan pilihannya memilih pemimpin berdasarkan hasil survey dengan sample 2000an orang.

Sekarang ini Calon pemimpin bangsa tidak lagi dinilai rakyat karena integritas pribadi, dedikasi, kemampuan dan pengalaman, tapi oleh hasil survey dengan 3 indikator penilaian yakni popularitas, kapabilitas, dan elektabilitas. Hasil survey yang kemudian dipublikasikan secara massiv oleh media massa akhirnya menjadi keyakinan mayoritas masyarakat. Partai politikpun kini akhirnya harus mencalonkan seseorang untuk menjadi pemimpin bangsa berdasarkan hasil survey.


Misalnya saja apa yang terjadi dalam penentuan pasangan calon bupati dan wakil bupati harus ditentukan berdasarkan hasil survey. Tentunya kita tidak menginginkan lembaga survey menjadi tuhan baru di republik ini dan mencederai pilar demokrasi yang seharusnya kedaulatan rakyatlah yang menjadi pilar utamanya. Lembaga survey bahkan telah merontokkan teori-teori tentang kepemimpinan, baik yang dibangun agama, filsafat maupun ilmu politik sejak ratusan tahun yang lalu. 

Oleh karena itu kini saatnya semua elemen bangsa harus segera melakukan penyadaran kepada masyarakat agar dapat menentukan pemimpin mereka dengan melihat integritas pribadi, dedikasi, kemampuan, pengalaman, dan track record masing-masing calon pemimpin bangsa.


Bukan karena hasil survey dan pemberitaan media massa. Semoga pilkada serentak pada 9 Desember 2015 nanti dapat melahirkan pemimpin daerah yang terpilih dari proses pilkada yang demokratis, dan pada akhirnya juga dapat menciptakan pemerintahan daerah yang demokratis pula.


--------------------------------
(******)