Penulis : Rusdianto Sudirman, SH, MH. Pemerhati Hukum Pemilu
Era baru dalam berdemokrasi di Indonesia dengan sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan dilaksanakan pada 9 Desember 2015. Data yang didapat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara atau pelaksana pilkada serentak ini menyatakan bahwa pilkada serentak akan dilaksanakan di 260 kabupaten/kota dan 9 propinsi. Pilkada yang pesertanya terbanyak di seluruh dunia sekarang ini sudah mulai memaksimalkan tahapan kampanye masing-masing kandidat, baik yang bersifat kampanye dialogis maupun dalam bentuk debat kandidat yang di laksanakan oleh KPU masing-masing daerah.
Sekarang ini KPU harus memikirkan bagaimana pembinaan terhadap penyelenggara pilkada di daerah. Jangan sampai seluruh persoalan pilkada kembali bermuara ke Mahkamah Konstitusi, Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Orientasi kerja-kerja KPU RI dan Bawaslu RI sebaiknya ditujukan pada proses pembinaan dan supervisi jajaran di tingkat bawah.
KPU harus belajar dari pengalaman pada pilkada 2010, dimana dari 244 Pilkada lebih dari 90 persen berakhir di Mahkamah Konstitusi, PTUN, Pengadilan, Pengawas Pemilu, dan Pemecatan KPU di daerah oleh Dewan Kehormatan. Hal tersebut terjadi karena kecurangan dan pelanggaran terbukti secara Terstuktur, Sistematis, dan Massiv (TSM) yang melibatkan penyelenggara pemilu, perangkat desa, dan keterlibatan oknum pemerintah daerah.
Adapun berbagai permasalahan krusial dalam setiap pemilu ataupun pilkada yaitu pertama, validitas daftar pemilih tetap (DPT). Hal ini disebabkan karena masih buruknya sistem administrasi kependudukan dimasing-masing daerah. Jika berdasar Pada PKPU Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tahapan,Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada, dalam menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) KPU melakukan pencocokan dan pemutakhiran data pemilih yang bersumber dari Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) yang kemudian disinkronkan dengan DPT pemilu terakhir (DPT Pilpres 2014).
Disinilah letak peran petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) yang di tunjuk oleh KPU untuk melakukan verifikasi faktual data pemilih dengan mendatangi setiap rumah penduduk untuk melakukan pencoklikan data pemilih. Maka seharusnya jika KPU dan Jajarannya disetiap tingkatan bekerja secara profesional DPT yang di hasilkan adalah data yang valid.
Sehingga tidak perlu ada lagi penambahan daftar pemilih dengan menetapkan DPTb1. Secara nomenklatur saja Daftar Pemilih Tetap, Frasa “Tetap” disini artinya tidak dapat berubah lagi, baik di tambah maupun dikurangi.
Permasalahan kedua yaitu, kelemahan regulasi. Menurut penulis Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang merupakan perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pilkada masih menyisakan sejumlah persoalan norma.
Misalnya, ada ketentuan yang lahir di luar proses pembahasan dan pembentukan perundang-undangan di DPR, salah satunya seperti mandulnya penegakan hukum karena tidak ada sanksi pidana bagi pelaku politik uang dan jual beli dukungan atau mahar partai politik.
Karena tidak ada sanksi pidana bagi politik uang dan mahar politik maka sanksi administrasinya pun tidak dapat ditegakkan, karena harus ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebelum dilakukan pembatalan. Padahal, materil sanksi pidana menjadi dasar pengadilan menjatuhkan putusan.
Implikasinya tidak dapat memberikan efek jera kepada para pelaku money politik untuk terus melakukan transaksi jual beli suara dalam pilkada, karena tidak adanya sanksi yang tegas yang mengatur terkait politik uang.
Ketiga, Setiap saat pemilu atau pilkada berlangsung, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana sikap PNS dalam perhelatan demokrasi di Indonesia? Pertanyaan akademik yang selalu muncul adalah berperan netral atau tidakkah PNS dalam pilkada? Hasil pengamatan penulis dalam beberapa kesempatan terlihat beberapa orang yang memakai atribut PNS malah dengan jelas mengikuti acara peresmian pasangan balon kepala daerah atau bahkan menghantarkan mendaftarkan ke KPUD dan juga ikut serta kampanye.
Dan memang banyak sekali temuan ataupun laporan yang diterima oleh Pengawas Pemilu (Panwaslu) terkait adanya beberapa PNS ataupun Perangkat Desa yang berpihak ke salah satu pasangan calon. Bahkan yang paling rawan mendapatkan intervensi dari atasan adalah PNS yang berstatus sebagai Guru.
Biasanya para guru ini secara terstruktur dilibatkan sebagai penyelenggara ditingkat KPPS. Sehingga disinilah celah yang dapat digunakan untuk menilai sejauh mana netralitas PNS jika sudah terlibat sebagai penyelenggara.
Mengantisipasi hal tersebut, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy Chrisnandi mengeluarkan surat Edaran No B/2355/M.PANRB/07/2015 tanggal 22 Juli 2015 yang isinya menegaskan kembali bahwa seluruh ASN harus bersikap netral. Surat edaran tersebut mengingatkan kembali pada eksistensi PP Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Secara mudah dapat diketahui bahwa surat edaran Menpan tersebut bertujuan agar dapat terwujud ASN yang bersih dan bebas dari intervensi politik. Di samping itu juga menjaga aset pemerintah dilarang digunakan untuk kampanye. Kendaraan dinas, ruang rapat, dan peralatan kantor, misalnya maka tak boleh digunakan untuk kegiatan politik.
PNS juga dilarang membuat keputusan dan atau tindakan yang merugikan atau menguntungkan satu pasangancalon selama masa kampanye dan atau mengadakan kegiatan yang mengarah terhadap keberpihakan kepada salah satu pasangan calon yang menjadi peserta pilkada baik sebelum, selama dan sesudah masa kampanye. PNS juga dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah.
Ketiga problem krusial tersebut jika mendapatkan perhatian khusus oleh penyelenggara pemilu dan pembentuk undang-undang, akan dapat merealisasikan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang jujur adil dengan tingkat partisipasi para pemilih agar dapat melahirkan pemimpin daerah yang kredibel, berintegritas dengan partisipasi atau dukungan publik yang tinggi.
-------------------------------------------
(*******)