Sejarah Desa Pongka dan Tradisi Sirawu' Sulo -->
Cari Berita

Sejarah Desa Pongka dan Tradisi Sirawu' Sulo

Foto Waris (suasana sijujju api, tradisi tahunan warga desa Pongka)

Sejarah Desa Pongka yang di diami oleh masyarakat Desa Pongka, Kecamatan Tellu Siattingnge, Kabupaten Bone, menurut cerita penduduk asli setempat asal-usulnya bukan berasal dari kerajaan Bone, melainkan cikal bakalnya berasal dari kerajaan Baringeng di Kabupaten Soppeng.

Ada dua anak dari Raja Kabupaten Soppeng yang memiliki watak yang berbeda, yaitu kurang baik dan baik. Perilaku anaknya yang kurang baik bersikap semena-mena kepada rakyat dan suka menyetubuhi gadis di daerahnya. Melihat kelakuan saudaranya tersebut, maka Petta Mabbaranie pergi meninggalkan Soppeng bersama dua orang penglima perang yaitu Petta Makkulli Dajangnge, dengan membawa gendang ajaib yang dijadikan pedoman untuk menentukan arah dan tempat yang akan dituju, sekaligus menjadi alat untuk menghibur dan menghilangkan lelah para rombongan dalam petualangan dan pengembaraannya

Petta Mabbaranie berjalan kearah timur lalu singgah di Desa Langare dan setiap persinggahan yang yang dilalui gendang ajaib tersebut ditabuh, dan ternyata bunyi yang dikeluarkan gendang tersebut berbeda-beda disetiap tempat tempat persinggahan yang dilalui. Disuatu tempat persinggahan tiba-tiba gendang tersebut berbunyi nyaring (macenno) dan untuk mengenang peristiwa tersebut, maka mereka sepakat bahwa tempat peristirahatan itu diberi nama 'Lacenno' (sekarang kampung Lacenno Desa Mario Kecamatan Dua Boccoe kabupaten Bone

Petta Mabbaranie dan rombongan melanjutkan perjalannnya, dipersinggahan selanjutnya bunyi gendang tersebut meriuh atau ramai riuh bergerumuh (Mario - dalam bahasa Bugis) sehingga kampung tersebut diberi nama 'Mario'. Begitu seterusnya, sampai akhirnya tibalah rombongan tersebut disuatu tempat persinggahan, gendang ditabuh dan mengeluarkan bunyi yang berbeda dan membawa suasana hati para rombongan menjadi tenang dan bahagia. Gendang itu berbunyi kang…kang…kang… yang berarti 'engka' dalam bahasa Bugis artinya ada. Sedangkan kata 'pong' diawal kata Pongka berarti akar, dasar dan batang. Jadi kata Pongka berarti dasar kehidupan.

Hal ini di sebabkan karena di Desa Pongka yang terkenal kering, namun tanaman tetap dapat tumbuh di Desa Pongka dan isyarat yang diberikan gendang ajaib tersebut, telah memberi keyakinan kepada segenap rombongan bahwa ditempat itu ada dasar kehidupan yang akan menjanjikan harapan dimasa depan yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman, sehingga mereka sepakat untuk menetap di tempat itu dan merekapun memberinya nama kampung 'Pongka' seperti sekarang ini.

Sejak saat itu, maka Petta Mabbaranie dan rombongannya sepakat untuk melaksanakan sumpah yang ditandai dengan melempar sebutir telur ke arah timur dan arah barat di perbatasan Desa Pongka dan Desa Ulo kecamatan Tellu Siattinge, maka sejak itulah dikenal adanya pesta adat dan tradisi Sirawu' Sulo di Desa Pongka.

Tradisi unik Sirawu' Sulo yang banyak menarik perhatian warga bukan hanya dari tetangga kampung setempat, tapi juga dari daerah lain terutama di daerah perantauan warga Pongka, ini dilaksanakan secara turun temurun oleh warga Pongka dalam bentuk pesta rakyat, yang rangkaian kegiatannya biasanya berlangsung sekitar setengah sampai satu bulan lamanya, namun acara puncaknya hanya berlangsung selama tiga malam berturut-turut.

Boleh jadi, kegiatan Sirawu' Sulo ini, pertama kali dilaksanakan oleh rombongan Petta Makkuli Dajangnge dan Petta Mabbaranie sebagai bentuk rasa syukur mereka setelah menemukan daerah baru yakni Pongka sebagai daerah yang menjanjikan untuk dijadikan sebagai tempat tinggal penghidupan bagi anak cucu mereka.

Hanya saja, menurut peraturan warga setempat, pelaksanaan kegiatan Sirawu' Sulo ini secara turun temurun telah mengalami perubahan dan pergeseran, seiring dengan pengaruh perkembangan dinamisasi zaman.

Awalnya, kegiatan Sirawu' Sulo ini dilaksanakan sekitar lima tahun sekali, namun demikian, meskipun belum cukup lima tahun tapi ketika sudah ada petunjuk atau bisikan yang mendatangi Sanro maka kegiatan ini sudah harus dilaksanakan karena warga tidak boleh melanggar perintah penguasa kampung sebab biasa mendatangkan bencana jika tidak dilaksanakan, menurut cerita masyarakat setempat, bencana yang terjadi biasanya akan ada warga yang sakit dan meninggal dunia, kemudian warga lain akan bernasib sama sehingga terjadi semacam peristiwa meninggal dunia yang berturut-turut.

Pada saat sekarang ini kegiatan Sirawu' Sulo sudah ditetapkan waktunya sekali dalam tiga tahun, bentuk asli dari rangkaian Sirawu' Sulo ini, juga telah banyak mengalami perubahan dan rupanya tidak mampu dipertahankan lagi. Beberapa permainan rakyat seperti yang dulu dilaksanakan sebagai rangkaian kegiatan Sirawu' Sulo diganti dengan kegiatan lain seperti pertandingan sepak bola.
Masyarakat yang mendiami Desa Pongka, Kecamatan Tellu Siattingnge, Kabupaten Bone, menurut cerita masyarakat setempat asal-usulnya bukanlah berasal dari kerajaan Bone, melainkan cikal bakalnya berasal dari kerajaan Baringeng di Soppeng.

Menurut beberapa sumber, seorang penguasa kerajaan Soppeng pada waktu itu selalu bertindak secara sewenang-wenang dengan melakukan penindasan, pemerkosaan, dan hal-hal yang bertentangan dengan masyarakat, oleh karena itu sebagian rakyat pindah dan pergi meninggalkan Soppeng bersama dua orang penglima perang yaitu Petta Makkulli Dajangnge dan rekannya Petta Mabbaranie, dengan membawa gendang ajaib yang dijadikan pedoman untuk menentukan arah dan tempat yang akan dituju, sekaligus menjadi alat untuk menghibur dan menghilangkan lelah para rombongan dalam petualangan dan pengembaraannya.

Disetiap persinggahan yang dilalui gendang ajaib tersebut ditabuh, dan ternyata bunyi yang dikeluarkan gendang tersebut berbeda-beda disetiap tempat persinggahan yang dilalui. Disuatu tempat persinggahan tiba-tiba gendang tersebut berbunyi nyaring (macenno - dalam bahasa Bugis) dan untuk mengenang peristiwa tersebut, maka mereka sepakat bahwa tempat peristirahatan itu diberi nama 'Lacenno' (sekarang kampung Lacenno Desa Mario Kecamatan Dua Boccoe).

Kemudian rombongan melanjutkan perjalannnya, dipersinggahan selanjutnya bunyi gendang tersebut meriuh atau ramai riuh bergerumuh (Mario) sehingga kampung tersebut diberi nama "Mario" Begitu seterusnya, sampai akhirnya tibalah rombongan tersebut disuatu tempat persinggahan, gendang ditabuh dan mengeluarkan bunyi yang berbeda dan membawa suasana hati para rombongan menjadi tenang dan bahagia. Gendang itu berbunyi kang…kang…kang… yang berarti 'engka' dalam bahasa Bugis artinya ada. Sedangkan kata 'pong' diawal kata Pongka berarti akar, dasar dan batang. Jadi kata Pongka berarti dasar kehidupan.

Ternyata isyarat yang diberikan gendang ajaib tersebut, telah memberi keyakinan kepada segenap rombongan bahwa ditempat itu ada dasar kehidupan yang akan menjanjikan harapan dimasa depan yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman, sehingga mereka sepakat untuk menetap di tempat itu dan merekapun memberinya nama kampung 'Pongka'.

Setelah rombongan Petta Makkuli Dajangnge dan Petta Mabbaranie sepakat untuk tinggal di Desa Pongka, mereka melaksanakan sumpah yang ditandai dengan melempar sebutir telur ke arah timur dan ke arah barat di perbatasan Desa Pongka dan Desa Ulo, maka sejak itulah dikenal adanya pesta adat dan tradisi Sirawu Sulo di Desa Pongka.

Boleh jadi, kegiatan Sirawu Sulo ini, pertama kali dilaksanakan oleh rombongan Petta Makkuli Dajangnge dan Petta Mabbaranie sebagai bentuk rasa syukur mereka setelah menemukan daerah baru yakni Pongka sebagai daerah yang menjanjikan untuk dijadikan sebagai tempat tinggal penghidupan bagi anak cucu mereka.
Diolah dari berbagai sumber