WATAMPONE, BW - Alkisah, Zaman dahulu kala, di sebuah daerah di Provinsi Sulawesi Selatan, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaaan Luwu. Kerajaan ini dipimpin seorang raja atau datu yang bernama La Busatana Datu Maongge, atau sering dipanggil Raja Luwu atau Datu Luwu. Dia seorang raja yang adil, arif dan bijaksana, sehingga rakyatnya hidup makmur dan sentosa.
Datu Luwu mempunyai seorang putri yang cantik jelita dan berperangai baik, namanya Putri Tandampalik. Berita kecantikan dan perangai baiknya tersebar sampai ke berbagai negeri di Sulawesi Selatan.
Suatu hari, Raja Bone ingin menikahkan putranya dengan Putri Tandampalik. Raja Bone pun mengutus beberapa pengawal istana ke Kerajaan Luwu untuk melamar sang Putri. Sesampainya di istana Luwu, utusan itu disambut dengan ramah oleh Datu Luwu. Mendengar lamaran itu, Datu Luwu terdiam sejenak. Baginda bingung untuk mengambil keputusan, menerima atau menolaknya. Sebab dalam adat Kerajaan Luwu, seorang gadis Luwu tidak dibenarkan menikah dengan pemuda dari negeri lain. Tapi, jika lamaran itu ditolak, ia khawatir akan terjadi perang yang sangat dahsyat antara dua kerajaan, sehingga membuat rakyat menderita. Setelah beberapa saat berpikir, Datu Luwu masih kebingungan untuk memberikan jawaban. Dengan tutur bahasa yang bijaksana, Sang Raja menjelaskan kepada utusan bahwa hukum adat di Kerajaan Luwu mengatur putri Luwu tidak diperkenankan menikah dengan pemuda dari negeri lain dan kemudian kembalilah sang utusan ke Kerajaan Bone.
Keesokan harinya, tiba-tiba negeri Luwu geger. Putri Tandampalik terserang penyakit kusta. Sekujur tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat menjijikkan. Para tabib istana mengatakan, Putri Tandampalik terserang penyakit menular yang sangat berbahaya. Berita tentang musibah yang menimpa sang Putri sudah tersebar ke seluruh negeri. Rakyat negeri Luwu sangat bersedih atas penyakit yang diderita sang Putri yang mereka cintai itu. Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan putrinya ke suatu tempat yang jauh. Datu Luwu khawatir penyakit putrinya akan menular ke seluruh rakyatnya. Dengan berat hati, Datu Luwu terpaksa harus berpisah dengan putri yang sangat dicintainya itu. Berangkatlah sang Putri dengan perahu bersama beberapa pengawal istana. Setelah mempersiapkan segala perbekalan yang dibutuhkan, berangkatlah mereka ke suatu daerah yang jauh dari Kerajaan Luwu. Berbulan-bulan sudah mereka berlayar tanpa arah dan tujuan.
Suatu hari, tampaklah bagi mereka sebuah pulau dari kejauhan. Tak berapa lama, sampailah mereka di pulau itu. Seorang pengawal yang lebih dahulu menginjakkan kakinya di pulau itu menemukan buah Wajao. Pengawal itu kemudian memetik beberapa biji buah Wajao untuk sang Putri. Sejak saat itu, Putri Tandampalik beserta pengawalnya memulai kehidupan baru. Mereka hidup dengan penuh kesederhanaan. Namun mereka tetap bekerja keras dengan semangat dan gembira. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tak terasa satu tahun sudah mereka berada di tempat itu.
Suatu waktu, Putri Tandampalik duduk di tepi danau yang terletak di tengah pulau itu. Tiba-tiba seekor kerbau putih menghampiri dan menjilati kulit sang Putri dengan lembut. Semula, sang Putri hendak mengusirnya. Tapi, hewan itu tampak jinak dan terus menjilatinya. Akhirnya, didiamkan saja. Sungguh ajaib!!! Setelah berkali-kali dijilat kerbau itu, kulit sang Putri yang mengeluarkan cairan tiba-tiba hilang tanpa bekas. Kulit sang Putri kembali halus, mulus dan bersih seperti sediakala. Karena mukjizat itu, sang Putri memberi titah kepada seluruh pengawalnya bahwa mulai saat itu tidak diperbolehkan menyembelih dan memakan kerbau putih yang ada di pulau itu. Permintaan sang Putri itu langsung dipenuhi seluruh pengawalnya. Hingga kini, kerbau putih yang ada di Pulau Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak. Kemudian masyarakat setempat menyebut kerbau putih itu sebagai SAKKOLI.
Suatu waktu, Putri Tandampalik duduk di tepi danau yang terletak di tengah pulau itu. Tiba-tiba seekor kerbau putih menghampiri dan menjilati kulit sang Putri dengan lembut. Semula, sang Putri hendak mengusirnya. Tapi, hewan itu tampak jinak dan terus menjilatinya. Akhirnya, didiamkan saja. Sungguh ajaib!!! Setelah berkali-kali dijilat kerbau itu, kulit sang Putri yang mengeluarkan cairan tiba-tiba hilang tanpa bekas. Kulit sang Putri kembali halus, mulus dan bersih seperti sediakala. Karena mukjizat itu, sang Putri memberi titah kepada seluruh pengawalnya bahwa mulai saat itu tidak diperbolehkan menyembelih dan memakan kerbau putih yang ada di pulau itu. Permintaan sang Putri itu langsung dipenuhi seluruh pengawalnya. Hingga kini, kerbau putih yang ada di Pulau Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak. Kemudian masyarakat setempat menyebut kerbau putih itu sebagai SAKKOLI.
Pada suatu hari, pulau Wajo kedatangan serombongan pemburu. Mereka Putra Mahkota Kerajaan Bone yang didampingi Anreguru Pakanranyeng, Panglima Kerajaan Bone dan beberapa pengawalnya. Saking asyiknya berburu, Putra Mahkota Raja Bone tidak sadar kalau sudah terpisah dari rombongannya dan tersesat di hutan. Ia terus berteriak memanggil panglima dan para pengawalnya. Berkali-kali sang Putra Mahkota berteriak, namun tidak ada jawaban. Menjelang malam, Putra Mahkota Kerajaan Bone pun memutuskan untuk berstirahat di bawah sebuah pohon besar, karena kelelahan seharian berburu. Malam semakin larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya. Suara-suara binatang malam membuatnya terus terjaga dan gelisah. Di tengah gelapnya malam, tiba-tiba ia melihat seberkas cahaya dari kejauhan. Semakin lama, pancaran cahaya itu semakin terang. Putra Mahkota sangat penasaran ingin mengetahuinya. Ia kemudian memberanikan diri untuk mencari sumber cahaya itu. Dengan tertatih-tatih, Putra Mahkota berusaha berjalan mengikuti kaki melangkah menelusuri gelapnya malam. Akhirnya, sampailah di sebuah perkampungan yang ramai dengan rumah-rumah penduduk. Setelah ia memasuki perkampungan itu, sumber cahaya itu semakin jelas terdapat di sebuah rumah yang nampak kosong. Dengan melangkah pelan-pelan, Putra Mahkota mendekati dan memasuki rumah itu. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis yang cantik sekali bak bidadari sedang menjerang air di dalam rumah itu. Gadis cantik itu tidak lain Putri Tandampalik.
Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri Tandampalik sangat kagum dengan kehalusan tutur bahasa Putra Mahkota. Meski ia seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati. Sebaliknya, bagi Putra Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis yang anggun dan tidak sombong. Kecantikan dan penampilannya yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsung menaruh hati. Namun, Putra Mahkota tidak bisa berlama-lama di Pulau Wajo menemani Putri Tandampalik, karena ia harus kembali ke negerinya untuk menyelesaikan beberapa kewajibannya di Istana Bone.
Sejak perjalanan dari Pulau Wajo sampai ke Kerajaan Bone, Putra Mahkota selalu teringat pada wajah cantik Putri Tandampalik. Ingin rasanya Putra Mahkota tinggal di Pulau Wajo. Anreguru Pakanyareng yang lebih dulu tiba di negeri Bone setelah berpisah dengan Putra Mahkota di Pulau Wajo, mengetahui apa yang dirasakan putra rajanya itu. Ia sering melihat Putra Mahkota duduk termenung seorang diri di tepi telaga. Karena tidak ingin melihat tuannya terus bersedih, maka Anreguru Pakanyareng segera menghadap dan menceritakan semua kejadian yang pernah mereka alami di Pulau Wajo. Sesampainya di pulau itu, Putri Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra Mahkota. Putri Luwu hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan ayahnya ketika ia diasingkan.
Perjalanan berhari-hari ia jalani penuh dengan semangat. Setibanya di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu. Datu Luwu dan permasuri sangat gembira mendengar berita baik itu. Datu Luwu sangat kagum dengan perangai Putra Mahkota. Datu Luwu merasa Putra Mahkota Kerajaan Bone seorang pemuda yang gigih, bertutur kata lembut, sopan dan penuh semangat. Tanpa berpikir panjang lagi, Datu Luwu menerima keris pusaka itu dengan tulus. Hal ini berarti lamaran Putra Mahkota diterima. Tanpa menunggu lama, Datu Luwu dan permaisuri datang mengunjungi Pulau Wajo untuk menemui putri kesayangannya. Pertemuan Datu Luwu dengan putri tunggalnya sangat mengharukan.
Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Raja Bone di Pulau Wajo. Pesta pernikahan mereka berlansung sangat meriah. Seluruh keluarga dari dua Kerajaan Besar di Sulawesi Selatan itu sangat gembira dengan pernikahan itu. Putri Tandampalik dan Putra Mahkota hidup bahagia. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Ia menjadi raja yang arif dan bijaksana. Maka semakin bertambahlah kebahagiaan mereka.
Publish : La Rumpa