Mengenal Sejarah Ritual Karampuang KABUPATEN SINJAI -->
Cari Berita

Mengenal Sejarah Ritual Karampuang KABUPATEN SINJAI

Sebuah Kampung yang dikenal dengan sebutan KARAMPUANG yang terletak di kecamatan bulupoddo kabupaten sinjai sulawesi  selatan sekitar 40 km dari pusat kota sinjai.
untuk  menggapai kampung tersebut memerlukan waktu yang lama karena melawati jalan yang rusak dan pendakian yang tinggi,meski melewati pendakian tentunya orang yang berkunjung dikampung itu tidaklah bosan karena penghijauan dan pemandangan gunung-gunung yang begitu indah disaat menelusuri kampung itu.

nama karampuang bukanlah hal yang aneh bagi masyarakat sulawesi selatan.karena nama karampuang hampir ditemukan di seluruh derah termasuk kota makassar, Karampuang memiliki nilai historis dan peninggalan arkeologi serta rumah adat pada kawasan adat yang terletak di kampung tradisional Karampuang.

di kawasan adat akan dijumpai dua buah rumah adat dengan berbagai symbol keberadaan sejarah besar bagi masyarakat Sinjai pada khususnya. Selain rumah adat akan ditemukan pula beberapa tempat yang bernilai sejarah tinggi seperti Goa Cucukan yang berisi batu barrtulis mirip prasasti, sumur adat, dolmen kuburan-kuburan kuno dan sumur Karampuang yang besar.
Dalam kawasan ini pula diadakan pesta adat terbesar di Kabupaten Sinjai yaitu Mappogau Sihanua dimana dalam pesta ini dihadiri oleh para pemuka adat karampuang, masyarakat Sulawesi Selatan dan para aparatur daerah dan propinsi.

Sejarah memaparkan sesuai dengan Lontarak bahwa cikal bakal keberadaan kawasan adat ini dimulai dengan kisah ketika bumi ini masih digenangi oleh air, namun justru Karampuang dan daerah sekitarnya tidak digenangi yang disebut Cimbo. Makna kata Cimbo ini adalah wilayahnya bagaikan tempurung yang menyembul seperti tempurung kelapa di tengah genangan air.
Di puncak inilah yang kelak ditemukan seorang yang tak dikenal yang mana akhirnya diberi gelar Manurungnge ri Karampulue yang artinya seseorang yang karena kehadirannya membuat seluruh warga merinding. Setelah To Manurungnge ri Karampulue lama menetap bersama warganya tiba-tiba berpesan eloko tuo tea, mate eloka madeceng, tea maja. Kata-kata ini adalah wasiat kepada warga Karampuang guna kemaslahatan warga itu sendiri. Tak lama kemudian To Manurungnge ri Karampulue setelah memberikan pesannya ia tertidur dan menghilang. Setelah menghilang muncullah tujuh orang yang masyarakat setempat memberikan gelar to manurung baru yang disebut Manurung Pitue. Kelak mereka inilah yang dikirim untuk menjadi raja-raja baru pada Cimbo-cimbo baru setelah air surut sebanyak tujuh kali. Adapun tempat yang dituju adalah Ellung Mangenre, Bong langi, Bontona Barue,Carimba, Lante, Amuru, Tassese. Adapun yang tinggal di Karampuang adalah seorang wanita yang diyakini merupakan
jelmaan dari Manurungnge ri Karangpulue yang menghilang sebelumnya. Inilah awalnya sehingga rumah adat Karampuang dilambangkan dengan seorang wanita, sedangkan saudara-saudaranya yang lain adalah laki-laki sehingga dalam Lontarak selalu diungkapkan dengan Lao Cimbonna, Monro Capenna.

Pada saat keenam saudaranya tersebut hendak pergi menempati wilayah-wilayah baru sekaligus menjadi Raja, saudara wanitanya berpesan No'no makaale lembang, numaloppo kualinnrungi, numatanre, mukkelo kuakkelori, ualai lisu.
Maksud dari pesan diatas adalah bahwa silahkan pergi menjadi Raja di tempat lain, namun kebesaran kerajaanmu kelak harus melindungi Karampuang, raihlah kehormatan namun kehormatan itu akan turut menaungi kehormatan leluhurmu. Meskipun demikian, segala kehendakmu haruslah atas kehendakku juga, apabila segala kebesaran dan segala kehormatanmu itu tidak aku ambil kembali.

Setelah keenam saudaranya itu menjadi Raja maka keenamnya membentuk masing-masing dua Gella baru sehingga terciptalah 12 Gella selain Karampuang sebagai induk yakni Bulu, Bicu, Sulewatang Salohe, Satengnga, Pangepenna Satengnga yang hingga saat ini menjadi pendukung utama budaya Karampuang.

Pada mulanya rumah Adat Karampuang berupa Gubuk yang amat sederhana yani berupa tiang satu dan terletak di puncak Gunung Karampuang. Namun dalam perkembangan selanjutnya, rumah Adat ini di pindahkan ke Toanja yakni kurang lebih 500 meter kearah kaki Gunung dan bentuknya dikembangkan menjadi rumah dengan tiang yang berjumlah tiga buah. Namun karena Agama Islam telah memasuki wilayah Karampuang dengan membawa ajaran yang baru, maka rumah adatnya juga disesuaikan dengan ajaran yang baru itu. Untuk itu maka rumah Adat tersebut dipindahkan lagi ke lokasi baru dan rumah adat yang dahulu yang jumlahnya hanya satu buah ditambah menjadi dua buah dengan ukuran yang lebih besar dan bentuk yang lebih baik. Lokasi baru yang dimaksud adalah Mallenreng yang saat ini dihuni oleh Tomatoa dan ke Ma'nyaha (Hidup). ini bermakna agar kiranya tradisi leluhur yang telah diwariskan oleh Nenek Moyangnya tetap diwariskan dan tetap hidup selamanya.

Sebagai suatu bangunan yang memiliki makna sakral, pemindahannya juga tentunya mengandung makna yang dalam serta melalui pertimbangan yang matang dari para pendukung budaya Karampuang.  Karena Agama Islam telah menjadi keyakinan baru pendukung budayanya, sementara rumah adat adalah merupakan pusat dari aktivitas adat sesuai dengan yang telah digariskan oleh leluhurnya, maka untuk menjembatani kedua keinginan ini tentu saja harus ada penyesuaian. Penyesuaian yang dimaksud adalah memasukkan unsur-unsur Agama Islam dipadu dengan simbol-simbol wanita yang telah lama diyakini oleh para pendukungnya. Namun dengan perpaduan diantara keduanya justru menambah kharisma rumah adat ini.

Rumah Adat Tomatoa dan rumah Adat Gella dari segi ukuran nampaknya tidak jauh berbeda yakni memiliki ukuran kurang lebih 15x11 m, perbedaannya terletak pada simbol kekuasaannya yakni atap yang bersusun dua rumah Tomatoa sedangkan rumah Gella tidak bersusun. Perbedaan lainnya adalah pada Timpa Laja yang bersusun dua pada rumah Gella.

Rumah adat Karampuang sebagai rumah kembar (meski berjauhan) memiliki banyak simbol dan memiliki banyak fungsi dikalangan pendukungnya. Sebagai sebuah rumah adat tentunya memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan dengan rumah warga lainnya. Perbedaan ini bukan secara kebetulan, Tetapi melalui proses yang panjang dengan nilai-nilai simbolik yang dikandungnya.
Kalau pada kebanyakan rumah adat di Sulawasi Selatan, penempatan tangga sebagai sarana vital untuk naik turunnya penghuni rumah serta para tamu selalu ditempatkan di depan rumah apakah membujur searah panjang rumah seperti pada kebanyakan rumah-rumah Makassar, atau menyamping sesuai dengan lebar seperti pada rumah-rumah Bugis, namun pada rumah adat Karampuang justru diletakkan di tengah-tengah rumah. Sebagai rumah adat dengan simbol wanita, maka penempatan tangga ini adalah makna simbolik sebagai (maaf) kemaluan wanita, tempat orang pertama kali keluar dari rahim Ibu. Tangga ini mempunyai pintu yang  disebut dengan Batu Lappa dengan pemberat dari batu yang bundar dan juga simbol bagian dari kemaluan wanita. Karena posisi pintu dengan lantai rumah maka untuk membukanya haruslah menolak ke atas untuk menggeser pemberat batu tersebut. Pintu ini berfungsi pula untuk mengakhiri perkara yang diajukan oleh warga.

Dalam hal penempatan dapur, posisi belakang rumah adalah hal yang sangat lazim kecuali pada rumah adat Kajang yang menempatkannya di depan pintu sebagai simbol dari keterbukaan kepada tamunya. Tapi pada rumah adat Karampuang, posisi dapur diletakkan sejajar posisi pintu yang memiliki simbol sebagai buah dada wanita, sumber kehidupan. Sebagai sumber kehidupan manusia, maka pada dapur inilah dipersiapkan segala makanan yang hendak dimakan di rumah adat.

Karena simbol buah dada wanita maka jumlahnya juga ada dua buah sesuai dengan jumlah buah dada wanita. Sebagai seorang wanita tentu salah satu pembeda dengan pria adalah pada telinganya yang berhias. Untuk itu maka telinganya dirancang khusus dan disebut dengan bate-bate kiri dan bate-bate kanan dengan hiasan ukiran kayu yang bermakna anting-anting, layaknya seorang wanita yang anggun, lengan dan bahu digambarkan dengan sonrong yakni tangga yang ditinggikan diletakkan di depan rumah dan belakang difungsikan sebagai tempat tinggal penghuni.

Karena sebagai tangan yang senantiasa bertindak maka pada sonrong belakang rumah ditempatkan semua Arajang yakni benda sakral, pelengkap adat, simbol wanita yang lain adalah adanya hilua yakni talia hitam dari serat Enau dan dililitkan dihubungkan dengan rumah serta bahan untuk timpa laja. Untuk bahan lainnya, rumah adat ini hanya menggunakan bahan yang sangat alami dan sederhana yaitu Bambu. Penggunaan bambu sebagai bahan lantai ialah karena dalam lontarak yang mereka pegang mengatakan bahwa tulang-tulang rusuk serta ruas jari manusia disebut dengan buku lapa tellang.

Olehnya itu maka bahan dasar dari lantainya tellang yakni bambu yang berukuran kecil dan memiliki kekuatan yang cukup baik untuk bahan lantai. Sebagai bahan pengikat digunakan tanpeng yakni sejenis rotan yang untuk mencarinya di hutan adat harus dipimpin langsung oleh Tomatoa mengingat tamping itu sendiri banyak jenis .Tampeng dalam lontarak adalah simbol dari urat atau URE. Fungsi tampeng ini tidak boleh digantikan dengan benda lain termasuk paku sekalipun. Untuk merangkai bilahan-bilahan bambu menjadi salima membutuhkan teknik dan ukuran tersendiri yaitu dengan memasang berdasarkan urutan-urutan petak yang berjumlah 12 petak lantai. Jumlah yang 12 ini adalah sebagai simbol dari banyaknya Gella-Gella yang merupakan pendukung utama budaya Karampuang. Simbol-simbol dari 12 pada lantai  ialah karena pada saat keenam saudara pria dari pemimpin wanita Karampuang hendak menempati cimbo-cimbo seperti yang telah diuraikan didepan adalah masing-masing membentuk
2 Gella, dengan demikian maka terdapat nilai simbolik bagi seluruh pendukung budaya Karampuang untuk tetap mendapat tempat dan tetap merupakan bagian dari kebesaran Karampuang.

Muncul suatu pertanyaan, apakah diantara keduabelas gella yang dibentuk oleh manurung pitue yang menempati cimbo baik itu pula dari kerajaan Tellulimpoe yang masing-masing membentuk dua gella.Kecurigaan ini didasari pada suatu fakta dimana Tellulimpoe yang terdiri dari kerajaan Tondong,Lamatti, serta Lamatti yang memiliki masing-masing 2 gella..
Dalam sejarah Tellulimpoe telah disebutkan bahwa kerajaan federasi ini dalam perkembangannya tetap mempertahankan wilayahnya dengan hanya memiliki dua gella, yakni Tondong dengan Gella Tokka dan Kolasa, Bulo-bulo dengan Gella Saukang dan Samataring serta Lamatti dengan Gella Tokka Panreng yang memperkuat lagi adalah ditemukannya ornament pada rumah adat Karampuang berupa tanduk kerbau yang diyakini sebagai simbol persaudaraan dengan Tondong dan Manimpahoi serta Tobona sebagai simbol persahabatan dengan Lamatti dan Bulo-bulo. Namun kebesaran asumsi ini sepenuhnya diserahkan kepada sejarawan yang lebih berkompeten. Kalau kita amati secara mendalam dari faktor-faktor pendukung budaya Karampuang untuk turut terlibat memeliharanya. Bahan-bahan bangunan ditanggung bersama dan dikerjakan bersama.Hal ini paling unik dalam upaya melestarikan rumah adatnya ialah apabila ditemukan adanya kerusakan berupa bahan kayu, maka penggantinya akan dicari dalam hutan adat
melalui proses pencarian yang dipimpin langsung oleh Gella. Dalam hal ini masyarakat yang ikut terlibat tidak boleh mengangkat kayu pengganti tersebut melainkan harus menarik secara beramai-ramai, serta diiringi oleh pembacaan osong sepanjang perjalanan dan tetabuhan yang mengiringinya. Kesemuanya itu dipimpin langsung oleh gella dan menjadi sebuah hiburan tersendiri bagi para penarik kayu yang kadang-kadang memakan waktu satu hari penuh.

Pada bagian depan tulisan ini telah disinggung bahwa pada saat Agama Islam dianut oleh masyarakat Karampuang, maka rumah adatnya yang mula-mula berjumlah satu buah menjadi dua buah. Pada bangunan rumah adat Karampuang, simbol Islam yang pertama kali nampak adalah pada tiang-tiangnya yang berjumlah 30 buah. Jumlah ini adalah sebagai simbol dari jumlah juz dalam Al qur’an. Baris-baris tiang terdiri dari enam baris adalah sebagai simbol Rukun Iman serta lima petak rumah sebagai simbol Rukun Islam. Tiang rumah yang berjumlah 30 buah ini kesemuanya memiliki sambungan walaupun bahan tiang itu sebenarnya cukup untuk sebuah tiang utuh. Tiang ini berdasarkan ketentuan lontarak bahwa harus dipotong kemudian disambung kembali sebagai simbol dari tulang kaki yang berus-ruas dan memiliki persendian. Simbol Islam lainnya adanya bentangan kayu sebesar tiang rumah membujur dari timur kebarat berjumlah lima buah yang disebut dengan here. Kata here adalah barat yang
merupakan arah kiblat, jumlah lima buah ini adalah simbol dari jumlah Shalat wajib bagi manusia setiap hari.

Letak rumahpun memiliki makna yaitu rumah Adat Tomatoa menghadap ke barat dimana adalah simbol ke arah Akhirat bahwa pada rumah Adat Tomatoa lah tempat membicarakan hal-hal yang ritual. Rumah Gella menghadap ke timur dimana adalah simbol arah dunia sehingga fungsinya sebagai tempat untuk membicarakan hal-hal yang besifat dunia seperti mengadili perkara, masa tanam dan panen serta segala urusan kemasyarakatan. Pada pelaksanaan Lebaran yakni lebaran Idul Fitri para masyarakat terlebih dahulu berkumpul di rumah Adat Tomatoa setelah shalat subuh lalu menuju ke mesjid, sedangkan pada lebaran Idul Adha para masyarakat terlebih dahulu berkumpul di rumah Gella sebelum ke mesjid untuk melaksanakan lebaran.

Sebagai sebuah rumah adat dari sebuah komunitas, maka peran rumah adat sebagai warisan bersama dari leluhur yang sama dengan mendukung budaya yang semakin hari semakin banyak, tentu dibutuhkan sarana untuk berkumpul menjalankan tradisi. Dengan demikian maka peran rumah tangga dapat semakin kuat sebagai sentral dari semua akitivitas adat.
Untuk melengkaipi peran adat tentunya dibutuhkan perangkat-perangkat adat yang bertugas untuk mempertahankan tradisi leluhur dibidang tugas yang telah digariskan oleh perangkat adat yang dimaksud adalah sosok yang ditokohkan dan dipercaya untuk menjalankan tradisi leluhur. Untuk tugas ini oleh masyarakat Karampuang menyerahkan sepenuhnya kepada Tomatoa, Gella Sanro dan Guru. Keempatnya disebut “Eppa alliri tettepona hanuae” yang digambarkan dengan ungkapan dalam Lontarak :




sumber: situs resmi kabupaten sinjai//kebudayaan dan pariwisata
By Jumardi Warga Sinjai