Tradisi "Mattimpa Bubung dan Lawa Bura"
Mensucikan Diri dan Mensyukuri Panen
Beragamnya Tradisi Bugis Bone menjadi suatu kekayaan budaya yang harus dilestarikan. Kewajiban dan Tanggung jawab generasi muda saat ini untuk terus melestarikannya karena tradisi dan budaya tersebut sarat akan makna-makna kehidupan.
Salah satunya adalah tradisi "mattimpa bubung" dari Patangnga kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone. Secara Harfiah kata Mattimpa Bubung berasal dari bahasa Bugis yang berarti 'mattimpa = menimba/menguras' dan 'bubung=sumur', sehingga kata 'mattimpa bubung' dapat dimaknai sebagai ritual membersihkan sumur dengan cara menguras habis airnya.
Di Patangnga sendiri, ritual Mattimpa bubung digelar dua sumur kramat, oleh masyarakat setempat, sumur itu diberi nama 'bubung purane=sumur lelaki' dan 'bubung makkunrai=sumur perempuan'. tradisi Mattimpa Bubung digelar tiap tiga kali panen raya yang didapatkan masyarakat setempat.
Pada ritual ini, semua lelaki yang ada di Patangnga turun ke sumur dan membersihkan sumur tersebut sehingga benar-benar bersih, sementara para perempuan di tempat itu menyediakan makanan khas yang bernama 'Lawa Bura' untuk dimakan bersama usai membersihkan sumur.
Lawa Bura adalah salah satu makanan khas suku Bugis, Lawa Bura adalah makanan yang berbahan dasar inti pohon pisang yang dicacah hingga halus lalu dicampur dengan ikan mentah sebagai lauknya.
Salah seorang tokoh masyarakat setempat, Tidar, menceritakan kedua sumur keramat tersebut telah ada sejak jaman dahulu. kedua sumur tersebut dibuat untuk memisahkan antara perempuan dan laki-laki, sehingga di sebut bubung purane dan bubung makkunrai atau sumur lelaki dan sumur perempuan.
Pemisahan tersebut agar aktifitas mandi ditempat tersebut berbeda dan tidak boleh berbaur, dan jika melanggar akan diasingkan atau diusir dari desa.
"Sumur pria dibuat untuk warga yang berjenis kelamin pria dan tidak boleh ada perempuan yang mandii ataupun melakukan aktivitas lain disumur ini, sebaliknya juga pria tidak diperbolehkan ke sumur perempuan, dan jika ada yang melanggar akan di asingkan dan tidak diperbolehkan untuk tinggal di Desa ini," ungkapnya.
Tida menambahkan, ritual ini menyimbolkan penyucian diri warga desa Patangnga, selain itu tradisi ini sebagai tanda kesyukuran warga kami atas panen raya yang diterima.
"Usai membersihkan kedua sumur itu, dilanjutkan dengan mabbaca-baca (membaca doa) dan makan lawa bura," pungkasnya.
Prosesi mattimpa bubung terlihat para pria membersihkan sumur saling melempar lumpur, pada saat itu diselingi aksi saling melempar lumpur, aksi tersebut menambah keseruan tradisi mattimpa bubung dan menambah keakraban masyarakat setempat dan pendatangyang datang menyaksikan proses mattimpa bubung
Laporan : La Makkelori
Mensucikan Diri dan Mensyukuri Panen
Beragamnya Tradisi Bugis Bone menjadi suatu kekayaan budaya yang harus dilestarikan. Kewajiban dan Tanggung jawab generasi muda saat ini untuk terus melestarikannya karena tradisi dan budaya tersebut sarat akan makna-makna kehidupan.
Salah satunya adalah tradisi "mattimpa bubung" dari Patangnga kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone. Secara Harfiah kata Mattimpa Bubung berasal dari bahasa Bugis yang berarti 'mattimpa = menimba/menguras' dan 'bubung=sumur', sehingga kata 'mattimpa bubung' dapat dimaknai sebagai ritual membersihkan sumur dengan cara menguras habis airnya.
Di Patangnga sendiri, ritual Mattimpa bubung digelar dua sumur kramat, oleh masyarakat setempat, sumur itu diberi nama 'bubung purane=sumur lelaki' dan 'bubung makkunrai=sumur perempuan'. tradisi Mattimpa Bubung digelar tiap tiga kali panen raya yang didapatkan masyarakat setempat.
Pada ritual ini, semua lelaki yang ada di Patangnga turun ke sumur dan membersihkan sumur tersebut sehingga benar-benar bersih, sementara para perempuan di tempat itu menyediakan makanan khas yang bernama 'Lawa Bura' untuk dimakan bersama usai membersihkan sumur.
Lawa Bura adalah salah satu makanan khas suku Bugis, Lawa Bura adalah makanan yang berbahan dasar inti pohon pisang yang dicacah hingga halus lalu dicampur dengan ikan mentah sebagai lauknya.
Salah seorang tokoh masyarakat setempat, Tidar, menceritakan kedua sumur keramat tersebut telah ada sejak jaman dahulu. kedua sumur tersebut dibuat untuk memisahkan antara perempuan dan laki-laki, sehingga di sebut bubung purane dan bubung makkunrai atau sumur lelaki dan sumur perempuan.
Pemisahan tersebut agar aktifitas mandi ditempat tersebut berbeda dan tidak boleh berbaur, dan jika melanggar akan diasingkan atau diusir dari desa.
"Sumur pria dibuat untuk warga yang berjenis kelamin pria dan tidak boleh ada perempuan yang mandii ataupun melakukan aktivitas lain disumur ini, sebaliknya juga pria tidak diperbolehkan ke sumur perempuan, dan jika ada yang melanggar akan di asingkan dan tidak diperbolehkan untuk tinggal di Desa ini," ungkapnya.
Tida menambahkan, ritual ini menyimbolkan penyucian diri warga desa Patangnga, selain itu tradisi ini sebagai tanda kesyukuran warga kami atas panen raya yang diterima.
"Usai membersihkan kedua sumur itu, dilanjutkan dengan mabbaca-baca (membaca doa) dan makan lawa bura," pungkasnya.
Prosesi mattimpa bubung terlihat para pria membersihkan sumur saling melempar lumpur, pada saat itu diselingi aksi saling melempar lumpur, aksi tersebut menambah keseruan tradisi mattimpa bubung dan menambah keakraban masyarakat setempat dan pendatangyang datang menyaksikan proses mattimpa bubung
Laporan : La Makkelori