“GENERASI KARTINI TERJERAT DI RANTAI KORUPSI” -->
Cari Berita

“GENERASI KARTINI TERJERAT DI RANTAI KORUPSI”

Lambang Bugis Warta
Oleh : IMMawati Nur Hasana Kim
Kabid Hikmah PC IMM Sinjai Sulawesi Selatan

Karena saya yakin sedalam-dalamnya bahwa wanita dapat memberi pengaruh besar kepada masyarakat, tidak ada yang lebih saya inginkan daripada menjadi guru, agar supaya kelak dapat mendidik gadis-gadis dari para pejabat tinggi kita. O, saya ingin sekali menuntun anak-anak itu, membentuk wataknya, mengembangkan otaknya yang muda, membina mereka menjadi wanita-wanita dari hari depan, supaya dapat meneruskan segala yang baik itu ....
  
(Surat R.A. Kartini kepada Ny. N. Van Kol)

Ekspektasi Kartini mengenai masa depan wanita Indosesia agaknya telah terealisasi. Pasalnya, kemerdekaan wanita dalam mengaktualisasikan dirinya di Bumi Nusantara telah terakomodir. Emansipasi wanita yang lantang diwacanakan terwadahi. Diskriminasi telah dihapuskan, hukum yang melindungi hak kewanitaan juga telah dipagar. Kesetaraan pendidikan hingga singgah sana jabatan pemerintahan juga sudah digenggam. Tetapi dengan segala apa yang telah disandang para wanita Indonesia tersebut, apakah sudah  membentuk kepribadian luhur wanita seutuhnya seperti yang di-angen-angen Kartini? 

Pemberitaan media massa dalam setahun terakhir kuyup dengan deretan tersangka korupsi berjenis kelamin perempuan. Mereka dikenal sebagai sosialita, figur publik, dan pemegang jabatan terhormat di institusi pengambilan keputusan negeri ini.

Gejala itu memunculkan hujatan, kecaman, sekaligus mematahkan argumen dan teori yang pernah jadi referensi. Studi Universitas Maryland (1999), Bank Dunia (1999), Transparency International (TI) Kenya (2001), Universitas Queensland (tanpa tahun), dan Ricol, Lasterie & Associatés (2007) menyatakan bahwa perempuan membayar suap lebih jarang dan korupsi akan turun kalau lebih banyak perempuan terwakili di parlemen.

Publik sering terbelalak dengan tingkah para wanita yang menggegerkan bangsa. Wanita yang dipersepsikan dengan kelembutannya banyak yang terjerat dalam kasus korupsi yang notabene merupakan warisan peradaban feodal patriarki. Jelas, dari jaman Orla, Orba hingga reformasi sekarang ini, kasus-kasus korupsi dijejali kaum lelaki. Sayangnya, rekor dominasi lelaki mulai terpecahkan belakangan ini. 
Nama-nama perempuan tersangkut kasus korupsi (dan derivatnya) mulai bermunculan secara masif. Beberapa sosialita tenar tersandung kasus korupsi, sebut: Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti, Mindo Rosalina Manulang, Wa Ode Nurhayati, Neneng Sri Wahyuni hingga Miranda S. Goeltom. Mereka bukan perempuan biasa-biasa saja, dalam status sosial maupun pendidikannya. Jabatannya juga tidak “ecek-ecek”. Ada anggota DPR, direktur perusahaan hingga mantan pejabat BI. Secara akademis ada yang sarjana, S-2 bahkan profesor doktor. 

Artinya, secara kasat mata, mereka adalah produk sukses emansipasi perempuan Indonesia, buah perjuangan Kartini lebih seabad silam. Ini memerlukan kajian komprehensif dan elaborasi yang dalam, apakah ini gejala emansipasi yang kebablasan? Ataukah ini bentuk lain dari jeratan patriarki masa kini? Bisa jadi para perempuan koruptor tersebut hanyalah “korban” permainan syahwat korupsi para lelaki. Dibelakang Mindo, Angie dan Neneng, ada nama Nazarudin (dan beberapa lelaki kuat yang belum tersentuh). 

Begitupun para penyuap Wa Ode Nurhayati hingga masuk bui, yang ternyata kaum lelaki. Publik paham, awal terseretnya Wa Ode akibat ocehannya hal korupsi di Banggar DPR (mayoritas lelaki).  Ini mengingatkan kisah Mahabharata pada episode perjudian kursi kekuasaan Astinapura, antara Duryudana dan Yudistira, yang berakhir dengan dipermalukannya Drupadi (ditelanjangi) akibat dijadikan  taruhan para wayang lelaki tersebut. Kate Millett (1977) pernah mengatakan, bahwa patriarki membuat perempuan di bawah kontrol kekuasaan, gagasan, kebiasaan dan kebudayaan  lelaki. Sekarang terbukti, sistem koruptif yang selama ini diciptakan dan digeluti para lelaki (pihak dominan), ternyata telah menular ke  perempuan. Ibarat istri baik-baik yang terpapar HIV-Aids akibat suami yang “suka jajan” di luaran.

Fakta diatas menjadi rangkaian kegalauan publik akan menjamurnya korupsi di masyarakat. Kiranya Kartini akan geleng-geleng kepala sekaligus menangis melihat kenyataan ini. Tingginya angka korupsi beriringan dengan dampak yang begitu besar dan meluas yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pola rekrutmen dan nominasi serta promosi di partai politik atas kandidat perempuan masih menunjukkan pola yang tak demokratis dan tak terinstitusiona- lisasi. Ruang korupsi sudah terbuka sejak mereka mengajukan diri menjadi kandidat atau ingin dinominasikan. Ruang korupsi itu terbentang lewat jaringan kekerabatan, modal ekonomi karena kelas sosial yang lebih tinggi, maupun lewat jalur afiliasi organisasi keagamaan, dan jalur kedaerahan. Arena politik yang dibangun lewat patronase politik sangat rentan korupsi.

Pilihan sebagian besar perempuan dalam institusi politik formal adalah ikut arus. Namun, sebagai pihak yang rentan dalam relasi kuasa yang timpang dan jumlahnya kecil (dalam lembaga politik), perempuan adalah pihak pertama yang dikorbankan melindungi kepentingan politik yang lebih besar, yang berpotensi menjerat pemain utama dalam kasus megakorupsi.

Kita semua sepakat, korupsi adalah kejahatan berat yang harus ditindak tegas. Siapa pun pelakunya, lelaki atau perempuan, layak mendapat hukuman setimpal. Terungkapnya berbagai kasus korupsi yang melibatkan perempuan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa perempuan bukanlah makhluk khusus yang imun terhadap kemungkinan penyalahgunaan wewenang. Perempuan juga bisa tergoda untuk serakah dan berbohong, bisa egois mementingkan diri sendiri, curang dalam persaingan bisnis, menyikut lawan dalam persaingan politik dan jabatan, dan lain-lain. Pendek kata, ketika berkuasa di birokrasi, lembaga politik atau bisnis, perempuan juga berpotensi menyelewengkan amanah dan kekuasaannya. Dewi Sartika dan Kartini barangkali tidak menduga sekarang perempuan pun bisa jadi musuh publik yang mencemaskan. Keterlibatan perempuan dalam korupsi juga bukan peristiwa kebetulan. 

Di sana ada motif, rencana , dan tujuan. Mereka harus lihai menyuap ketika harus mendapatkan tambahan jatah kuota impor daging sapi, ketika berusaha memenangi tender proyek, ketika menginginkan jabatan publik yang lebih tinggi, atau ketika berusaha memperoleh izin untuk mengonversi lahan untuk berkebun kelapa sawit, dan lain-lain. Kecenderungan perempuan koruptif yang rendah bisa menjadi manifes dan membesar kalau institusi politik dan hukum juga koruptif, kontrol publik terbatas, dan mekanisme pengawasan internal dan eksternal dalam organisasi tidak bekerja.

“jika wanita cantik adalah bak permata maka wanita budiman bak perebendaharaan kekayaan”(RA.Kartini)

Publish La Barakka 18/12/2014