Cerpen "Senja di Pelabuhan Bajoe" -->
Cari Berita

Cerpen "Senja di Pelabuhan Bajoe"

Eka H. S.Sos
Penulis Eka Handayani, S. Sos

Matahari pagi masih terasa hangat hari itu ketika saya sibuk menyapu dedaunan yang berserakan dihalaman. "Siti,,,,ikannya dibersihin ya, jangan lupa bawa ke rumah nenekmu sebagian" teriak bapak dari dapur sambil memindahkan ikan dari ember ke sebuah baskom. Sebagai keluarga nelayan, seperti inilah keadaan keluarga kami sehari-hari. Bapak turun ke laut menjala ikan sementara ibu menunggu hasil tangkapan bapak untuk dijual ke pasar. 

Saya adalah anak sulung dari tujuh bersaudara, maklum pendidikan bapak sama ibu sebatas SD saja, jadi tidak terlalu peduli dengan program dua anak cukup yang disosialisasikan pemerintah. Beruntung, bapak sama ibu sangat memperhatikan pendidikan saya dan adik-adik, bahkan sekarang saya hampir menyelesaikan gelar sarjana disebuah Perguruan Tinggi swasta yang ada di Kabupaten Bone. Tempat tinggal kami yang berada disekitar pelabuhan Bajoe, terbilang sangat sederhana walaupun banyak juga penduduk yang tinggalnya dirumah besar dengan fasilitas mewah. 

Mereka yang sudah menjadi juragan kapal atau yang punya banyak usaha tentu saja hidupnya juga jauh lebih layak dibanding kami yang hanya nelayan biasa. Tapi bapak mengajari kami agar selalu bersyukur dengan rejeki yang diberikan Tuhan "yang penting kan kalian bisa sekolah, bisa makan, tidak perlu meminta-minta" itu yang selalu bapak ucapkan pada kami. Ibu, saya dan adik-adik juga tak pernah mengeluh dengan keadaan keluarga kami, bahkan kami berusaha untuk selalu saling berbagi dengan sesama walau hidup kami juga terbilang pas-pasan. "Ikannya digoreng aja Ti, adikmu lebih suka ketimbang dimasak ikannya" suara ibu sedikit mengejutkanku saat lagi asyik melamun sambil membersihkan ikan hasil tangkapan bapak "iya bu, saya ngerti" jawabku pelan. Setelah selesai di dapur, saya keluar ke teras rumah sambil membawa nampan berisi segelas kopi untuk bapak, dua gelas teh untuk saya dan ibu serta sepiring ubi yang saya rebus tadi subuh. Seperti biasa, pagi hari begitu bapak pulang dari laut, kami akan duduk diteras, bercengkrama sambil menikmati hangatnya matahari pagi yang menembus langsung ke teras rumah kami. 

Rumah kami memang tepat menghadap ke laut, sebuah rumah berdinding papan dengan cat berwarna hijau yang sudah agak pudar dimakan usia, dengan ukuran yang agak kecil tapi cukup untuk menampung kami sekeluarga. "Gimana kuliah kamu Siti, bapak dengar dari ibumu katanya sudah hampir selesai" tanya bapak sambil meneguk kopi hitam kesukaannya. "Iya pak, setelah ujian skripsinya selesai tinggal tunggu ujian akhir aja, bapak tenang aja, Siti yakin bisa selesai dengan nilai yang bagus, Siti tidak akan mengecewakan bapak" jawabku. "Bapak percaya sama kamu, bapak hanya khawatir tidak bisa melihat kamu menyelesaikan kuliah, kan kamu tau bapak sudah tua" kata bapak, matanya terlihat sendu sambil menerawang jauh ke birunya laut. "Bapak jangan bicara begitu, bapak harus kuat, apa bapak tidak sayang lagi sama saya dan anak-anak" ujar ibu dengan nada suara yang agak serak. "Bapak sama ibu ini kenapa, pokoknya kita semua harus semangat, saya mau kalian semua hadir dan melihat saya saat wisuda nanti. 

Saya mau suatu hari nanti menjadi orang yang sukses dan membuat bapak sama ibu bangga" kataku memberi semangat pada dua orang yang sangat berarti dan sangat berjasa dalam hidupku. Dalam hati ada sedikit haru yang menyeruak, mengingat betapa besar pengorbanan bapak sama ibu selama ini untuk menyekolahkan saya dan adik-adik. Sebagai anak sulung, saya ingin kelak bisa menggantikan bapak menjadi tulang punggung keluarga, saya ingin bapak sama ibu hidup layak dan tenang tanpa harus memikirkan anak-anaknya. Tekad itulah yang membuat saya selalu bersungguh-sungguh mengerjakan setiap tugas kuliah, saya ingin selesai dengan nilai terbaik agar bisa segera mendapatkan pekerjaan. Tak terasa, siangpun berlalu berganti malam yang terasa begitu dingin menusuk hingga ke tulang. Sebelum tidur, saya memeriksa jendela satu persatu untuk memastikan semuanya tertutup rapat. Saat melewati kamar bapak sama ibu, kulihat mereka sudah tertidur dengan pulas. "Kasihan bapak sama ibu, mereka rela tidur dikasur yang keras dan hanya beralaskan selimut tipis, sementara saya dan adik-adik tidur dikasur yang cukup empuk dengan selimut tebal dan bantal guling" gumamku dalam hati sambil terus  memandangi wajah keduanya. Tanpa sadar, tetesan bening jatuh basahi dipipiku. 

Dalam setiap sujud tak henti kuberdoa agar keduanya diberi kesehatan dan kemudahan rejeki, saya ingin mereka selalu bahagia dan tersenyum, karena mereka lah yang menjadi sumber kekuatanku dalam menjalani kerasnya hidup. Perlahan akupun beranjak ketempat tidur, menarik selimut lalu memejamkan mata agar bisa segera tertidur. "Siti,,,bangun,,bapakmu sudah mau pergi" dengan mata setengah terpejam saya bangun dan segera kedapur "maaf bu, cuacanya dingin sekali, jadi keenakan tidurnya" ucapku lalu mangambil rantang dan mengisinya dengan nasi dan lauk untuk bekal bapak. "Nasinya yang banyak Ti, kemarin bapak masih lapar nasinya sudah habis" kata bapak tertawa. Saya sama ibu ikut tertawa "dilaut kan cuma sebentar pak, nanti kalau pulang bisa makan lebih banyak lagi" jawabku. Biasanya kalau berangkat subuh menangkap ikan dengan perahu kecil miliknya, bapak akan kembali kerumah sekitar jam 9 pagi. Setelah rantangnya terisi, bapak justru duduk disebelahku sambil mengelus rambutku "kamu sekolah yang pintar ya Ti, adik-adik sama ibumu butuh kamu, mudah-mudahan kamu nanti jadi orang sukses, jadi bisa bantu keluarga" ujar bapak pelan. "Amin" serentak saya dan ibu mengucapkannya. Meski dalam hati sedikit heran melihat sikap bapak, namun saya dan ibu tak mau berpikir yang tidak-tidak. 

Seperti biasa, bapak pun berangkat ke laut dengan membawa peralatan menangkap ikannya, sementara saya sama ibu sibuk membereskan pekerjaan rumah. Setelah semua selesai, saya menyiapkan kopi itam kesukaan bapak lalu menaruhnya diatas meja. "Sudah jam 10 lebih" ucapku sambil memandangi pintu melihat kalau saja bapak masuk dan membawa ikan hasil tangkapannya. Menjelang dzuhur bapak tak juga kembali. Saya dan ibu menanti diteras dengan penuh rasa khawatir "bapakmu kemana sih Ti, masa' sudah siang begini belum juga pulang" kata ibu dengan nada penuh khawatir. Saya cuma bisa diam, entah harus berkata apa, dalam hati berkecamuk perasaan cemas dan takut terjadi sesuatu sama bapak. Begitu adik-adikku pulang, saya  langsung ke rumah nenek dan bertanya siapa tau mereka ada kabar tentang bapak "tidak ada Ti, bapakmu kesini kemarin sore, tapi cuma sebentar, katanya khawatir sama kalian" kata nenek yang terlihat cemas juga mendengar cerita saya. Tiba di rumah, ibu dan adik-adikku berebut bertanya kabar tentang bapak "katanya nenek juga tidak tau, dia ketemu bapak kemarin sore, hari ini belum pernah ketemu" jawabku. 

Menjelang senja terdengar suara ribut orang-orang dari tepi laut "ada mayat" begitu kata-kata yang mereka ucapkan berulang. Tanpa menunggu lama, saya langsung menuju ke kerumunan orang tersebut, dan alangkah kagetnya saya saat melihat mayat siapa yang kini terbujur kaku depan mata saya "bapak............." Teriakku, dan setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Saat terbangun, kudapati ibu sedang menangis sambil memeluk adik-adikku. "Mana bapak" tanyaku lalu segera ke ruang tamu. Kulihat ruangan itu sudah dipenuhi para tetangga, keluarga dan kerabat, sementara jasad bapak sudah siap untuk dimakamkan. Dengan menahan airmata, kuhampiri jasad yang terbungkus kain kafan tersebut., lalu kubiarkan mereka mengangkatnya untuk dibawa ke pemakaman. 

Semuanya seperti mimpi buruk bagiku, tak sepatah kata keluar dari mulutku, hanya doa yang tak henti kuucap dalam hati. "Apa mungkin semua yang diucapkan bapak akhir-akhir ini adalah pesan terakhirnya" tanyaku dalam hati. Begitu semua proses pemakaman selesai, semua yang datang melayat pun satu-persatu pamit sama saya dan ibu. Rumah jadi hening seketika, adik-adikku tertidur pulas di ruang tamu, mungkin kelelahan. Dengan lemas kubereskan gelas dan piring yang berserakan untuk dicuci. Setelah itu, kuhampiri ibu yang masih saja terisak dikamar "ibu harus kuat, demi saya dan adik-adik, ikhlaskan kepergian bapak, semoga bapak tenang dialam sana" ujarku mencoba menenangkan hati ibu. Hari berganti, bulan pun berlalu. Meski berat, saya dan ibu harus saling membantu untuk dapat terus bertahan hidup tanpa bapak. 

Dengan sisa uang yang ada, ibu mencoba berjualan sembako di rumah, walau tak seberapa setidaknya cukup untuk makan dan sekolah adik-adik. Akhirnya, hari yang saya dan keluarga nantikan pun tiba, saya akan di wisuda. Sejak pagi saya sudah sibuk mempersiapkan semuanya, mulai dari baju ibu juga adik-adik saya yang akan mendampingi pada saat wisuda nanti. Ketika melihat diri di cermin dengan pakaian wisuda dan toga, airmataku pun menetes perlahan "ini impian bapak, hari yang bapak tunggu dan hari dimana seharusnya bapak ada disini bersama kami" gumamku dalam hati. 

Walau penuh haru karena harus melewatkan wisuda tanpa bapak, semuanya berakhir baik, dan ibu bisa bangga karena saya diberi penghargaan sebagai mahasiswa terbaik dengan nilai tertinggi, bahkan saya langsung ditawari mengajar sebagai dosen di kampus tempat saya kuliah. Ibu terlihat bahagia hari itu, tak henti dia memuji saya dan memberi semangat pada adik-adik saya untuk terus belajar biar kelak bisa juga menyelesaikan pendidikan sampai di perguruan tinggi. Kupeluk ibu, kubiarkan airmataku mengalir, karena kuyakin airmataku ini kelak akan jadi airmata bahagia. Kuyakinkan ibu, bahwa saya akan selalu ada untuk mereka dan saya akan lakukan yang terbaik agar kami semua bisa hidup lebih bahagia. 

Publish : La Barakka