Cerpen : Secercah Sang Surya (1) -->
Cari Berita

Cerpen : Secercah Sang Surya (1)

Penulis : Uswatun Hasanah Junaid
Uswatun Hasanah Junaid

“Nanti aku sms mama, soalnya aku sedang kuliah sekarang...” 
Ku tekan tombol merah telepon genggamku setelah menerima telepon dari ibuku dikampung tanpa menunggunya mengucapkan salam bahkan aku saja lupa mengucapkan salam penutup pada ibuku dan kulanjutkan lagi mengerjakan tugas mata kuliah translation bersama teman-teman kelompokku. Ketika aku berdiskusi dengan teman satu kelompokku mengenai tugas yang diberikan, kurasakan jantugku berdetak tidak seperti biasanya, perasaan aku gelisah tidak tenang dan tidak bisa fokus mengerjakan tugas. Aku langsung teringat ibuku yang barusan kututup teleponnya dengan paksa.

“astaghfirullah al’adziim... astaghfirullah al’adziim... maafkan aku ya Allah, maafkan hambamu ini karena telah berbuat aniaya, maafkan anakmu ini bu”. Lirihku didalam hati sambil mengusap-usap dada dan aku pun langsung menelepon ibu. 

“assalamu’alaikum bu”. Sapaku lebih awal
wa’alaikum salam nak”. Jawab ibuku
maafkan tentang tadi ya bu, aku tutup teleponnya duluan karena aku lagi kerja tugas”. 
tidak apa-apa nak, ibu paham dengan kondisimu tadi justru ibulah yang harus minta maaf karena telah membuyarkan konsentrasimu”.
oya bu, tadi ibu mau bicara apa?”
ooo itu, ibu cuma mau tanya tentang kirimanmu yang kemarin ke ibu”.
memangnya kenapa bu? Kurang ya bu? Atau ibu tidak suka?”.
“bukan begitu nak, bukan sama sekali... emmm, ibu hanya menginginkan satu hal dari kamu untuk dikabulkan demi ibu”.
“iiiihhh ibu, suaranya dramatis sekali seperti di film-film. Memangnya apa sih yang ibu mau?”.

“ibu sudah merasa cukup dengan uang yang setiap bulan kau kirimkan untuk ibu dan adikmu, usaha ibu disini Alhamdulillah sudah bisa menghidupi ibu dan ketiga adikmu dan Fadia adikmu kemarin sudah masuk sekolah dasar, ibu kangen denganmu nak, kaangeen sekali, kapan kamu pulang? Ibu tidak minta kiriman uangmu lagi nak, ibu minta kamu pulang ke kampung, pulang kerumah kumpul dengan ibu dan adik-adikmu disini, hiks hiks hiks...”

Tak terasa kristal bening keluar dari pelopak mataku dan meleleh membasahi pipiku, namun segera kuhapus air mataku berusaha tegar agar ibu tidak tahu kalau aku sedang meneteskan air mata.
“Looohhhh... ibu malah nangis, jangan nangis ah kayak anak kecil nanti fadia dapat saingan baru jadi jagoan menangis dirumah. Eemmm, insyAllah akhir bulan 5 saya pulang bu”.
“hahahahhaha... ada-ada saja kamu nak, baiklah ibu tunggu kamu akhir bulan 5 dan jangan sampai batal lagi ya?”
“hehehehe... kan saya bilang InsyAllah bu akan saya usahakan. Oke mother?”
“uuuhhhh... kamu itu sok pake’ bahasa dapur lagi, ya udah lanjutkan kerja tugasnya sana”.
“heheheh... oke mother, Assalamu’alaikum”.
“wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”.

Kuhapus lagi sisa-sisa kristal bening dipipiku setelah menutup telepon dari ibu agar teman-temanku tidak heboh kalau melihat wajahku lembab karena air mata.
Jika ada seorang gadis yang berjilbab yang panjangnya sampai kebawah dada, memiliki wajah bundar seperti bola, tinggi 160 cm,berhidung mancung,bermata bulat seperti bunglon dan berkulit eksotis seperti farah queen, namun semenjak kerja berubah jadi kecokelatan seperti asap knalpot yang bobrok tapi masih manis koq heheheh,,, itulah aku MUMTAHANAH DAHLAN dan biasa dipanggil hana biasa teman-teman memanggil muntah kalau keusilan mereka datang lagi. Sekarang aku sudah masuk usia 20 tahun masih menginjak semester 6 dan tidak lama lagi Kulaih Kerja Nyata. 

Aku kuliah disalah satu perguruan tinggi negeri di Sulawesi Selatan, mengambil fakultas tarbiyah jurusan sastra bahasa inggris. Alasan utamaku masuk ke perguruan tinggi negeri karena biayanya lumayan terjangkau oleh kantongku jika dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta, teman-temanku dari SMA banyak yang lanjut disini dan saya lolos tanpa melewati proses seleksi ujian masuk ke perguruan tinggi negeri. Semenjak menematkan pendidikan disekolah menengah atas, aku tidak pernah pulang ke rumah bahkan saat lebaran tiba aku tidak pulang kekampung halaman. Aku malu bertemu ibu, karena aku merasa sangat membebani ibu jika aku pulang dan aku berjanji untuk tidak pulang sebelum mendapatkan gelar sarjana pendidikan.

Ibuku sudah menjadi single parent semenjak adik bungsuku Fadia masih berumur 4 bulan didalam kandungan dan aku masih berumur 8 tahun, ayahku wafat karena penyakit radang hati, virus influenza telah mancapai hatinya menyebabkan radang pada hatinya dan membuat daya kerja hati dan sistem imunnya menjadi menurun sehingga merenggut nyawanya setelah tiga hari dirawat dirumah sakit.

Sejak kecil aku sudah diajar mandiri oleh orang tuaku karena desakan kondisi ekonomi dan kedua saudaraku yang masih kecil, terlebih lagi setelah kepergian ayah, aku membantu ibu bekerja karena kondisi ibuku yang pada saat itu mengandung 4 bulan. 

Mengingat masa kecilku rasanya aku tak ingin lagi mengulang masa-masa itu, aku tidak bisa menikmati masa kecilku yang bahagia seperti yang dirasakan oleh anak-anak kecil lainnya. Masa kecil kulewati dengan mencari uang membantu ibuku dan merawat adik-adikku yang masih kecil. Masih aku ingat sekali bagaimana sulitnya ibu mencari uang dengan bekerja sebagai buruh cuci dirumah-rumah tetangga, membantu para petani bila musim panen tiba untuk memperoleh beras tanpa dibeli.

Ketika usiaku menginjak ke_15 tahun, ibu mengalami kebutaan, dokter mengatakan bahwa ibu sering menangis sambil tiduran yang mengakibatkan retina matanya memutih dan tidak bisa melihat apa-apa. Semenjak itulah aku kerja ekstra untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari karena melihat kondisi ibu yang sudah tidak bisa kerja  seperti biasanya, namun pekerjaan sekolahku pun tidak boleh aku lupakan, karena bagaimanapun sekolah adalah prioritas utama dan amanah dari ayahku agar aku tidak boleh putus sekolah apapun yang terjadi. Prinsip inilah yang terus ditanamkan ayahku buat anak-anaknya, karena pendidikan adalah segalanya, tanpa pendidikan maka dunia ini buta akan ilmu pengetahuan. 

Ayah pernah mengatakan kepada anak-anaknya “raihlah baju sarjanamu sebelum kau meraih gaun pengantinmu”, ayah sangat keras terhadap anak-anaknya tentang pendidikan karena dia mengambil pengalaman yang ada pada dirinya, dia sangat cerdas, pengetahuannya luas, dia bisa menulis arab bahkan fasih membaca tulisan arab gundul dan ayahlah yang mengajariku dan adik-adikku mengenal dan membaca kitab suci umat islam yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad melalui perantara malaikat jibril. Berbeda dengan ibuku, dia tidak mahir membaca bahkan ia kurang akan ilmu pengetahuan umum namun dia mampu mengajari anak-anaknya tentang budi pekerti luhur, adab-adab yang sesuai tuntunan Al-qur’an dan as-sunnah serta adabul mar’ah. Pernah sewaktu ayah bercerita tentang masih awal-awalnya ia menjadi penagantin, ayahku berkata paada ibuku:

“dinda, kenapa kamu mau menikah sama aku? Akukan jelek, hitam kayak arang, rambutku keriting, hidup lagi. Jika dibandingkan dengan dirimu yang berhidung mancung, putih, tinggi semampai koq mau menikah sama aku?”
“akukan cinta apa adanya sama kamu kanda, aku memang cantik tapi aku bodoh tidak tahu menahu tentang ilmu pengetahuan, tapi kamu cerdas meskipun jelek, itulah kelebihan kamu dan aku akan menutupi kekuranganmu dengan kelebihanku begitupun dengan kamu, nanti anak kita yang lahir akan mewarisi kecerdasanmu dan kecantikanku turun ke anak kita”.

bagus kalau masing-masing kelebihan kita yang terwarisi, nah bagaimana kalau kekurangan kita? Waaduuh, kanda tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya.”
“jangan begitu dong, jadi orang harus optimis jangan pesimis”.
Ayahku jadi semangat setelah mendengar ucapan ibuku dan tidak sabar untuk menantikan kelahiran anak pertamanya.
Okelah, mari kita tinggalkan masa lalu.  Bersambung.........................!!!!!!!!

Next : Cerpen : Secercah Sang Surya (2)